Membongkar Manipulasi Ilmiah
di Balik teori Evolusi Darwin
dan
Motif-Motif Ideologisnya
HARUN YAHYA
PENDAHULUAN
Ada Apa
dengan Teori Evolusi?
Sebagian orang yang
pernah mendengar “teori evolusi” atau “Darwinisme” mungkin beranggapan bahwa
konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi dan tidak
berpengaruh sedikit pun terhadap kehidupan sehari-hari. Anggapan ini sangat
keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori
evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar
manusia.
Filsafat tersebut
adalah “materialisme”, yang mengandung sejumlah pemikiran penuh
kepalsuan tentang mengapa dan bagaimana manusia muncul di muka bumi.
Materialisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun selain materi dan materi
adalah esensi dari segala sesuatu, baik yang hidup maupun tak hidup. Berawal
dari pemikiran ini, materialisme mengingkari keberadaan Sang Maha Pencipta,
yaitu Allah. Dengan mereduksi segala sesuatu ke tingkat materi, teori ini
mengubah manusia menjadi makhluk yang hanya berorientasi kepada materi dan
berpaling dari nilai-nilai moral. Ini adalah awal dari bencana besar yang akan
menimpa hidup manusia.
Kerusakan ajaran materialisme tidak hanya terbatas pada tingkat individu.
Ajaran ini juga mengarah untuk meruntuhkan nilai-nilai dasar suatu negara
dan masyarakat dan menciptakan sebuah masyarakat tanpa jiwa dan rasa
sensitif, yang hanya memperhatikan aspek materi. Anggota masyarakat yang
demikian tidak akan pernah memiliki idealisme seperti patriotisme, cinta
bangsa, keadilan, loyalitas, kejujuran, pengorbanan, kehormatan atau moral yang
baik, sehingga tatanan sosial yang dibangunnya pasti akan hancur dalam waktu
singkat. Karena itulah, materialisme menjadi salah satu ancaman paling berat
terhadap nilai-nilai yang mendasari tatanan politik dan sosial suatu bangsa.
Satu lagi kejahatan materialisme adalah dukungannya terhadap
ideologi-ideologi anarkis dan bersifat memecah belah, yang mengancam
kelangsungan kehidupan negara dan bangsa. Komunisme, ajaran terdepan di
antara ideologi-ideologi ini, merupakan konsekuensi politis alami dari filsafat
materialisme. Karena komunisme berusaha menghancurkan tatanan sakral seperti
keluarga dan negara, ia menjadi ideologi fundamental bagi segala bentuk gerakan
separatis yang menolak struktur kesatuan suatu negara.
Teori evolusi menjadi semacam landasan ilmiah bagi materialisme, dasar
pijakan ideologi komunisme. Dengan merujuk teori evolusi, komunisme berusaha
membenarkan diri dan menampilkan ideologinya sebagai sesuatu yang logis dan
benar. Karena itulah Karl Marx, pencetus komunisme, menuliskan The Origin of
Species, buku Darwin yang mendasari teori evolusi dengan “Inilah buku yang
berisi landasan sejarah alam bagi pandangan kami”1.
Namun faktanya, temuan-temuan baru ilmu pengetahuan modern telah membuat
teori evolusi, dogma abad ke-19 yang menjadi dasar pijakan segala bentuk ajaran
kaum materialis, menjadi tidak berlaku lagi, sehingga ajaran ini — utamanya
pandangan Karl Marx — benar-benar telah ambruk. Ilmu pengetahuan telah menolak
dan akan tetap menolak hipotesis materialis yang tidak mengakui eksis-tensi apa
pun kecuali materi. Dan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa segala yang ada
merupakan hasil ciptaan sesuatu yang lebih tinggi.
ujuan penulisan buku ini adalah memaparkan fakta-fakta ilmiah yang
membantah teori evolusi dalam seluruh bidang ilmu, dan mengungkapkan kepada
masyarakat luas tujuan sesungguhnya dari apa yang disebut “ilmu pengetahuan”
ini, yang ternyata tidak lebih dari sebuah penipuan.
Perlu diketahui
bahwa evolusionis tidak memiliki bantahan terhadap buku yang sedang Anda baca
ini. Mereka bahkan tidak akan berusaha membantah karena sadar bahwa tindakan
seperti itu hanya akan membuat setiap orang semakin paham bahwa teori evolusi
hanyalah sebuah kebohongan.
BAB 1
Agar
Bebas dari Prasangka
Kebanyakan orang menerima apa pun yang mereka peroleh dari ilmuwan sebagai
kebenaran sejati. Tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa ilmuwan pun
mungkin memiliki berbagai prasangka filosofis atau ideologis. Pada
kenyataannya, ilmuwan evolusionis telah memaksakan prasangka dan pandangan
filosofis mereka kepada masyarakat luas dengan kedok ilmu pengetahuan.
Misalnya, meskipun sadar bahwa kejadian acak hanya akan menghasilkan
ketidakteraturan dan kekacauan, mereka tetap menyatakan bahwa keteraturan,
perencanaan dan desain yang sangat mengagumkan pada jagat raya dan makhluk
hidup terjadi secara kebetulan.
Sebagai contoh, ahli biologi semacam ini akan dengan mudahnya menemukan
keselarasan yang menakjubkan pada molekul protein, bahan penyusun kehidupan,
dan molekul ini sama sekali tidak mungkin muncul secara kebetulan. Meski
demikian ia malah menyatakan bahwa protein ini muncul pada kondisi bumi yang
primitif secara kebetulan miliaran tahun yang lalu. Tidak cukup sampai di sini,
ia juga menyatakan tanpa keraguan bahwa tidak hanya satu, tetapi jutaan protein
terbentuk secara kebetulan, dan selanjutnya secara luar biasa bergabung
membentuk sel hidup pertama. Lebih jauh lagi, ia berkeras mempertahankan
pandangannya secara fanatik. Orang ini adalah ilmuwan “evolusionis”.
Jika ilmuwan yang sama melewati sebuah jalan datar, dan menemukan tiga buah
batu bata bertumpuk rapi, tentunya ia tidak akan pernah menganggap bahwa ketiga
batu bata tersebut terbentuk secara kebetulan dan selanjutnya menyusun diri
menjadi tumpukan, juga secara kebetulan. Sudah pasti, siapa pun yang membuat
pernyataan seperti itu akan dianggap tidak waras.
Lalu, bagaimana mungkin mereka yang mampu menilai peristiwa-peristiwa biasa
secara rasional, dapat bersikap begitu tidak masuk akal ketika memikirkan
keberadaan diri mereka sendiri?
Sikap seperti ini tidak mungkin diambil atas nama ilmu pengetahuan. Dalam
ilmu pengetahuan, jika terdapat dua alternatif dengan kemungkinan yang sama
mengenai suatu masalah, kita diharuskan mempertimbangkan keduanya. Dan jika
kemungkinan salah satu alternatif tersebut jauh lebih kecil, misalnya hanya 1
%, maka tindakan yang rasional dan ilmiah adalah mengambil alternatif lainnya,
yang memiliki kemungkinan 99 %, sebagai pilihan yang benar.
Mari kita teruskan dengan berpegang pada pedoman ilmiah ini. Terdapat dua
pandangan yang dapat dikemukakan tentang bagaimana makhluk hidup muncul di muka
bumi. Pandangan pertama menyatakan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh
Allah dalam tatanan yang rumit seperti sekarang ini. Sedangkan pandangan kedua
menyatakan bahwa kehidupan terbentuk oleh kebetulan-kebetulan acak dan di luar
kesengajaan. Pandangan terakhir ini adalah pernyataan teori evolusi.
Jika kita mengacu kepada data-data ilmiah, misalnya di bidang biologi
molekuler, jangankan satu sel hidup, salah satu dari jutaan protein di dalam
sel tersebut sangat tidak mungkin muncul secara kebetulan. Sebagaimana juga
akan diilustrasikan dalam bab-bab berikutnya, perhitungan probabilitas telah
berkali-kali menegaskan hal ini. Jadi pandangan evolusionis tentang kemunculan
makhluk hidup memiliki probabilitas nol untuk diterima sebagai kebenaran.
Artinya, pandangan pertama memiliki kemungkinan “100 %” sebagai suatu
kebenaran. Jadi, kehidupan telah dimunculkan dengan sengaja, atau dengan kata
lain, kehidupan itu "diciptakan". Semua makhluk hidup telah muncul
atas kehendak Sang Pencipta yang memiliki kekuatan, kebijaksanaan dan ilmu yang
tak tertandingi. Kenyataan ini bukan sekadar masalah keyakinan; ini adalah kesimpulan
yang sudah semestinya dicapai melalui kearifan, logika dan ilmu pengetahuan.
Dengan begitu, sudah seharusnya ilmuwan "evolusionis" tadi
menarik pernyataan mereka dan menerima fakta yang jelas dan telah terbukti.
Dengan bersikap sebaliknya, ia telah mengorbankan ilmu pengetahuan demi
filsafat, ideologi dan dogma yang diikutinya, dan tidak menjadi seorang ilmuwan
sejati.
Kemarahan, sikap keras kepala dan prasangka “ilmuwan” ini semakin bertambah
setiap kali ia berhadapan dengan kenyataan. Sikapnya dapat dijelaskan dengan
satu kata: ”keyakinan”. Tetapi keyakinan tersebut adalah keyakinan takhayul
yang buta, karena hanya itulah penjelasan bagi ketidakpeduliannya terhadap
fakta-fakta atau kesetiaan seumur hidup kepada skenario tak masuk akal yang ia
susun dalam khayalannya sendiri.
Materialisme Buta
Keyakinan yang kita bicarakan ini adalah filsafat materialistis,
yang berpendapat bahwa materi bersifat kekal, dan tidak ada yang lain kecuali
materi. Teori evolusi menjadi semacam “pondasi ilmiah” filsafat materialistis
ini, sehingga dibela secara membuta demi mempertahankan filsafat tersebut.
Ketika ilmu pengetahuan menggugurkan pernyataan-pernyataan tentang evolusi pada
penghujung abad ke-20, mereka berupaya mendistorsi dan menempatkan ilmu
pengetahuan untuk mendukung teori evolusi, sehingga ideologi materialisme tetap
hidup.
Kutipan dari salah seorang ahli biologi evolusionis ternama dari Turki
berikut ini merupakan contoh nyata untuk melihat tujuan dari penilaian
menyimpang akibat keyakinan buta ini. Ilmuwan ini membahas probabilitas
pembentukan secara kebetulan sitokrom-C, salah satu enzim terpenting bagi
kehidupan:
Probabilitas pembentukan rangkaian sitokrom-C mendekati nol. Jadi, jika
kehidupan memerlukan sebuah rangkaian tertentu, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki
probabilitas untuk terwujud hanya satu kali di seluruh alam semesta. Jika
tidak, kekuatan-kekuatan metafisis di luar definisi kita mestilah telah
berperan dalam pembentukan tersebut. Menerima pernyataan terakhir ini tidak
sesuai dengan tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, karenanya kita harus mengkaji
hipotesis pertama. 1
Bagi ilmuwan ini, menerima sebuah kemungkinan yang “mendekati nol” lebih
ilmiah daripada menerima fakta penciptaan. Padahal menurut pedoman ilmiah, jika
terdapat dua alternatif penjelasan tentang suatu kejadian dan salah satunya
memiliki kemungkinan yang ”mendekati nol”, maka yang benar adalah alternatif
lainnya. Namun pendekatan materialistis dogmatis ini melarang pengakuan
terhadap Pencipta Yang Mahaagung. Pelarangan ini mengarahkan ilmuwan
tersebut dan banyak ilmuwan lain yang mempercayai dogma materialis ini untuk
menerima pernyataan-pernyataan yang bertentangan sama sekali dengan akal.
Orang-orang yang mempercayai ilmuwan tersebut pun menjadi terpikat dan
dibutakan oleh mantra materialistis yang sama, dan mengalami kondisi psikologis
serupa ketika membaca buku-buku dan artikel-artikel mereka.
Sudut pandang materialistis dogmatis menjadi penyebab banyaknya ilmuwan
ternama yang ateis. Sedangkan mereka yang telah membebaskan diri dari jeratan
mantra ini dan mau membuka pikiran, tidak akan ragu menerima keberadaan Sang
Pencipta. Ahli biokimia Amerika, Dr. Michael J. Behe, salah seorang ilmuwan
terkemuka pendukung teori “intelligent design“ yang akhir-akhir ini
telah diterima luas, menggambarkan para ilmuwan yang tidak mempercayai “desain”
atau “penciptaan” makhluk hidup sebagai berikut:
Selama empat dekade terakhir, bio-kimia modern telah berhasil menyingkap
rahasia sel. Hal ini menuntut puluhan ribu orang mendedikasikan bagian terbaik
dari hidup mereka untuk pekerjaan laboratorium yang membosankan.... Usaha
kumulatif meneliti sel, yang berarti meneliti kehidupan di tingkat molekuler,
menghasilkan sebuah teriakan tajam, jelas dan nyaring, "Desain!".
Hasilnya sangat jelas dan begitu signifikan, sehingga harus dikategorikan
sebagai sebuah pencapaian terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan.... Anehnya,
kerumitan yang luar biasa dari sebuah sel ini disambut dengan kesadaran yang
tak terungkap. Mengapa komunitas ilmuwan tidak antusias menyambut penemuan
yang mengejutkan ini? Mengapa observasi desain ini diselimuti dengan tabir
intelektual? Yang menjadi dilema adalah bahwa ketika satu sisi seekor gajah
diberi label “intelligent design”, sisi yang lain harus diberi label “Tuhan”.
2
Inilah kesulitan bagi ilmuwan evolusionis ateis yang An-da saksikan di
majalah-majalah dan televisi dan menulis buku-buku yang mungkin Anda baca.
Semua penelitian ilmiah yang mereka lakukan menunjukkan keberadaan Sang
Pencipta. Akan tetapi, karena telah begitu mati rasa dan buta oleh pendidikan
materialistik dogmatis, mereka masih saja bersikeras menolak.
Mereka yang terus-menerus mengabaikan tanda-tanda dan bukti-bukti nyata
keberadaan Pencipta akan kehilangan seluruh kepekaan. Mereka terperangkap dalam
kepercayaan diri yang menyesatkan akibat memudarnya kepekaan, dan akhirnya
menjadi pendukung kemustahilan. Contohnya Richard Dawkins, seorang evolusionis
terkemuka yang menyeru umat Kristen untuk tidak meyakini mukjizat, bahkan jika
mereka melihat patung Bunda Maria melambaikan tangannya. Menurut Dawkin,
“Mungkin saja semua atom penyusun lengan patung itu kebetulan bergerak ke arah
yang sama pada saat bersamaan — suatu kejadian dengan probabilitas teramat
kecil, tetapi mungkin terjadi.” 3
Masalah psikis orang-orang yang tidak beriman telah ada sepanjang sejarah.
Dalam Al Quran dinyatakan:
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka,
dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan
(pula) segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka tidak (juga) akan
beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” (QS. Al An'aam, 6: 111)
Sebagaimana dijelaskan ayat tersebut, pemikiran dogmatis para evolusionis
bukan sesuatu yang baru, bahkan bukan karakteristik mereka saja. Nyatanya, apa
yang dipertahankan ilmuwan evolusionis bukanlah pemikiran ilmiah modern,
melainkan kebodohan yang telah mendarah daging sejak zaman masyarakat penyembah
berhala yang tidak beradab.
Aspek kejiwaan yang sama disebutkan dalam ayat lain:
“Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah
satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya,
tentulah mereka berkata: 'Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan,
bahkan kami adalah orang-orang yang kena sihir'." (QS. Al Hijr, 15: 14-15)
Indoktrinasi Teori Evolusi Secara Massal
Sebagaimana ditunjukkan dalam ayat-ayat di atas, salah satu penyebab
manusia tidak mampu melihat realitas keberadaan mereka adalah semacam “mantra”
yang mengaburkan penalaran mereka. “Mantra” ini pula yang mendasari seluruh
dunia menerima teori evolusi. Mantra yang dimaksud di sini adalah suatu
pengondisian melalui indoktrinasi. Orang-orang telah diindoktrinasi sedemikian
gencar mengenai kebenaran teori evolusi hingga mereka tidak menyadari
penyimpangan yang ada.
Indoktrinasi ini berdampak negatif pada otak dan melumpuhkan kemampuan
menilai sesuatu. Pada akhirnya, otak yang dibombardir oleh indoktrinasi
terus-menerus ini mulai menerima realitas tidak sebagaimana adanya, tetapi
sebagaimana yang diindoktrinasikan. Fenomena ini dapat dijumpai pada sejumlah
contoh lain. Misalnya, jika seseorang dihipnotis dan diindoktrinasi bahwa
tempat tidur tempatnya berbaring adalah sebuah mobil, ia akan tetap merasa
tempat tidur itu sebagai sebuah mobil meski masa hipnotis telah selesai. Ia
menganggap hal ini sangat logis dan rasional karena ia benar-benar melihatnya
demikian dan ia tidak ragu sedikit pun. Contoh yang menunjukkan keampuhan dan kekuatan
mekanisme indoktrinasi ini merupakan realitas ilmiah yang telah dibuktikan
melalui banyak percobaan, telah dilaporkan dalam literatur ilmiah, serta
merupakan santapan sehari-hari buku-buku pelajaran psikologi dan psikiatri.
Teori evolusi, dan materialisme yang berpijak padanya, dijejalkan kepada
masyarakat luas melalui metode indoktrinasi seperti ini. Mereka yang tiada
henti menemui indoktrinasi evolusi ini di berbagai media massa, sumber
akademis, dan wahana “ilmiah”, tidak menyadari bahwa menerima teori ini
bertentangan dengan prinsip nalar yang paling mendasar. Indoktrinasi serupa pun menjerat
para ilmuwan. Ilmuwan muda yang sedang meniti karier menerima cara pandang
materialis ini dengan dosis yang bertambah seiring perjalanan waktu. Akibat
mantra ini, banyak ilmuwan evolusionis terus mencari pembenaran ilmiah bagi
pernyataan evolusionis abad ke-19 yang tidak masuk akal, usang, dan telah lama
digugurkan oleh bukti-bukti ilmiah.
Ada pula mekanisme tambahan yang memaksa ilmuwan menjadi
evolusionis dan materialis. Di negara-negara Barat, seorang ilmuwan harus memenuhi
beberapa persyaratan untuk mendapatkan promosi, menerima pengakuan akademis,
atau agar artikelnya diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Pengakuan
terang-terangan terhadap teori evolusi adalah kriteria nomor satu. Sistem ini
membuat para ilmuwan menghabiskan seluruh hidup dan karier ilmiahnya demi
sebuah keyakinan dogmatis.
Inilah realitas sesungguhnya di balik pernyataan “evolusi masih tetap
diterima oleh dunia ilmu pengetahuan”. Evolusi dipertahankan hidup bukan karena
memiliki kelayakan ilmiah, tetapi karena merupakan sebuah kewajiban ideologis.
Sangat sedikit ilmuwan yang menyadari kenyataan ini, dan berani menunjukkan
“sang raja tidak mengenakan selembar baju pun”.
Bagian selanjutnya dari buku ini akan mengetengahkan penemuan-penemuan
ilmiah modern yang telah meruntuhkan kepercayaan evolusionis dan yang
menunjukkan bukti-bukti nyata keberadaan Allah. Pembaca akan menyaksikan bahwa
teori evolusi ternyata merupakan kebohongan — sebuah kebohongan yang dibuktikan
oleh ilmu pengetahuan pada tiap tahapannya, akan tetapi tetap saja
dipertahankan untuk menutupi fakta penciptaan. Diharapkan pembaca akan
membebaskan diri dari mantra yang menumpulkan pikiran dan melumpuhkan kemampuan
menilai tersebut, dan selanjutnya merenungkan dengan sungguh-sungguh apa yang
disampaikan dalam buku ini.
Jika ia melepaskan diri dari jerat mantra ini dan mampu berpikir jernih,
bebas dan tanpa prasangka, ia akan segera menemukan kebenaran sebening kristal.
Kebenaran tak terbantahkan ini, yang telah ditunjukkan pula oleh ilmu
pengetahuan modern dalam semua aspek, adalah bahwa makhluk hidup muncul bukan
secara kebetulan melainkan sebagai hasil penciptaan. Manusia akan dengan mudah
melihat fakta penciptaan ketika ia mau memikirkan bagaimana dirinya menjadi
ada, bagaimana ia tercipta dari setetes air, atau kesempurnaan pada setiap
makhluk hidup lain.
1) Ali Demisroy, Kalitim ve Evrim (Pewarisan Sifat dan
Evolusi), Ankara: Meteksan Publishing Co., 1984, hlm. 61
2) Michael J. Behe,
Darwin’s Black Box, New York: Free Press, 1996, hlm. 232- 233
3) Richard Dawkins,
The Blind Watchmaker, London: W. W. Norton, 1996, hlm. 159
BAB 2:
Sejarah Singkat Teori Evolusi
Akar pemikiran
evolusionis muncul sezaman dengan keyakinan dogmatis yang berusaha keras
mengingkari penciptaan. Mayoritas filsuf penganut pagan di zaman Yunani kuno
mempertahankan gagasan evolusi. Jika kita mengamati sejarah filsafat, kita akan
melihat bahwa gagasan evolusi telah menopang banyak filsafat pagan.
Akan tetapi bukan
filsafat pagan kuno ini yang telah berperan penting dalam kelahiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan modern, melainkan keimanan kepada Tuhan. Pada
umumnya mereka yang memelopori ilmu pengetahuan modern mempercayai
keberadaan-Nya. Seraya mempelajari ilmu pengetahuan, mereka berusaha menyingkap
rahasia jagat raya yang telah diciptakan Tuhan dan mengungkap hukum-hukum dan
detail-detail dalam ciptaan-Nya. Ahli Astronomi seperti Leonardo da Vinci,
Copernicus, Keppler dan Galileo; bapak paleontologi, Cuvier;
perintis botani dan zoologi, Linnaeus; dan Isaac Newton, yang
dijuluki sebagai “ilmuwan terbesar yang pernah ada”, semua mempelajari ilmu
pengetahuan dengan tidak hanya meyakini keberadaan Tuhan, tetapi juga bahwa
keseluruhan alam semesta adalah hasil ciptaan-Nya.1 Albert
Einstein, yang dianggap sebagai orang paling jenius di zaman kita, adalah
seorang ilmuwan yang mempercayai Tuhan dan menyatakan, “Saya tidak bisa
membayangkan ada ilmuwan sejati tanpa keimanan mendalam seperti itu. Ibaratnya:
ilmu pengetahuan tanpa agama akan pincang.” 2
Salah seorang
pendiri fisika modern, dokter asal Jerman, Max Planck mengatakan bahwa
setiap orang, yang mempelajari ilmu pengetahuan dengan sungguh-sungguh, akan
membaca pada gerbang istana ilmu pengetahuan sebuah kata: “Berimanlah”. Keimanan
adalah atribut penting seorang ilmuwan.3
Teori evolusi
merupakan buah filsafat materialistis yang muncul bersamaan dengan kebangkitan
filsafat-filsafat materialistis kuno dan kemudian menyebar luas di abad ke-19.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, paham materialisme berusaha menjelaskan
alam semata melalui faktor-faktor materi. Karena menolak penciptaan, pandangan
ini menyatakan bahwa segala sesuatu, hidup ataupun tak hidup, muncul tidak
melalui penciptaan tetapi dari sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian
mencapai kondisi teratur. Akan tetapi, akal manusia sedemikian terstruktur
sehingga mampu memahami keberadaan sebuah kehendak yang mengatur di mana pun ia
menemukan keteraturan. Filsafat materialistis, yang bertentangan dengan karakteristik paling
mendasar akal manusia ini, memunculkan “teori evolusi” di pertengahan abad
ke-19.
Khayalan Darwin
Orang yang mengemukakan teori evolusi sebagaimana yang dipertahankan dewasa
ini, adalah seorang naturalis amatir dari Inggris, Charles Robert Darwin.
Darwin tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang biologi. Ia hanya
memiliki ketertarikan amatir pada alam dan makhluk hidup. Minat tersebut
mendorongnya bergabung secara sukarela dalam ekspedisi pelayaran dengan sebuah
kapal bernama H.M.S. Beagle, yang berangkat dari Inggris tahun 1832 dan
mengarungi berbagai belahan dunia selama lima tahun. Darwin muda sangat takjub
melihat beragam spesies makhluk hidup, terutama jenis-jenis burung finch
tertentu di kepulauan Galapagos. Ia mengira bahwa variasi pada paruh
burung-burung tersebut disebabkan oleh adaptasi mereka terhadap habitat. Dengan
pemikiran ini, ia menduga bahwa asal usul kehidupan dan spesies berdasar pada
konsep “adaptasi terhadap lingkungan”. Menurut Darwin, aneka spesies makhluk
hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh Tuhan, tetapi berasal dari nenek
mo-yang yang sama dan menjadi berbeda satu sama lain akibat kondisi alam.
Hipotesis Darwin tidak berdasarkan penemuan atau penelitian ilmiah apa pun;
tetapi kemudian ia menjadikannya sebuah teori monumental berkat dukungan dan
dorongan para ahli biologi materialis terkenal pada masanya. Gagasannya
menyatakan bahwa individu-individu yang beradaptasi pada habitat mereka dengan
cara terbaik, akan menurunkan sifat-sifat mereka kepada generasi berikutnya.
Sifat-sifat yang menguntungkan ini lama-kelamaan terakumulasi dan mengubah
suatu individu menjadi spesies yang sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya.
(Asal usul “sifat-sifat yang menguntungkan” ini belum diketahui pada waktu
itu.) Menurut Darwin, manusia adalah
hasil paling maju dari mekanisme ini.
Darwin menamakan
proses ini “evolusi melalui seleksi alam”. Ia mengira telah menemukan
“asal usul spesies”: suatu spesies berasal dari spesies lain. Ia
mempublikasikan pandangannya ini dalam bukunya yang berjudul The Origin of
Species, By Means of Natural Selection pada tahun 1859.
Darwin sadar bahwa
teorinya menghadapi banyak masalah. Ia mengakui ini dalam bukunya pada bab
“Difficulties of the Theory”. Kesulitan-kesulitan ini terutama pada catatan
fosil dan organ-organ rumit makhluk hidup (misalnya mata) yang tidak mungkin
dijelaskan dengan konsep kebetulan, dan naluri makhluk hidup. Darwin berharap
kesulitan-kesulitan ini akan teratasi oleh penemuan-penemuan baru; tetapi
bagaimanapun ia tetap mengajukan sejumlah penjelasan yang sangat tidak memadai
untuk sebagian kesulitan tersebut. Seorang ahli fisika Amerika, Lipson, mengomentari
“kesulitan-kesulitan” Darwin tersebut:
Ketika membaca The Origin of Species, saya mendapati bahwa Darwin sendiri
tidak seyakin yang sering dikatakan orang tentangnya; bab "Difficulties of
the Theory" misalnya, menunjukkan keragu-raguannya yang cukup besar.
Sebagai seorang fisikawan, saya secara khusus merasa terganggu oleh komentarnya
mengenai bagaimana mata terbentuk.4
Saat menyusun teorinya, Darwin terkesan oleh para ahli biologi evolusionis
sebelumnya, terutama seorang ahli biologi Perancis, Lamarck.5
Menurut Lamarck, makhluk hidup mewariskan ciri-ciri yang mereka dapatkan selama
hidupnya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga terjadilah
evolusi. Sebagai contoh, jerapah berevolusi dari binatang yang menyerupai
antelop. Perubahan itu terjadi dengan memanjangkan leher mereka sedikit demi
sedikit dari generasi ke generasi ketika berusaha menjangkau dahan yang lebih
tinggi untuk memperoleh makanan. Darwin menggunakan hipotesis Lamarck tentang
“pewarisan sifat-sifat yang diperoleh” sebagai faktor yang menyebabkan makhluk
hidup berevolusi.
Namun Darwin dan Lamarck telah keliru, sebab pada masa mereka, kehidupan
hanya dapat dipelajari dengan teknologi yang sangat primitif dan pada tahap
yang sangat tidak memadai. Bidang-bidang ilmu pengetahuan seperti genetika dan
biokimia belum ada sekalipun hanya nama. Karenanya, teori mereka harus
bergantung sepenuhnya pada kekuatan imajinasi.
Di saat gema buku Darwin tengah berkumandang, seorang ahli botani Austria
bernama Gregor Mendel menemukan hukum penurunan sifat pada tahun 1865. Meskipun tidak banyak dikenal orang hingga akhir abad
ke-19, penemuan Mendel mendapat perhatian besar di awal tahun 1900-an. Inilah awal kelahiran
ilmu genetika. Beberapa waktu kemudian, struktur gen dan kromosom
ditemukan. Pada tahun 1950-an, penemuan struktur molekul DNA yang berisi
informasi genetis menghempaskan teori evolusi ke dalam krisis. Alasannya adalah
kerumitan luar biasa dari kehidupan dan ketidakabsahan mekanisme evolusi yang
diajukan Darwin.
Perkembangan ini seharusnya membuat teori Darwin terbuang dalam keranjang
sampah sejarah. Namun ini tidak terjadi, karena ada kelompok-kelompok tertentu
yang bersikeras merevisi, memperbarui dan mengangkat kembali teori ini pada
kedudukan ilmiah. Kita dapat memahami maksud upaya-upaya tersebut hanya jika
menyadari bahwa di belakang teori ini terdapat tujuan ideologis, bukan sekadar
kepentingan ilmiah.
Usaha Putus Asa Neo-Darwinisme
Teori Darwin jatuh terpuruk dalam krisis karena hukum-hukum genetika yang
ditemukan pada perempat pertama abad ke-20. Meskipun demikian, sekelompok
ilmuwan yang bertekad bulat tetap setia kepada Darwin berusaha mencari jalan
keluar. Mereka berkumpul dalam sebuah
pertemuan yang diadakan oleh Geological Society of America pada tahun 1941.
Ahli genetika seperti G. Ledyard Stebbins dan Theodosius Dobzhansky, ahli
zoologi seperti Ernst Mayr dan Julian Huxley, ahli paleontologi seperti George
Gaylord Simpson dan Glenn L. Jepsen, dan ahli genetika matematis seperti Ronald
Fisher dan Sewall Right, setelah pembicaraan panjang akhirnya menyetujui
cara-cara untuk “menambal sulam” Darwinisme.
Kader-kader ini
berfokus kepada pertanyaan tentang asal usul variasi menguntungkan yang
diasumsikan menjadi penyebab makhluk hidup berevolusi —sebuah masalah yang
tidak mampu dijelaskan oleh Darwin sendiri dan dielakkan dengan bergantung pada
teori Lamarck. Gagasan mereka kali ini adalah “mutasi acak” (random
mutations). Mereka menamakan teori baru ini “Teori Evolusi Sintetis Modern”
(The Modern Synthetic Evolution Theory), yang dirumuskan dengan menambahkan
konsep mutasi pada teori seleksi alam Darwin. Dalam waktu singkat, teori ini
dikenal sebagai “neo-Darwinisme” dan mereka yang mengemukakannya disebut
“neo-Darwinis”.
Beberapa dekade berikutnya menjadi era perjuangan berat untuk membuktikan
kebenaran neo-Darwinisme. Telah diketahui bahwa mutasi — atau
“kecelakaan” — yang terjadi pada gen-gen makhluk hidup selalu membahayakan.
Neo-Darwinis berupaya memberikan contoh “mutasi yang menguntungkan” dengan
melakukan ribuan eksperimen mutasi. Akan tetapi semua upaya mereka berakhir
dengan kegagalan total.
Mereka juga berupaya membuktikan bahwa makhluk hidup pertama muncul secara
kebetulan di bawah kondisi-kondisi bumi primitif, seperti yang diasumsikan
teori tersebut. Akan tetapi eksperimen-eksperimen ini pun menemui kegagalan.
Setiap eksperimen yang bertujuan membuktikan bahwa kehidupan dapat dimunculkan
secara kebetulan telah gagal. Perhitungan probabilitas membuktikan bahwa tidak
ada satu pun protein, yang merupakan molekul penyusun kehidupan, dapat muncul
secara kebetulan. Begitu pula sel, yang menurut anggapan evolusionis muncul
secara kebetulan pada kondisi bumi primitif dan tidak terkendali, tidak dapat
disintesis oleh laboratorium-laboratorium abad ke-20 yang tercanggih sekalipun.
Teori neo-Darwinis telah ditumbangkan pula oleh catatan fosil. Tidak
pernah ditemukan di belahan dunia mana pun “bentuk-bentuk transisi” yang
diasumsikan teori neo-Darwinis sebagai bukti evolusi bertahap pada makhluk
hidup dari spesies primitif ke spesies lebih maju. Begitu pula perbandingan
anatomi menunjukkan bahwa spesies yang diduga telah berevolusi dari spesies
lain ternyata memiliki ciri-ciri anatomi yang sangat berbeda, sehingga mereka
tidak mungkin menjadi nenek moyang dan keturunannya.
Neo-Darwinisme memang tidak pernah menjadi teori ilmiah, tapi merupakan
sebuah dogma ideologis kalau tidak bisa disebut sebagai semacam
"agama". Oleh karena itu, pendukung teori evolusi masih saja
mempertahankannya meskipun bukti-bukti berbicara lain. Tetapi ada satu hal yang
mereka sendiri tidak sependapat, yaitu model evolusi mana yang “benar” dari
sekian banyak model yang diajukan. Salah
satu hal terpenting dari model-model tersebut adalah sebuah skenario fantastis
yang disebut “punctuated equilibrium”.
Coba-Coba:
Punctuated Equilibrium
Sebagian besar
ilmuwan yang mempercayai evolusi menerima teori neo-Darwinis bahwa evolusi
terjadi secara perlahan dan bertahap. Pada beberapa dekade terakhir ini, telah
dikemukakan sebuah model lain yang dinamakan “punctuated equilibrium”. Model
ini menolak gagasan Darwin tentang evolusi yang terjadi secara kumulatif dan
sedikit demi sedikit. Sebaliknya, model ini menyatakan evolusi terjadi dalam
“loncatan” besar yang diskontinu.
Pembela fanatik
pendapat ini pertama kali muncul pada awal tahun 1970-an. Awalnya, dua orang
ahli paleontologi Amerika, Niles Eldredge dan Stephen Jay Gould,
sangat sadar bahwa pernyataan neo-Darwinis telah diruntuhkan secara absolut
oleh catatan fosil. Fosil-fosil telah membuktikan bahwa makhluk hidup tidak
berasal dari evolusi bertahap, tetapi muncul tiba-tiba dan sudah terbentuk
sepenuhnya. Hingga sekarang neo-Darwinis senantiasa berharap bahwa bentuk peralihan
yang hilang suatu hari akan ditemukan. Eldredge dan Gould menyadari bahwa
harapan ini tidak berdasar, namun di sisi lain mereka tetap tidak mampu
meninggalkan dogma evolusi. Karena itulah akhirnya mereka mengemukakan sebuah
model baru yang disebut punctuated equilibrium tadi. Inilah model yang
menyatakan bahwa evolusi tidak terjadi sebagai hasil dari variasi minor, namun
dalam per-ubahan besar dan tiba-tiba.
Model ini hanya
sebuah khayalan. Sebagai contoh, O.H. Shindewolf, seorang ahli paleontologi
dari Eropa yang merintis jalan bagi Eldredge dan Gould, menyatakan bahwa burung
pertama muncul dari sebutir telur reptil, sebagai “mutasi besar-besaran” (gross
mutation), yakni akibat “kecelakaan” besar yang terjadi pada struktur gen.6
Menurut teori tersebut, seekor binatang darat dapat menjadi paus raksasa
setelah mengalami perubahan menyeluruh secara tiba-tiba. Pernyataan yang sama
sekali bertentangan dengan hukum-hukum genetika, biofisika dan biokimia ini,
sama ilmiahnya dengan dongeng katak yang menjadi pangeran! Dalam
ketidakberdayaan karena pandangan neo-Darwinis terpuruk dalam krisis, sejumlah
ahli paleontologi pro-evolusi mempercayai teori ini, teori baru yang bahkan
lebih ganjil daripada neo-Darwinisme itu sendiri.
Satu-satunya tujuan
model ini adalah memberikan penjelasan untuk mengisi celah dalam catatan fosil
yang tidak dapat dijelaskan model neo-Darwinis. Namun, usaha menjelaskan
kekosongan fosil dalam evolusi burung dengan pernyataan bahwa “seekor burung
muncul tiba-tiba dari sebutir telur reptil” sama sekali tidak rasional.
Sebagaimana diakui oleh evolusionis sendiri, evolusi dari satu spesies ke
spesies lain membutuhkan perubahan besar informasi genetis yang menguntungkan.
Akan tetapi, tidak ada mutasi yang memperbaiki informasi genetis atau menambahkan
informasi baru padanya. Mutasi hanya merusak informasi genetis. Dengan demikian,
“mutasi besar-besaran” yang digambarkan oleh model punctuated equilibrium hanya
akan menyebabkan pengurangan atau perusakan “besar-besaran” pada informasi
genetis.
Lebih jauh lagi, model punctuated equilibrium runtuh sejak pertama kali
muncul karena ketidakmampuannya menjawab pertanyaan tentang asal usul
kehidupan; pertanyaan serupa yang menggugurkan model neo-Darwinis sejak awal.
Karena tidak satu protein pun yang muncul secara kebetulan, perdebatan mengenai
apakah organisme yang terdiri dari milyaran protein mengalami proses evolusi
secara “tiba-tiba” atau “bertahap” tidak masuk akal.
Kendati demikian, neo-Darwinisme masih menjadi model yang terlintas dalam
pikiran ketika “evolusi” menjadi pokok perbincangan dewasa ini. Dalam bab-bab
selanjutnya, kita akan melihat dua mekanisme rekaan model neo-Darwinis,
kemudian memeriksa catatan fosil untuk menguji model ini. Setelah itu, kita
akan membahas pertanyaan tentang asal usul kehidupan yang menggugurkan model
neo-Darwinis dan semua model evolusionis lain seperti “evolusi dengan lompatan”
(evolution by leaps).
Sebelumnya, ada baiknya meng-ingatkan pembaca bahwa fakta yang akan kita
hadapi di setiap tahap adalah bahwa skenario evolusi merupakan sebuah dongeng
belaka, kebohongan besar yang sama sekali bertentangan dengan dunia nyata. Ini
adalah sebuah skenario yang telah digunakan untuk membohongi dunia selama 140
tahun. Berkat penemuan-penemuan ilmiah terakhir, usaha kontinu mempertahankan
teori tersebut akhirnya menjadi mustahil.
1)Dan Graves, Science of
Faith: Forty-Eight Biographies of Historic Scientists and Their Christian
Faith, Grand Rapids, MI, Kregel Resources.
2)Science, Philosophy, And
Religion: A Symposium, 1941, Bab 13.
3)J. De Vries, Essential of
Physical Science, Wm. B. Eerdmans Pub. Co., Grand Rapids, SD 1958, hlm. 15
4)H. S. Lipson, "A
Physicist's View of Darwin's Theory", Evolution Trends in Plants, Vol. 2,
No. 1, 1988, hlm. 6.
5)Kendati Darwin menyatakan
teorinya sama sekali terlepas dari teori Lamarck, ia sedikit demi sedikit mulai
bersandar pada klaim Lamarck,hususnya edisi ke-6 yang merupakan edisi terakhir
The Origin of Species dipenuhi contoh-contoh dari buku Lamarck “inheritance of
acquired traits” (Pewarisan Sifat-Sifat yang Diperoleh). Lihat Benjamin
Farrington, What Darwin Really Said, New York: Schocken Books, 1996, hlm. 64.
6) Steven M. Stanley,
Macroevolution: Pattern and Process, San Francisco: W.H. Freeman and Co. 1979,
hlm. 35, 159
FOKUS: Rasisme
Darwin
Salah satu aspek
diri Darwin yang terpenting namun tidak banyak diketahui adalah pandangan rasisnya: Darwin menganggap orang-orang kulit
putih Eropa lebih “maju” dibandingkan ras-ras manusia lainnya. Selain
beranggapan bahwa manusia adalah makhluk mirip kera yang telah berevolusi,
Darwin juga ber-pendapat bahwa beberapa ras manusia berkembang lebih maju
dibandingkan ras-ras lain, dan ras-ras terbelakang ini masih memiliki sifat
kera. Dalam bukunya The Descent of Man yang diterbitkannya setelah The Origin
of Species, dengan berani ia berkomentar tentang “perbedaan-perbedaan besar
antara manusia dari beragam ras”.1 Dalam bukunya tersebut, Darwin
berpendapat bahwa orang-orang kulit hitam dan orang Aborigin Australia sama
dengan gorila, dan berkesimpulan bahwa mereka lambat laun akan “disingkirkan”
oleh “ras-ras beradab”. Ia berkata:
Di masa mendatang,
tidak sampai berabad-abad lagi, ras-ras manusia beradab hampir dipastikan akan
memusnahkan dan menggantikan ras-ras biadab di seluruh dunia. Pada saat yang
sama, kera-kera antropomorfus (menyerupai manusia)... tak diragukan lagi akan
musnah. Selanjutnya jarak antara manusia dengan padanan terdekatnya akan lebih
lebar, karena jarak ini akan memisahkan manusia dalam keadaan yang lebih
beradab — kita dapat berharap bahkan lebih dari Kaukasian — dengan jenis-jenis
kera serendah babun, tidak seperti sekarang yang hanya memisahkan negro atau
penduduk asli Australia dengan gorila.2
Pendapat-pendapat
Darwin yang tidak masuk akal ini tidak hanya dijadikan teori, tetapi juga
diposisikan sebagai “dasar ilmiah” paling penting bagi rasisme. Dengan asumsi
bahwa makhluk hidup berevolusi ketika berjuang mempertahankan hidup, Darwinisme
bahkan dimasukkan ke dalam ilmu-ilmu sosial, dan dijadikan sebuah konsep yang
kemudian dinamakan “Darwinisme Sosial”.
Darwinisme Sosial
berpendapat bahwa ras-ras manusia berada pada tingkatan berbeda-beda pada
“tangga evolusi”, dan ras-ras Eropa adalah yang paling “maju” di antara semua
ras, sedangkan ras-ras lain masih memiliki ciri-ciri “kera”.
1)Benjamin
Farrington, What Darwin Really Said. London: Sphere Books, 1971, hlm. 54-56
2)Charles Darwin,
The Descent of Man, edisi II, New York: A.L. Burt Co., 1874, hlm. 178
FOKUS : Ilmu Pengetahuan Primitif di Masa Darwin
Ketika Darwin mengajukan asumsinya, disiplin-disiplin ilmu genetika,
mikrobiologi, dan biokimia belum ada. Seandainya ilmu-ilmu ini ditemukan
sebelum Darwin mengajukan teorinya, ia akan dengan mudah menyadari bahwa teorinya
benar-benar tidak ilmiah dan tidak akan berupaya mengemukakan
pernyataan-pernyataan tanpa arti. Informasi yang menentukan spesies terdapat
dalam gen dan tidak mungkin seleksi alam memproduksi spesies baru melalui
perubahan gen.
Begitu pula, dunia ilmu pengetahuan pada saat itu hanya memiliki pemahaman
yang dangkal dan kasar tentang struktur dan fungsi sel. Jika Darwin memiliki
kesempatan mengamati sel dengan menggunakan mikroskop elektron, dia mungkin
akan menyaksikan kerumitan dan struktur yang luar biasa dalam bagian-bagian
kecil sel. Dia akan menyaksikan dengan mata kepala sen-diri bahwa tidak mungkin
sistem yang demikian rumit dan kompleks terjadi melalui variasi minor. Jika ia
mengenal biomatematika, maka dia akan menyadari bahwa jangankan keseluruhan
sel, bahkan sebuah molekul protein saja, tidak mungkin muncul secara kebetulan.
Picture: Kajian-kajian mendalam tentang sel hanya mungkin setelah penemuan
mikroskop elektron. Pada masa Darwin, dengan mikroskop primitif seperti ini,
hanya mungkin untuk mengamati permukan luar sebuah sel.
BAB 3
Mekanisme Khayalan Teori Evolusi
Model neo-Darwinis, yang dapat kita anggap sebagai teori evolusi yang
“paling diakui” saat ini, menyatakan bahwa kehidupan telah mengalami perubahan
atau berevolusi melalui dua mekanisme alamiah: “seleksi alam” dan “mutasi”.
Dasar teori ini sebagai berikut: seleksi alam dan mutasi adalah dua mekanisme
yang saling melengkapi. Modifikasi evolusioner berasal dari mutasi secara acak
yang terjadi pada struktur genetis makhluk hidup. Sifat-sifat yang ditimbulkan
oleh mutasi kemudian diseleksi melalui mekanisme seleksi alam dan dengan
demikian makhluk hidup berevolusi.
Akan tetapi jika teori ini kita teliti lebih jauh, ternyata mekanisme
evolusi semacam ini tidak ada sama sekali, sebab tidak ada kontribusi dari
seleksi alam maupun mutasi kepada pernyataan bahwa beragam spesies telah
berevolusi dan berubah dari satu spesies menjadi spesies yang lain.
Seleksi Alam
Sebagai suatu proses alamiah, seleksi alam telah dikenal ahli biologi
sebelum Darwin, yang mendefinisikannya sebagai “mekanisme yang menjaga agar
spesies tidak berubah tanpa menjadi rusak”. Darwin adalah orang pertama yang
mengemukakan bahwa proses ini memiliki kekuatan evolusi. Ia kemudian membangun
seluruh teorinya berlandaskan pernyataan tersebut. Seleksi alam sebagai dasar
teori Darwin ditunjukkan oleh judul yang ia berikan pada bukunya: The Origin of
Species, by means of Natural Selection....
Akan tetapi, sejak masa Darwin, tidak pernah dikemukakan sebuah bukti pun
yang menunjukkan bahwa seleksi alam telah menyebabkan makhluk hidup berevolusi.
Colin Patterson, seorang ahli paleontologi senior pada Museum of Natural
History di Inggris, yang juga seorang evolusionis terkemuka, menegaskan bahwa
seleksi alam tidak pernah ditemukan memiliki kekuatan yang menyebabkan sesuatu
berevolusi:
Tidak seorang pun pernah menghasilkan suatu spesies
melalui mekanisme seleksi alam, bahkan sekadar untuk mendekatinya. Kebanyakan
perdebatan dalam neo-Darwinisme sekarang ini adalah seputar pertanyaan ini.1
Seleksi alam menyatakan bahwa makhluk-makhluk hidup yang lebih mampu
menyesuaikan diri dengan kondisi alam habitatnya akan mendominasi dengan cara
memiliki keturunan yang mampu bertahan hidup, sebaliknya yang tidak mampu akan
punah. Sebagai contoh, dalam sekelompok rusa yang hidup di bawah ancaman hewan
pemangsa, secara alamiah rusa-rusa yang mampu berlari lebih kencang akan
bertahan hidup. Itu memang benar. Akan tetapi, hingga kapan pun proses ini
berlangsung, tidak akan membuat rusa-rusa tersebut menjadi spesies lain. Rusa
akan tetap menjadi rusa.
Kita akan melihat bahwa contoh-contoh seleksi alam yang dikemukakan
evolusionis tidak lain hanyalah usaha untuk mengelabui.
Penggelapan Warna karena Pengaruh Industri
Pada tahun 1986, Douglas Futuyma menerbitkan sebuah buku, The Biology of
Evolution, yang diterima sebagai salah satu sumber paling eksplisit menjelaskan
teori evolusi melalui seleksi alam. Contohnya yang paling terkenal adalah
mengenai warna populasi ngengat, yang tampak menjadi lebih gelap selama
Revolusi Industri di Inggris.
Menurut kisahnya, pada awal Revolusi Industri di Inggris, warna kulit
batang pohon di sekitar Manchester benar-benar terang. Karena itu, ngengat
berwarna gelap yang hinggap pada pohon-pohon tersebut mudah terlihat oleh
burung-burung pemangsa, sehingga mereka memiliki kemungkinan hidup yang rendah.
Lima puluh tahun kemudian, akibat polusi, warna kulit kayu menjadi lebih gelap,
dan saat itu ngengat berwarna cerah menjadi yang paling mudah diburu.
Akibatnya, jumlah ngengat berwarna cerah berkurang, sementara populasi ngengat
berwarna gelap meningkat karena mereka tidak mudah terlihat. Evolusionis
menggunakan ini sebagai bukti kuat teori mereka. Mereka malah berlindung dan
menghibur diri di balik etalase dengan menunjukkan bahwa ngengat berwarna cerah
“telah berevolusi” menjadi ngengat berwarna gelap.
Seharusnya sudah sangat jelas bahwa keadaan ini sama sekali tidak dapat
digunakan sebagai bukti teori evolusi, karena seleksi alam tidak memunculkan
bentuk baru yang sebelumnya tidak ada. Ngengat berwarna gelap sudah ada dalam
populasi ngengat sebelum Revolusi Industri. Yang berubah hanya proporsi relatif
dari varietas ngengat yang ada. Ngengat tersebut tidak mendapatkan sifat atau
organ baru, yang memunculkan “spesies baru”. Sedangkan agar seekor ngengat
berubah menjadi spesies lain, menjadi burung misalnya, penambahan-penambahan
baru harus terjadi pada gen-gennya. Dengan kata lain, program genetis yang sama
sekali berbeda harus dimasukkan untuk memuat informasi mengenai sifat-sifat
fisik burung.
Singkatnya, seleksi alam tidak mampu menambahkan organ baru pada makhluk
hidup, menghilangkan organ, atau mengubah makhluk itu menjadi spesies lain. Hal
ini sungguh bertentangan dengan khayalan evolusionis. Bukti “terbesar” tadi
dikemukakan karena Darwin hanya mampu mencontohkan “Melanisme industri” pada
ngengat-ngengat di Inggris.
Dapatkah Seleksi Alam Menjelaskan Kompleksitas?
Seleksi alam sama sekali tidak memberikan kontribusi kepada teori evolusi,
sebab mekanisme ini tidak pernah mampu menambah atau memperbaiki informasi
genetis suatu spesies. Seleksi alam juga tidak dapat mengubah satu spesies
menjadi spesies lain: bintang laut menjadi ikan, ikan menjadi katak, katak
menjadi buaya, atau buaya menjadi bu-rung. Seorang pendukung fanatik teori
punctuated equilibrium, Gould, menyinggung kebuntuan seleksi alam ini sebagai
berikut:
Intisari Darwinisme terdapat dalam sebuah kalimat: seleksi alam merupakan
kekuatan yang menciptakan perubahan evolusi. Tak ada yang menyangkal bahwa
seleksi alam akan berperan negatif dengan menghilangkan individu-individu yang
lemah. Menurut teori Darwin, itu berarti pula seleksi alam memunculkan individu-individu
kuat.2
Evolusionis juga menggunakan metode menyesatkan lainnya dalam masalah
seleksi alam: mereka berusaha menampilkan mekanisme ini sebagai “perancang yang
memiliki kesadaran”. Akan tetapi, seleksi alam tidak memiliki kesadaran.
Seleksi alam tidak memiliki kehendak yang dapat menentukan apa yang baik dan
yang buruk bagi makhluk hidup. Karenanya, seleksi alam tidak dapat menjelaskan
sistem-sistem biologis dan organ-organ yang memiliki “kompleksitas tak
tersederhanakan” (irreducible complexity). Sistem-sistem dan organ-organ
ini tersusun atas kerja sama sejumlah besar bagian, dan tidak berfungsi jika
ada satu saja bagian yang hilang atau rusak. (Contohnya, mata manusia tidak
berfungsi kecuali jika semua detailnya ada). Jadi, kehendak yang menyatukan
bagian-bagian tersebut seharusnya mampu memperkirakan masa depan dan langsung
mengarah pada keuntungan yang perlu dicapai pada tahapan terakhir. Karena
seleksi alam tidak memiliki kesadaran atau kehendak, seleksi alam tidak dapat
melakukan hal seperti itu. Fakta ini, yang juga menghancurkan pondasi teori
evolusi, telah membuat Darwin khawatir: “Jika dapat ditunjukkan suatu organ
kompleks, yang tidak mungkin terbentuk melalui banyak modifikasi kecil
bertahap, maka teori saya akan sepenuhnya runtuh.” 3
Seleksi alam hanya mengeliminir individu-individu suatu spesies yang cacat,
lemah atau tidak mampu beradaptasi dengan habitatnya. Mekanisme ini tidak dapat
menghasilkan spesies baru, informasi genetis baru, atau organ-organ baru.
Dengan demikian, seleksi alam tidak mampu menyebabkan apa pun berevolusi.
Darwin menerima kenyataan ini dengan mengatakan: “Seleksi alam tidak dapat
melakukan apa pun sampai variasi-variasi menguntungkan berkebetulan terjadi”.4
Karena itulah neo-Darwinisme harus mengangkat mutasi sejajar dengan seleksi
alam sebagai “penyebab perubahan-perubahan menguntungkan”. Akan tetapi, seperti
yang akan kita lihat, mutasi hanya dapat men-jadi “penyebab perubahan-perubahan
merugikan”.
Mutasi
Mutasi didefinisikan sebagai pemutusan atau penggantian yang terjadi pada
molekul DNA, yang terdapat dalam inti sel makhluk hidup dan berisi semua
informasi genetis. Pemutusan atau penggantian ini diakibatkan pengaruh-pengaruh
luar seperti radiasi atau reaksi kimiawi. Setiap mutasi adalah “kecelakaan” dan
merusak nukleotida-nukleotida yang membangun DNA atau mengubah posisinya.
Hampir selalu, mutasi menyebabkan kerusakan dan perubahan yang sedemikian parah
sehingga tidak dapat diperbaiki oleh sel tersebut.
Mutasi, yang sering dijadikan tempat berlindung evolusionis, bukan tongkat
sihir yang dapat mengubah makhluk hidup ke bentuk yang lebih maju dan sempurna.
Akibat langsung mutasi sungguh berbahaya. Perubahan-perubahan akibat mutasi
hanya akan be-rupa kematian, cacat dan abnormalitas, seperti yang dialami oleh penduduk
Hiroshima, Nagasaki dan Chernobyl. Alasannya sangat sederhana: DNA memiliki
struktur teramat kompleks, dan pengaruh-pengaruh yang acak hanya akan
menyebabkan kerusakan pada struktur tersebut. B.G. Ranganathan menyatakan:
Mutasi bersifat kecil, acak dan berbahaya. Mutasi pun jarang terjadi dan
kalau-pun terjadi, kemungkinan besar mutasi itu tidak berguna. Empat
karakteristik mutasi ini menunjukkan bahwa mutasi tidak dapat mengarah pada
perkembangan evolusioner. Suatu perubahan acak pada organisme yang sangat
terspesialisasi bersifat tidak berguna atau membahayakan. Perubahan acak
pada sebuah jam tidak dapat memperbaiki, malah kemungkinan besar akan
merusaknya atau tidak berpengaruh sama sekali. Gempa bumi tidak akan
memperbaiki kota, tetapi menghancurkannya.5
Tidak mengherankan, sejauh ini tidak ditemukan satu mutasi pun yang
berguna. Semua mutasi telah terbukti membahayakan. Seorang ilmuwan
evolusionis, Warren Weaver, mengomentari laporan The Committee on Genetic
Effects of Atomic Radiation, sebuah komite yang meneliti mutasi yang mungkin
disebabkan oleh senjata-senjata nuklir selama Perang Dunia II, sebagai berikut:
Banyak orang akan tercengang oleh pernyataan bahwa hampir semua gen mu-tan
yang diketahui ternyata membahayakan. Jika mutasi adalah bagian penting dalam
proses evolusi, bagaimana mungkin sebuah efek yang baik — evolusi ke bentuk
kehidupan lebih tinggi — berasal dari mutasi yang hampir semuanya berbahaya?
6
Setiap upaya untuk “menghasilkan mutasi yang menguntungkan” berakhir dengan
kegagalan. Selama puluhan tahun, evolusionis melakukan berbagai percobaan untuk
menghasilkan mutasi pada lalat buah, karena serangga ini bereproduksi
sangat cepat sehingga mutasi akan muncul dengan cepat pula. Dari generasi ke
generasi lalat ini telah dimutasikan, tetapi mutasi yang menguntungkan tidak
pernah dihasilkan. Seorang ahli genetika evolusionis, Gordon Taylor, menulis:
Pada ribuan percobaan pengembangbiakan lalat yang
dilakukan di seluruh dunia selama lebih dari 50 tahun, tidak ada spesies baru
yang muncul... bahkan satu enzim baru pun tidak. 7
Seorang peneliti lain, Michael Pitman, berkomentar tentang kegagalan
percobaan-percobaan yang dilakukan terhadap lalat buah:
Morgan, Goldschmidt, Muller, dan ahli-ahli genetika lain telah menempatkan
beberapa generasi lalat buah pada kondisi ekstrem seperti panas, dingin,
terang, gelap dan perlakuan dengan zat kimia dan radiasi. Segala macam jenis
mutasi, baik yang hampir tak berarti maupun yang positif merugikan, telah
dihasilkan. Inikah evolusi buatan manusia? Tidak juga. Hanya sebagian kecil
monster buatan ahli-ahli genetika tersebut yang mungkin mampu bertahan hidup di
luar botol tempat mereka dikembangbiakkan. Pada
kenyataannya, mutan-mutan tersebut mati, mandul, atau cenderung kembali ke
bentuk asal.8
Hal yang sama berlaku bagi manusia. Semua mutasi yang teramati pada manusia
mengakibatkan kerusakan berupa cacat atau kelemahan fisik, misalnya mongolisme,
sindroma Down, albinisme, dwarfisme atau kanker. Namun, para evolusionis
berusaha mengaburkan permasalahan, bahkan dalam buku-buku pelajaran evolusionis
contoh-contoh mutasi yang merusak ini disebut sebagai “bukti evolusi”. Tidak
perlu dikatakan lagi, sebuah proses yang menyebabkan manusia cacat atau sakit
tidak mungkin menjadi “mekanisme evolusi” — evolusi seharusnya menghasilkan
bentuk-bentuk yang lebih baik dan lebih mampu bertahan hidup.
Sebagai rangkuman, ada tiga alasan utama mengapa mutasi tidak dapat
dijadikan bukti yang mendukung pernyataan evolusionis:
1) Efek langsung dari mutasi membahayakan. Mutasi terjadi secara
acak, karenanya mutasi hampir selalu merusak makhluk hidup yang mengalaminya.
Logika mengatakan bahwa intervensi secara tak sengaja pada sebuah struktur
sempurna dan kompleks tidak akan mem-perbaiki struktur tersebut, tetapi merusaknya.
Dan memang, tidak per-nah ditemukan satu pun “mutasi yang bermanfaat”.
2) Mutasi tidak menambahkan informasi baru pada DNA suatu
organisme. Partikel-partikel penyusun informasi genetika terenggut dari tempatnya,
rusak atau terbawa ke tempat lain. Mutasi
tidak dapat memberi makhluk hidup organ atau sifat baru. Mutasi hanya
meng-akibatkan ketidaknormalan seperti kaki yang muncul di punggung, atau
telinga yang tumbuh dari perut.
3) Agar dapat
diwariskan pada generasi selanjutnya, mutasi harus terjadi pada sel-sel
reproduksi organisme tersebut.
Perubahan acak yang terjadi pada sel biasa atau organ tubuh tidak dapat
diwariskan kepada generasi selanjutnya. Sebagai contoh, mata manusia yang
berubah aki-bat efek radiasi atau sebab lain, tidak akan diwariskan kepada
generasi-generasi berikutnya.
Singkatnya, makhluk
hidup tidak mungkin berevolusi karena di alam tidak ada mekanisme yang
menyebabkannya. Kenyataan ini sesuai dengan bukti-bukti catatan fosil, yang
menunjukkan bahwa skenario evolusi sangat menyimpang dari kenyataan.
1) Colin Patterson,
“Cladistics”, wawancara dengan Brian Leek, Peter Franz, 4 Maret 1982, BBC.
*) atau "Melanisme Industri"
2) Stephen Jay Gould, “The
Return of Hopeful Monsters”, Natural History, Vol. 86, Juli-Agustus 1977, hlm.
28.
3) Charles Darwin, The
Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press,
1964, hlm. 189.
4) Ibid, hlm. 177.
5) B.G. Ranganathan,
Origins?, Pennsylvania: The Banner Of Truth Trust, 1988.
6) Warren Weaver,
"Genetic Effects of Atomic Radiation", Science, Vol. 123, 29 Juni
1956, hlm. 1159.
7) Gordon R. Taylor, The
Great Evolution Mystery, New York: Harper & Row, 1983, hlm. 48
8) Michael Pitman, Adam and
Evolution, London: River Publishing, 1984, hlm. 70
BAB 4
Catatan
Fosil Membantah Evolusi
Menurut teori evolusi, setiap spesies hidup berasal dari satu nenek moyang.
Spesies yang ada sebelumnya lambat laun berubah menjadi spesies lain, dan semua
spesies muncul dengan cara ini. Menurut teori tersebut, perubahan ini
berlangsung sedikit demi sedikit dalam jangka waktu jutaan tahun.
Dengan demikian, maka seharusnya pernah terdapat sangat banyak spesies
peralihan selama periode perubahan yang panjang ini.
Sebagai contoh, seharusnya terdapat beberapa jenis makhluk setengah ikan -
setengah reptil di masa lampau, dengan beberapa ciri reptil sebagai tambahan
pada ciri ikan yang telah mereka miliki. Atau seharusnya terdapat beberapa
jenis burung-reptil dengan beberapa ciri burung di samping ciri reptil yang
telah mereka miliki. Evolusionis menyebut makhluk-makhluk imajiner yang mereka
yakini hidup di masa lalu ini sebagai “bentuk transisi”.
Jika binatang-binatang seperti ini memang pernah ada, maka seharusnya
mereka muncul dalam jumlah dan variasi sampai jutaan atau milyaran. Lebih
penting lagi, sisa-sisa makhluk-makhluk aneh ini seharusnya ada pada catatan
fosil. Jumlah bentuk-bentuk peralihan ini pun semestinya jauh lebih besar
daripada spesies binatang masa kini dan sisa-sisa mereka seharusnya ditemukan
di seluruh penjuru dunia. Dalam The Origin of Species, Darwin menjelaskan:
“Jika teori saya benar, pasti pernah terdapat jenis-jenis bentuk peralihan
yang tak terhitung jumlahnya, yang mengaitkan semua spesies dari kelompok yang
sama…. Sudah tentu bukti keberadaan mereka di masa lampau hanya dapat ditemukan
pada peninggalan-peninggalan fosil.” 1
Bahkan Darwin sendiri sadar akan ketiadaan bentuk-bentuk peralihan
tersebut. Ia berharap bentuk-bentuk peralihan itu akan ditemukan di masa
mendatang. Namun di balik harapan besarnya ini, ia sadar bahwa rintangan utama
teorinya adalah ketiadaan bentuk-bentuk peralihan. Karena itulah dalam buku The Origin of Species, pada
bab “Difficulties of the Theory” ia menulis:
... Jika suatu spesies memang berasal dari
spesies lain melalui perubahan sedikit demi sedikit, mengapa kita tidak melihat
sejumlah besar bentuk transisi di mana pun? Mengapa alam tidak berada dalam
keadaan kacau-balau, tetapi justru seperti kita lihat, spesies-spesies hidup
dengan bentuk sebaik-baiknya?.... Menurut teori ini harus ada bentuk-bentuk
peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak menemukan mereka
terkubur di kerak bumi dalam jumlah tidak terhitung?.... Dan pada daerah
peralihan, yang memiliki kondisi hidup peralihan, mengapa sekarang tidak kita
temukan jenis-jenis peralihan dengan kekerabatan yang erat? Telah lama
kesulitan ini sangat membingungkan saya. 2
Satu-satunya
penjelasan Darwin atas hal ini adalah bahwa catatan fosil yang telah ditemukan
hingga kini belum memadai. Ia menegaskan jika catatan fosil dipelajari secara
terperinci, mata rantai yang hilang akan ditemukan.
Karena mempercayai ramalan Darwin, kaum evolusionis telah berburu fosil dan
melakukan penggalian mencari mata rantai yang hilang di seluruh penjuru dunia
sejak pertengahan abad ke-19. Walaupun mereka telah bekerja keras, tak satu pun
bentuk transisi ditemukan. Bertentangan dengan kepercayaan evolusionis, semua
fosil yang ditemukan justru membuktikan bahwa kehidupan muncul di bumi secara
tiba-tiba dan dalam bentuk yang telah lengkap. Usaha mereka untuk membuktikan
teori evolusi justru tanpa sengaja telah meruntuhkan teori itu sendiri.
Seorang ahli paleontologi Inggris ternama, Derek V. Ager, mengakui fakta
ini meskipun dirinya seorang evolusionis:
Jika kita mengamati catatan fosil secara terperinci, baik pada tingkat ordo
maupun spesies, maka yang selalu kita temukan bukanlah evolusi bertahap, namun
ledakan tiba-tiba satu kelompok makhluk hidup yang disertai kepunahan kelompok
lain. 3
Ahli paleontologi evolusionis lainnya, Mark Czarnecki, berkomentar sebagai
berikut:
Kendala utama dalam membuktikan teori evolusi selama ini adalah catatan
fosil; jejak spesies-spesies yang terawetkan dalam lapisan bumi. Catatan fosil
belum pernah mengungkapkan jejak-jejak jenis peralihan hipotetis Darwin —
sebaliknya, spesies muncul dan musnah secara tiba-tiba. Anomali ini menguatkan
argumentasi kreasionis*) bahwa setiap spesies diciptakan oleh Tuhan. 4
Mereka juga harus mengakui ke-sia-siaan menunggu kemunculan bentuk-bentuk
transisi yang “hilang” di masa mendatang, seperti yang dijelaskan seorang
profesor paleontologi dari Universitas Glasgow, T. Neville George:
Tidak ada gunanya lagi menjadikan keterbatasan catatan fosil sebagai
alasan. Entah bagaimana, catatan fosil menjadi berlimpah dan hampir tidak dapat
dikelola, dan penemuan bermunculan lebih cepat dari pengintegrasian...
Bagaimanapun, akan selalu ada kekosongan pada catatan fosil. 5
Kehidupan Muncul di Muka Bumi dengan Tiba-Tiba dan dalam Bentuk Kompleks
Ketika lapisan bumi dan catatan fosil dipelajari, terlihat bahwa semua
makhluk hidup muncul bersamaan. Lapisan bumi tertua tempat fosil-fosil makhluk
hidup ditemukan adalah Kambrium, yang diperkirakan berusia 500-550 juta tahun.
Catatan fosil memperlihatkan, makhluk hidup yang ditemukan pada lapisan
bumi periode Kambrium muncul dengan tiba-tiba — tidak ada nenek moyang yang
hidup sebelumnya. Fosil-fosil di dalam batu-batuan Kambrium berasal dari siput,
trilobita, bunga karang, cacing tanah, ubur-ubur, landak laut dan invertebrata
kompleks lainnya. Beragam makhluk hidup yang kompleks muncul begitu tiba-tiba,
sehingga literatur geologi menyebut kejadian ajaib ini sebagai “Ledakan Kambrium”
(Cambrian Explosion).
Sebagian besar bentuk kehidupan yang ditemukan dalam lapisan ini memiliki
sistem kompleks seperti mata, insang, sistem peredaran darah, dan struktur
fisiologis maju yang tidak berbeda dengan kerabat modern mereka. Misalnya,
struktur mata majemuk berlensa ganda dari trilobita adalah suatu keajaiban
desain. David Raup, seorang profesor geologi di Universitas Harvard,
Universitas Rochester dan Universitas Chicago mengatakan: “Trilobita
memiliki desain optimal, hingga dibutuhkan seorang rekayasawan optik yang
sangat terlatih dan sangat imajinatif jika ingin membuatnya di masa kini”. 6
Binatang-binatang invertebrata kompleks ini muncul secara tiba-tiba dan
sempurna tanpa memiliki kaitan atau bentuk transisi apa pun dengan organisme
bersel satu yang merupakan satu-satunya bentuk kehidupan di bumi sebelum
mereka.
Richard Monastersky,
editor Earth Sciences, salah satu terbitan populer dalam literatur evolusionis,
memberikan pernyataan di bawah ini mengenai “Ledakan Kambrium” yang muncul sebagai
kejutan besar bagi evolusionis:
Setengah milyar
tahun lalu, binatang-binatang dengan bentuk-bentuk sangat kompleks seperti yang
kita lihat pada masa kini muncul secara tiba-tiba. Momen ini, tepat di awal
Periode Kambrium Bumi sekitar 550 juta tahun lalu, menandai ledakan evolusioner
yang mengisi lautan dengan makhluk-makhluk hidup kompleks pertama di dunia. Filum binatang besar masa
kini ternyata telah ada di awal masa Kambrium. Binatang-binatang pertama itu
pun berbeda satu sama lain sebagaimana binatang-binatang saat ini. 7
Bagaimana bumi ini dipenuhi berbagai jenis binatang secara tiba-tiba dan
bagaimana spesies-spesies yang berbeda-beda ini muncul tanpa nenek moyang yang
sama adalah pertanyaan yang masih belum terjawab oleh evolusionis. Richard Dawkins,
ahli zoologi Oxford, salah satu pembela evolusionis terkemuka di dunia,
berkomentar mengenai realitas ini:
Sebagai contoh, lapisan batuan Kambrium yang berumur sekitar 600 juta
tahun, adalah lapisan tertua di mana kita menemukan sebagian besar kelompok
utama invertebrata. Dan kita dapati sebagian besarnya telah berada pada tahap
lanjutan evolusi, saat pertama kali mereka muncul. Mereka seolah-olah
ditempatkan begitu saja di sana, tanpa proses evolusi. Tentu saja,
kesimpulan tentang kemunculan tiba-tiba ini menggembirakan kreasionis.8
Dawkins terpaksa mengakui, “Ledakan Kambrium” adalah bukti kuat adanya
penciptaan, karena penciptaan adalah satu-satunya penjelasan mengenai
kemunculan bentuk-bentuk kehidupan yang sempurna secara tiba-tiba di bumi ini.
Douglas Futuyma, ahli biologi evolusionis terkemuka mengakui fakta ini dan mengatakan:
“Organisme muncul di muka bumi dengan dua kemungkinan: dalam bentuk yang telah
sempurna atau tidak sempurna. Jika muncul dalam bentuk tidak sempurna, mereka
pasti telah berkembang dari spesies yang telah ada sebelumnya melalui proses
modifikasi. Jika mereka memang muncul dalam keadaan sudah berkembang
sempurna, mereka pasti telah diciptakan oleh suatu kecerdasan dengan kekuasaan
tak terbatas.”9 Darwin sendiri menyadari kemungkinan ini ketika
menulis: “Jika banyak spesies benar-benar muncul dalam kehidupan secara
serempak dari genera atau famili-famili yang sama, fakta ini akan berakibat
fatal bagi teori penurunan dengan modifikasi perlahan-lahan melalui seleksi
alam.”10 Agaknya, periode Kambrium merupakan “pukulan mematikan”
bagi Darwin. Inilah yang membuat seorang ahli paleo-antropologi evolusionis
dari Swiss, Stefan Bengston, mengakui ketiadaan mata rantai transisi saat ia
menjelaskan tentang periode Kambrium. Ia mengatakan: “Peristiwa yang
mengecewakan (dan memalukan) bagi Darwin ini masih membingungkan kami”.11
Seperti yang kita pahami, catatan fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup
tidak berevolusi dari bentuk primitif ke bentuk yang lebih maju, tetapi muncul
secara tiba-tiba dan dalam keadaan sempurna. Ringkasnya, makhluk hidup tidak
muncul melalui evolusi, tetapi diciptakan.
1)Charles Darwin, The Origin
of Species: A Facsimile of the First Edition, Harvard University Press, 1964,
hlm. 179.
2)Ibid, hlm. 172, 280
3)Derek V. Ager, "The
Nature of the Fossil Record", prosiding dari British Geological Association,
Vol. 87, 1976, hlm. 133.
*)Kreasionis = Penganut
kepercayaan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan, dan menolak teori
evolusi.
4)Mark Czarnecki, "The
Revival of the Creationist Crusade", MacLean's, 19 Januari 1981, hlm. 56.
5)T. Neville George,
"Fossils in Evolutionary Perspective", Science Progress, Vol. 48,
Januari 1960, hlm. 1, 3.
6)David Raup,
"Conflicts Between Darwin and Paleontology", Buletin Field Museum of
Natural History, Vol. 50, Januari 1979, hlm. 24.
7) Richard Monastersky,
"Mysteries of the Orient", Discover, April 1993, hlm.40.
8) Richard Dawkins, The
Blind Watchmaker, London: W. W. Norton 1986, hlm. 229.
9) Douglas J. Futuyma,
Science on Trial, New York: Pantheon Books, 1983, hlm. 197.
10) Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile
of the First Edition, Harvard University Press, 1964, hlm. 302.
11) Stefan Bengston, Nature, Vol. 345, 1990, hlm. 765.
Fosil-Fosil Hidup
Teori evolusi menyatakan
bahwa spesies makhluk hidup terus-menerus berevolusi menjadi spesies lain. Namun
ketika kita membandingkan makhluk hidup dengan fosil-fosil mereka, kita melihat
bahwa mereka tidak berubah setelah jutaan tahun. Fakta ini adalah bukti nyata yang meruntuhkan pernyataan evolusionis.
Mata Trilobita
Trilobita yang muncul secara
tiba-tiba pada periode Kambrium memiliki struktur mata yang sangat kompleks. Mata ini terdiri dari
jutaan partikel kecil menyerupai sarang lebah dan sebuah sistem lensa ganda.
Sebagaimana ungkapan David Raup, seorang profesor geologi, mata ini merupakan
“sebuah desain optimal, hingga dibutuhkan seorang rekayasawan optik yang sangat
terlatih dan sangat imajinatif jika ingin membuatnya di masa kini”.
Mata ini muncul 530 juta tahun lalu dalam kondisi sempurna. Tidak diragukan
lagi, kemunculan secara tiba-tiba dari desain menakjubkan ini tidak dapat
dijelaskan dengan evolusi, dan membuktikan adanya penciptaan.
Lebih jauh lagi, struktur mata trilobita tetap bertahan hingga sekarang
tanpa ada perubahan sedikit pun. Beberapa serangga seperti lebah dan capung memiliki
struktur mata yang sama dengan trilobita.*) Keadaan ini menggugurkan anggapan
evolusionis bahwa makhluk hidup ber-evolusi secara progresif dari bentuk
primitif ke bentuk kompleks.
BAB 5
Dongeng
tentang Transisi dari Air ke Darat
Evolusionis mengasumsikan invertebrata laut yang muncul pada periode
Kambrium berevolusi menjadi ikan dalam waktu puluhan juta tahun. Tetapi
sebagaimana invertebrata-invertebrata Kambrium tidak memiliki nenek moyang,
juga tidak ditemukan mata rantai transisi yang menunjukkan bahwa evolusi
terjadi antara jenis-jenis invertebrata ini dengan ikan. Perlu dicatat bahwa
invertebrata dan ikan memiliki perbedaan struktural yang sangat besar.
Invertebrata memiliki jaringan keras di luar tubuh mereka, sedangkan ikan
adalah vertebrata dengan jaringan keras di dalam tubuh. “Evolusi” sebesar itu
tentu akan melalui miliaran tahap, dan seharusnya ada miliaran bentuk transisi
yang menunjukkan tahapan-tahapan tersebut.
Evolusionis telah menggali lapisan-lapisan fosil selama kurang lebih 140
tahun untuk mencari bentuk-bentuk hipotetis tersebut. Mereka telah menemukan
jutaan fosil invertebrata dan jutaan fosil ikan; tetapi tidak pernah menemukan
satu bentuk peralihan pun antara invertebrata dan ikan.
Ahli paleontologi evolusionis, Gerald T. Todd, mengakui fakta ini dalam
artikel “Evolusi Paru-Paru dan Asal Usul Ikan”:
Ketiga subdivisi ikan bertulang muncul pertama kali dalam catatan fosil
pada saat yang kira-kira bersamaan. Secara morfologis mereka telah sangat
beragam, dan mereka memiliki tubuh yang sangat terlindung. Bagaimana mereka
berasal mula? Apa yang memungkinkan mereka sangat beraneka ragam? Bagaimana
mereka semua memiliki pelindung tubuh yang kuat? Dan mengapa tidak ada jejak
bentuk-bentuk peralihan sebelumnya? 1
Skenario evolusi beranjak selangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa ikan,
yang berevolusi dari invertebrata, kemudian berubah menjadi amfibi. Akan
tetapi, skenario ini juga tidak memiliki bukti. Tidak ada satu fosil pun yang
menunjukkan bahwa pernah terdapat makhluk separo ikan – separo amfibi. Dengan
enggan, kenyataan ini dibenarkan oleh Robert L. Carrol, seorang evolusionis terkenal,
penulis buku Vertebrate Paleontology and Evolution: “Kami tidak memiliki
fosil peralihan antara ikan rhipidistian (favoritnya untuk ‘nenek moyang’
tetrapoda) dan amfibi-amfibi awal.”2 Dua orang ahli paleontologi
evolusionis, Colbert dan Morales, berkomentar mengenai tiga kelompok utama
amfibi: katak, salamander dan caecilian:
Tidak ada bukti keberadaan amfibi Paleozoik yang
menggabungkan sifat-sifat yang diperkirakan dimiliki satu nenek moyang yang
sama.
Katak, salamander dan caecilian paling tua sangat mirip dengan keturunan mereka
yang masih hidup. 3
Sampai sekitar 50 tahun yang lalu, evolusionis meyakini bahwa makhluk
semacam ini benar-benar pernah ada. Ikan ini disebut 'Coelacanth' dan
diperkirakan berumur 410 juta tahun. Coelacanth diajukan sebagai bentuk
transisi dengan paru-paru primitif, otak yang telah berkembang, sistem
pencernaan dan peredaran darah yang siap untuk berfungsi di darat, dan bahkan
mekanisme berjalan yang primitif. Penafsiran-penafsiran anatomis ini diterima
sebagai kebenaran yang tidak diperdebatkan lagi di kalangan ilmuwan hingga
akhir tahun 1930-an. Coelacanth dianggap sebagai bentuk peralihan sesungguhnya
yang membuktikan transisi evolusioner dari air ke darat.
Namun pada tanggal 22 Desember 1938, terjadi sebuah penemuan yang sangat
menarik di Samudera Hindia. Di sana berhasil ditangkap hidup-hidup salah satu
anggota famili Coelacanth, yang sebelumnya diajukan sebagai bentuk transisi
yang telah punah 70 juta tahun lalu! Tak diragukan lagi, penemuan prototipe
Coelacanth “hidup” ini menjadi pukulan hebat bagi para evolusionis. Seorang
ahli paleontologi evolusionis, J.L.B. Smith, mengatakan bahwa ia tak akan
sekaget ini jika bertemu dengan seekor dinosaurus hidup.4 Pada
tahun-tahun berikutnya, 200 ekor Coelacanth berhasil ditangkap di berbagai
penjuru dunia.
Bukti Coelacanth hidup memperlihatkan sejauh mana evolusionis dapat
mengarang skenario khayalan mereka. Bertentangan dengan klaim mereka,
Coelacanth ternyata tidak memiliki paru-paru primitif dan tidak pula otak yang
besar. Organ yang dianggap oleh peneliti evolusionis sebagai paru-paru primitif
ternyata hanya kantong lemak.5 Terlebih lagi, Coelacanth yang
dikatakan sebagai “calon reptil yang sedang bersiap meninggalkan laut menuju
daratan”, pada kenyataannya adalah ikan yang hidup di dasar samudra dan tidak
pernah mendekati kurang dari 180 meter di bawah permukaan laut.6
1)Gerald T. Todd,
"Evolution of the Lung and the Origin of Bony Fishes: A Casual
Relationship", American Zoologist, Vol. 26, No. 4, 1980, hlm. 757.
2)R. L. Carroll, Vertebrate
Paleontology and Evolution, New York: W. H. Freeman and Co. 1988, hlm. 4.
3)Edwin H. Colbert, M.
Morales, Evolution of the Vertebrates, New York: John Wiley and Sons, 1991,
hlm. 99.
4)Jean-Jacques Hublin, The
Hamlyn Encyclopedia of Prehistoric Animals, New York: The Hamlyn Publishing
Group Ltd., 1984, hlm. 120.
5)Jacques Millot, "The
Coelacanth", Scientific American, Vol. 193, Desember 1955, hlm. 39.
6)Majalah Bilim ve Teknik,
November 1998, No: 372, hlm. 21.
FOKUS: Mengapa Transisi
dari
Air ke Darat Tidak
Mungkin
Evolusionis menyatakan
bahwa suatu ketika, spesies yang hidup di air naik ke darat dan berubah menjadi
spesies darat. Ada sejumlah fakta yang sangat jelas menunjukkan kemustahilan
transisi seperti itu:
1. Keharusan
membawa beban tubuh: makhluk penghuni air membawa be-ban tubuh mereka tanpa
masalah. Tetapi, bagi sebagian besar binatang darat, 40% energi mereka habis
hanya untuk membawa beban tubuh me-reka. Makhluk hidup yang berpindah dari air
ke darat harus mengembang-kan sistem otot dan kerangka baru (!) secara
bersamaan agar dapat memenuhi kebutuhan energi ini. Suatu hal yang tidak
mungkin terjadi melalui mutasi kebetulan.
2. Daya
tahan terhadap panas: suhu daratan dapat berubah dengan cepat dan naik-turun
dalam rentang yang lebar. Makhluk hidup di darat memiliki mekanisme tubuh yang
dapat menahan perubahan-perubahan suhu yang besar itu. Akan tetapi, suhu lautan
berubah secara perlahan dan perubahan tersebut tidak terjadi dalam rentang yang
terlalu lebar. Organisme hidup dengan sistem tubuh sesuai temperatur laut yang
konstan akan membutuhkan suatu sistem perlindungan agar perubahan suhu di darat
tidak akan membahayakan. Sangat tidak masuk akal bahwa ikan mendapatkan sistem
tersebut melalui mutasi acak segera setelah mereka naik ke darat.
3. Penggunaan
air: air dan kelembaban yang penting untuk metabolisme harus digunakan sehemat
mungkin karena kelangkaan sumber air di darat. Sebagai contoh, kulit harus
dirancang agar dapat mengeluarkan air sejumlah tertentu, sekaligus mencegah
penguapan berlebihan. Karenanya, makhluk hidup di darat memiliki rasa haus
karakteristik yang tidak dimiliki organisme air. Di samping itu, kulit tubuh hewan
air tidak sesuai untuk habitat non-air.
4. Ginjal: organisme air dapat dengan mudah membuang zat-zat
sisa dalam tubuh mereka (terutama amonia) dengan penyaringan, karena banyaknya
air dalam habitat mereka. Di darat, air harus digunakan sehemat mungkin. Itulah
sebabnya hewan darat memiliki sistem ginjal. Berkat ginjal, amonia disimpan
dengan cara mengubahnya menjadi urea dan hanya membutuhkan sejumlah kecil air
untuk membuangnya. Di samping itu, beberapa sistem baru dibutuhkan untuk
membuat ginjal berfungsi. Singkatnya, agar perpindahan dari air ke darat dapat
terjadi, makhluk hidup tanpa ginjal harus membentuk sistem ginjal secara
tiba-tiba.
5. Sistem pernapasan: ikan “bernapas” dengan mengambil
oksigen yang terlarut dalam air yang mereka alirkan melewati insang. Mereka
tidak mampu hidup lebih dari beberapa menit di luar air. Agar mampu hidup di
darat, me-reka harus mendapatkan sistem paru-paru yang sempurna secara
tiba-tiba.
Tentu saja mustahil bahwa
semua perubahan fisiologis yang dramatis ini dapat terjadi pada organisme yang
sama, pada saat bersamaan, dan secara kebetulan.
Penyu Selalu Menjadi Penyu
Teori evolusi bukan hanya tidak mampu menjelaskan kelompok-kelompok utama
makhluk hidup seperti ikan dan reptil. Mereka juga tidak dapat menerangkan asal
usul spesies dalam kelompok-kelompok tersebut. Misalnya penyu, yang merupakan
spesies reptil. Catatan fosil menunjukkan, penyu muncul secara tiba-tiba, sudah
dengan tempurungnya yang unik. Sebuah kutipan dari sumber evolusionis:
“...hingga per-tengahan Zaman Triassic (sekitar 175.000.000 tahun lalu), anggota-anggota
kelompok penyu telah banyak jumlahnya dan memiliki karakteristik dasar penyu.
Mata rantai antara penyu dan cotylosaurus, nenek moyang hipotetis penyu, hampir
tidak ada sama sekali”. (Encyclopaedia Brittanica, 1971, v.22, hal. 418)
Tidak ada perbedaan antara fosil penyu kuno dengan anggota spesies ini yang
hidup di masa kini. Ringkasnya, penyu tidak pernah “berevolusi”; mereka tetap
penyu karena diciptakan demikian.
BAB 6
Asal-Usul Burung dan Mamalia
Menurut teori
evolusi, kehidupan berawal dan berevolusi di laut, kemudian amfibi
memindahkannya ke darat. Skenario evolusi ini juga menyatakan bahwa amfibi
kemudian berevolusi menjadi reptil, makhluk yang hanya hidup di darat. Sekali lagi skenario ini
tidak masuk akal, karena terdapat perbedaan-perbedaan struktural yang jauh
antara dua kelompok besar hewan ini. Misalnya, telur amfibi didesain untuk
berkembang di dalam air sedangkan telur amniotik reptil didesain untuk
berkembang di darat. Evolusi “bertahap” amfibi adalah mustahil, sebab tanpa
telur yang didesain dengan baik dan sempurna, tidak mungkin sebuah spesies
dapat bertahan hidup. Selain itu, seperti
biasa, tidak ada bukti bentuk transisi yang mestinya menghubungkan amfibi
dengan reptil. Robert L. Carrol, seorang ahli paleontologi evolusionis dengan
spesialisasi di bidang paleontologi vertebrata, mengakui bahwa “reptil-reptil
awal sangat berbeda dengan amfibi dan nenek moyang mereka belum dapat
ditemukan.” 1
Akan tetapi,
skenario evolusionis tanpa harapan ini belum juga berakhir. Masih ada masalah,
bagaimana membuat mahkluk-makhluk ini bisa terbang! Karena mempercayai burung
sebagai hasil evolusi, evolusionis berkeras bahwa burung-burung tersebut
berasal dari reptil. Akan tetapi, tidak ada satu pun mekanisme khas burung
dengan struktur yang sepenuhnya berbeda dengan binatang darat dapat dijelaskan
dengan evolusi bertahap. Misalnya sayap, sebagai satu ciri khas burung,
merupakan jalan buntu bagi para evolusionis. Seorang evolusionis dari Turki,
Engin Korur, mengakui kemustahilan evolusi sayap:
Ciri yang sama
antara mata dan sayap adalah bahwa keduanya hanya berfungsi jika telah
berkembang sempurna. Dengan kata lain, mata setengah jadi tidak dapat
melihat; seekor burung dengan sayap setengah jadi tidak dapat terbang.
Tentang bagaimana organ-organ ini muncul, masih merupakan salah satu misteri
alam yang perlu dicari penjelasannya. 2
Pertanyaan bagaimana
struktur sayap yang sempurna muncul dari serangkaian mutasi acak, masih belum
terjawab sama sekali. Adalah penjelasan yang tidak mungkin bahwa lengan depan
reptil dapat berubah menjadi sayap yang berfungsi sempurna sebagai hasil
distorsi pada gen-gennya (mutasi).
Lagi pula, sekadar
memiliki sayap tidak memadai bagi organisme darat untuk terbang. Organisme darat tidak
memiliki mekanisme-mekanisme struktural lain yang digunakan burung untuk
terbang. Misalnya, tulang-tulang burung jauh lebih ringan daripada
tulang-tulang organisme darat. Cara kerja paru-paru mereka sangat berbeda.
Mereka memiliki sistem otot dan rangka yang berbeda dan sistem
jantung-peredaran darah yang sangat khas. Ciri-ciri ini adalah prasyarat untuk
bisa terbang, yang sama pentingnya dengan sayap. Semua mekanisme ini harus ada
seluruhnya pada saat bersamaan; semuanya tidak mungkin terbentuk sedikit demi
sedikit dengan cara “terakumulasi”. Karena itulah teori yang menyatakan bahwa
organisme darat berevolusi menjadi organisme terbang benar-benar menyesatkan.
Semua ini menimbulkan pertanyaan baru: kalaupun kisah mustahil ini kita
anggap benar, mengapa evolusionis tidak mampu menemukan fosil-fosil “bersayap
setengah” atau “bersayap tunggal” untuk mendukung kisah mereka?
Satu Lagi Bentuk Transisi Hipotetis: Archæopteryx
Sebagai jawaban, evolusionis mengajukan satu makhluk yaitu fosil bu-rung
yang disebut Archæopteryx. Burung ini dikenal luas sebagai salah satu ‘bentuk
transisi’ dari hanya beberapa yang masih mereka pertahankan. Archæopteryx,
nenek moyang burung modern menurut kaum evolusionis, hidup 150 juta tahun lalu.
Teori tersebut menyatakan bahwa sejenis dinosaurus berukuran kecil yang disebut
Velociraptor atau Dromeosaurus berevolusi dengan mendapatkan sayap dan kemudian
mulai terbang. Archæopteryx diasumsikan sebagai makhluk transisi dari
dinosaurus, nenek moyangnya, dan kemudian terbang untuk pertama kalinya.
Akan tetapi, penelitian terakhir pada fosil Archæopteryx menunjukkan bahwa
makhluk ini sama sekali bukan bentuk transisi, melainkan spesies burung dengan
beberapa karakteristik yang berbeda dari burung masa kini.
Hingga beberapa waktu yang lalu, pernyataan bahwa Archæopteryx merupakan
makhluk “separo burung” yang tidak dapat terbang dengan sempurna, masih sangat
populer di kalangan evolusionis. Ketiadaan sternum (tulang dada) pada makhluk
ini, atau paling tidak perbedaannya dengan sternum milik unggas yang dapat terbang,
dianggap sebagai bukti paling penting bahwa burung ini tidak dapat terbang
secara sempurna. (Tulang dada terdapat di bawah toraks, sebagai tempat
bertambatnya otot-otot yang digunakan untuk terbang. Pada masa kini, tulang
dada terdapat pada semua unggas yang dapat atau tidak dapat terbang, dan
bah-kan pada kelelawar — mamalia terbang dari famili yang sangat berbeda).
Namun, fosil Archæopteryx ketujuh yang ditemukan pada tahun 1992
menimbulkan kegemparan luar biasa di kalangan evolusionis. Pada fosil
Archæopteryx tersebut, tulang dada yang sejak lama dianggap hilang oleh
evolusionis ternyata benar-benar ada. Fosil temuan terakhir itu digambarkan
oleh majalah Nature sebagai berikut:
Fosil Archæopteryx ketujuh yang baru-baru ini ditemukan masih memiliki
sebagian sternum berbentuk persegi panjang. Sternum ini sudah lama diperkirakan
ada, tetapi tidak pernah terdokumentasikan sebelumnya. Temuan tersebut
membuktikan bahwa makhluk ini memiliki otot-otot kuat untuk terbang. 3
Penemuan ini menggugurkan pernyataan bahwa Archæopteryx adalah makhluk
setengah burung yang tidak dapat terbang dengan baik.
Di sisi lain, struktur bulu burung tersebut menjadi salah satu bukti
terpenting yang menegaskan bahwa Archæopteryx benar-benar burung yang dapat
terbang. Struktur bulu Archæopteryx yang asimetris tidak berbeda dari burung
modern, menunjukkan bahwa binatang ini dapat terbang dengan sempurna. Seorang
ahli paleontologi terkenal, Carl O. Dunbar menyatakan, “Karena bulunya,
Archæopteryx dipastikan termasuk kelas burung.” 4
Fakta lain yang terungkap dari struktur bulu Archæopteryx adalah bahwa
hewan ini berdarah panas. Sebagaimana telah diketahui, reptil dan dinosaurus
adalah binatang berdarah dingin yang dipengaruhi oleh suhu lingkungan, dan
tidak dapat mengendalikan sendiri suhu tubuh mereka. Fungsi terpenting bulu
burung adalah untuk mempertahankan suhu tubuh. Fakta bahwa Archæopteryx
memiliki bulu menunjukkan bahwa makhluk ini benar-benar seekor burung berdarah
panas yang perlu mempertahankan suhu tubuh, sementara dinosaurus tidak.
Spekulasi Evolusionis: Gigi dan Cakar Archæopteryx
Dua hal penting yang diandalkan kaum evolusionis ketika menyatakan bahwa
Archæopteryx merupakan bentuk transisi, adalah cakar pada sayap burung itu dan
giginya.
Memang benar bahwa Archæopteryx memiliki cakar pada sayapnya dan gigi dalam
mulutnya, tetapi ciri-ciri ini tidak berarti bahwa makhluk ini berkerabat
dengan reptil. Di samping itu, dua spesies burung yang hidup saat ini, Taouraco
dan Hoatzin, keduanya memiliki cakar untuk berpegangan pada cabang-cabang
pohon. Kedua makhluk ini sepenuhnya burung tanpa karakteristik reptil. Karena
itu, pernyataan bahwa Archæopteryx adalah bentuk transisi hanya karena cakar
pada sayapnya, sama sekali tidak berdasar.
Gigi pada paruh Archæopteryx juga tidak menunjukkan bahwa makhluk ini
adalah bentuk transisi. Evolusionis sengaja melakukan penipuan dengan
mengatakan bahwa gigi-gigi ini adalah karakteristik reptil. Bagaimanapun, gigi
bukan ciri khas reptil. Kini, banyak reptil yang memang bergigi, dan banyak
pula yang tidak. Lagi pula, Archæopteryx
bukan satu-satunya spesies burung yang memiliki gigi. Memang benar bahwa saat
ini tidak ada lagi burung yang memiliki gigi. Namun jika kita mengamati catatan
fosil, kita akan menemukan bahwa di zaman Archæopteryx dan setelahnya, bahkan
hingga baru-baru ini, terdapat suatu genus burung yang dapat dikategorikan
sebagai “burung bergigi”.
Hal yang terpenting
adalah bahwa struktur gigi Archæopteryx dan burung-burung lain yang bergigi
sama sekali berbeda dengan struktur gigi dinosaurus, yang dianggap nenek
moyang mereka. Beberapa ahli ornitologi terkenal, Martin, Steward dan Whetstone
mengamati bahwa Archæopteryx dan burung-burung bergigi lainnya memiliki gigi
dengan permukaan-atas datar dan berakar besar. Namun, gigi dinosaurus teropoda,
nenek moyang hipotetis burung-burung ini, menonjol seperti gerigi gergaji dan
memiliki akar menyempit.5 Para peneliti juga membandingkan
tulang-tulang pergelangan pada Archæopteryx dan dinosaurus, dan tidak menemukan
kemiripan di antara mereka. 6
John Ostrom adalah
seorang ahli terkemuka yang menyatakan bahwa Archæopteryx berevolusi dari
dinosaurus. Namun penelitian ahli anatomi seperti Tarsitano, Hecht dan A.D.
Walker mengungkapkan bahwa pendapatnya tentang sejumlah “kemiripan” antara Archæopteryx
dan dinosaurus, pada kenyataannya adalah penafsiran yang salah.7
Semua penemuan ini
menunjukkan bahwa Archæopteryx bukanlah bentuk transisi, melainkan hanya
sejenis burung yang termasuk kategori “burung bergigi”.
Archæopteryx dan
Fosil-Fosil Burung Purba Lainnya
Selama beberapa
dekade evolusionis menyatakan Archæopteryx sebagai bukti terbesar skenario
evolusi burung, namun beberapa fosil yang baru ditemukan menggugurkan skenario
tersebut.
Lianhai Hou dan
Zhonghe Zhou, dua ahli paleontologi dari Institut Paleontologi Vertebrata Cina,
pada tahun 1995 menemukan fosil burung baru yang mereka namai Confuciusornis.
Usia fosil burung ini hampir sama dengan Archæopteryx (sekitar 140 juta tahun),
tetapi tidak bergigi. Selain itu, paruh dan bulunya memiliki ciri yang sama
dengan burung masa kini. Selain memiliki struktur rangka yang sama dengan
burung modern, sayap burung ini juga memiliki cakar seperti Archæopteryx. Pada
spesies burung ini dijumpai struktur khusus yang disebut “pygostyle” yang menopang
bulu-bulu ekor. Singkatnya, burung ini tampak sangat menyerupai burung modern,
walau hidup semasa dengan Archæopteryx yang dianggap sebagai nenek moyang
tertua dari semua burung dan disebut semi-reptil. Kenyataan ini menggugurkan
semua anggapan evolusionis yang menyatakan bahwa Archæopteryx adalah nenek
moyang primitif dari semua burung.8
Satu fosil lagi yang
ditemukan di Cina pada bulan November 1996, telah menimbulkan kebingungan yang
lebih besar. Keberadaan burung berusia 130 juta tahun bernama Liaoningornis ini
diumumkan dalam majalah Science oleh Hou, Martin dan Alan Feduccia. Liaoningornis
memiliki tulang dada tempat menempel otot-otot untuk terbang, seperti burung
modern. Dalam hal lain, burung ini juga tidak berbeda dengan burung modern. Yang berbeda hanya
giginya. Keadaan ini menunjukkan bahwa burung bergigi tidak memiliki struktur
primitif sama sekali seperti anggapan evolusionis.9 Hal ini
dinyatakan dalam sebuah artikel Discover “Dari mana burung berasal? Bukan dari dinosaurus,
menurut fosil ini ”. 10
Fosil lain yang membantah pernyataan evolusionis tentang Archæopteryx
adalah Eoalulavis. Struktur sayap Eoalulavis, yang diperkirakan berusia
30 juta tahun lebih muda dari Archæopteryx, juga ditemukan pada burung modern
yang terbang dengan lambat. Ini membuktikan bahwa 120 juta tahun lalu, terdapat
burung-burung yang dalam banyak aspek tidak berbeda dengan burung modern.11
Kenyataan ini sekali lagi memastikan bahwa Archæopteryx atau burung-burung
purba lain yang mirip dengannya bukan bentuk-bentuk transisi. Fosil-fosil
tersebut tidak menunjukkan bahwa spesies-spesies burung berevolusi dari satu ke
yang lain. Bahkan sebaliknya, catatan fosil membuktikan bahwa burung modern dan
sejumlah burung-burung purba seperti Archæopteryx ternyata pernah hidup bersama
pada satu zaman. Akan tetapi, beberapa spesies burung ini seperti Archæopteryx
dan Confuciusornis telah punah dan hanya sebagian dari spesies-spesies yang
pernah ada mampu bertahan hingga sekarang.
Ringkasnya, beberapa ciri khas Archæopteryx tidak menunjukkan bahwa makhluk
ini adalah bentuk transisi! Stephan Jay Gould dan Niles Eldredge, dua ahli
paleontologi Harvard dan evolusionis terkenal, mengakui bahwa Archæopteryx
adalah makhluk hidup yang memiliki “paduan” dari beragam ciri, akan tetapi
tidak dapat dianggap sebagai bentuk transisi! 12
Mata Rantai Imajiner Antara Burung dan Dinosaurus
Pernyataan yang ingin dikemukakan para evolusionis dengan menampilkan
Archæopteryx sebagai bentuk transisi, adalah bahwa burung merupakan hasil
evolusi dari dinosaurus. Namun, salah seorang ahli ornitologi terkemuka di
dunia, Alan Feduccia dari Universitas North Carolina, menentang teori bahwa
burung memiliki kekerabatan dengan dinosaurus, sekalipun ia sendiri seorang
evolusionis. Berkenaan dengan hal ini Feduccia mengatakan:
Saya telah mempelajari tengkorak-tengkorak burung selama
25 tahun dan saya tidak melihat kemiripan apa pun. Saya benar-benar tidak
melihatnya.... Pernyataan bahwa Teropoda merupakan nenek moyang burung, menurut pendapat
saya, akan sangat mempermalukan paleontologi abad ke-20. 13
Larry Martin,
spesialis burung purba dari Universitas Kansas, membantah teori bahwa burung
berasal dari garis keturunan yang sama dengan dinosaurus. Ketika membahas
kontradiksi yang dihadapi evolusi, Martin menyatakan:
Terus terang, jika
saya harus mendukung bahwa burung dengan karakteristik tersebut berasal dari
dinosaurus, saya akan merasa malu setiap kali harus berdiri dan berbicara
tentangnya. 14
Ringkasnya, skenario
“evolusi burung” yang didasarkan hanya pada Archæopteryx, tidak lebih dari
praduga dan angan-angan evolusionis.
Asal Usul Mamalia
Sebagaimana telah
digambarkan, teori evolusi menyatakan bahwa beberapa makhluk rekaan yang muncul
dari laut berubah menjadi reptil dan bahwa burung berasal dari reptil yang
berevolusi. Menurut skenario yang sama, reptil bukan hanya nenek moyang burung,
melainkan juga nenek moyang mamalia. Namun struktur reptil dan mamalia sangat berbeda.
Reptil bersisik pada tubuhnya, berdarah dingin dan berkembang biak dengan
bertelur; sedangkan mamalia memiliki rambut pada tubuhnya, berdarah panas dan
bereproduksi dengan melahirkan anak.
Sebuah contoh perbedaan struktural antara reptil dan mamalia adalah struktur
rahang mereka. Rahang mamalia hanya terdiri dari satu tulang rahang dan
gigi-gigi ditempatkan pada tulang ini. Rahang reptil memiliki tiga tulang kecil
pada kedua sisinya. Satu lagi perbedaan mendasar, mamalia memiliki tiga tulang
pada telinga bagian tengah (tulang martil, tulang sanggurdi dan tulang
landasan); sedangkan reptil hanya memiliki satu tulang. Evolusionis menyatakan
bahwa rahang dan telinga bagian tengah reptil berevolusi sedikit demi sedikit
menjadi rahang dan telinga mamalia. Akan tetapi, mereka tak mampu menjelaskan
bagaimana perubahan ini terjadi. Khususnya, pertanyaan utama yang tetap tidak
terjawab adalah bagaimana telinga dengan satu tulang berevolusi menjadi telinga
dengan tiga tulang, dan bagaimana pendengaran tetap berfungsi selama perubahan
ini berlangsung. Pantaslah tidak pernah ditemukan satu fosil pun yang
menghubungkan reptil dengan mamalia. Inilah sebabnya seorang ahli paleontologi
evolusionis, Roger Lewin, terpaksa berkata, “Peralihan menjadi mamalia
pertama, yang mungkin terjadi dalam satu saja atau maksimal dalam dua garis
keturunan, masih menjadi teka-teki”. 15
George Gaylord Simpson, salah seorang tokoh utama evolusi dan pendiri teori
neo-Darwinisme, berkomentar mengenai fakta yang sangat membingungkan
evolusionis ini:
Peristiwa paling membingungkan dalam sejarah kehidupan di bumi adalah
perubahan dari Mesozoic atau Zaman Reptil ke Zaman Mamalia. Seakan-akan
tirai diturunkan secara mendadak untuk menutup panggung di mana seluruh peran
utama dimainkan reptil, terutama dinosaurus, dalam jumlah besar dan keragaman
yang menakjubkan. Tirai ini segera dinaikkan kembali untuk memperlihatkan
panggung yang sama tetapi dengan susunan pemain yang sepenuhnya baru, yang sama
sekali tidak melibatkan dinosaurus, dan reptil lain hanya menjadi figuran, dan semua
peran utama dimainkan mamalia dari berbagai jenis yang hampir tidak pernah
disinggung dalam babak-babak sebelumnya.16
Selain itu, ketika mamalia tiba-tiba muncul, mereka sudah sangat berbeda
satu sama lain. Hewan-hewan yang berbeda seperti kelelawar, kuda, tikus dan
paus semuanya adalah mamalia dan mereka semua muncul pada periode geologi
yang sama. Mustahil menarik garis hubungan evolusi di antara mereka, bahkan
dalam batasan imajinasi yang paling luas sekalipun. Ahli zoologi evolusionis,
R. Eric Lombard, mengemukakan hal ini dalam sebuah artikel majalah Evolution:
Mereka yang mencari informasi spesifik yang dibutuhkan
dalam menyusun filogeni (sejarah dan perkembangan evolusi) kelompok-kelompok
mamalia akan kecewa. 17
Semua ini menunjukkan bahwa semua makhluk hidup muncul di bu-mi secara
tiba-tiba dan dalam bentuk sempurna, tanpa melalui proses evolusi. Ini
merupakan bukti nyata bahwa mereka telah diciptakan. Akan tetapi, evolusionis
berupaya menafsirkan fakta bahwa makhluk hidup muncul dalam suatu urutan
sebagai indikasi adanya evolusi. Padahal urutan kemunculan makhluk hidup adalah
“urutan penciptaan”, karena mustahil membuktikan proses evolusi. Dengan
penciptaan agung dan tanpa cacat, lautan dan kemudian daratan dipenuhi makhluk
hidup, dan akhirnya manusia diciptakan.
Bertentangan dengan kisah “manusia kera” yang diindoktrinasikan pada
masyarakat luas dengan propaganda media yang gencar, manusia juga muncul di
bumi secara tiba-tiba dan dalam keadaan telah sempurna.
1)Robert L. Carroll,
Vertebrate Paleontology and Evolution, New York: W. H. Freeman and Co., 1988,
hlm. 198.
2)Engin Korur , "Gözlerin ve Kanatlarin Sirri" (Misteri Mata dan
Sayap), Bilim ve Teknik, No. 203, October 1984, hlm. 25.
3)Nature, Vol. 382, 1
Agustus 1996, hlm. 401
4)Carl O. Dunbar, Historical
Geology, New York: John Wiley and Sons, 1961, hlm. 310
5) L. D. Martin, J. D.
Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, Vol 98, 1980, hlm. 86.
6)Ibid, p. 86; L. D. Martin
"Origins of Higher Groups of Tetrapods", Ithaca, New York: Comstock
Publishing Association, 1991, hlm. 485, 540.
7)S. Tarsitano, M. K. Hecht,
Zoological Journal of the Linnaean Society, Vol 69, 1985, p. 178; A. D. Walker,
8)Pat Shipman, "Birds do it... Did
Dinosaurs?", New Scientist, 1 Februari 1997, hlm. 31
9)"Old Bird", Discover, 21 Maret
1997
10)Ibid.
11)Pat Shipman, "Birds
do it... Did Dinosaurs?", Hlm. 28.
12)S. J. Gould & N.
Eldredge, Paleobiology, Vol 3, 1977, hlm. 147.
13)Pat Shipman, "Birds
do it... Did Dinosaurs?", Hlm. 28.
14)Ibid
15) Lewin, Roger,
"Bones of Mammals, Ancestors Fleshed Out", Science, Vol. 212, 26 Juni
1981, hlm. 1492,
16) George Gaylord Simpson,
Life Before Man, New York: Time-Life Books, 1972, hlm. 42
17)R. Eric Lombard,
"Review of Evolutionary Principles of the Mammalian Middle Ear, Gerald
Fleischer", Evolution, Vol. 33, Desember 1979, hlm. 1230.
Paru-Paru Khusus
untuk Burung
Anatomi burung
sangat berbeda dengan reptil, yang dianggap sebagai nenek moyangnya. Cara paru-paru burung
berfungsi sekali berbeda dengan paru-paru binatang darat. Binatang darat
menghirup dan mengembuskan napas melalui saluran udara yang sama. Pada burung,
udara memasuki paru-paru melalui bagian depan, dan keluar dari paru-paru
melalui bagian belakang. “Desain” khas ini secara khusus dibuat untuk burung,
yang membutuhkan oksigen dalam jumlah besar pada saat terbang. Struktur seperti ini
mustahil hasil evolusi dari paru-paru reptil.
FOKUS:
Desain Bulu Burung
Teori evolusi, yang menyatakan bahwa burung berevolusi dari reptil, tidak
mampu menjelaskan perbedaan besar antara dua golongan makhluk hidup tersebut.
Dilihat dari ciri-ciri fisik seperti struktur kerangka, sistem paru-paru dan
metabolisme berdarah panas, burung sangat berbeda dengan reptil. Satu ciri lain
yang merupakan dinding pemisah antara burung dan reptil adalah bulu burung yang
benar-benar khas.
Tubuh reptil dipenuhi sisik, sedangkan tubuh burung tertutup bulu. Karena
evolusionis menganggap reptil sebagai nenek moyang burung, mereka harus
mengatakan bahwa bulu burung adalah hasil evolusi dari sisik reptil. Akan
tetapi, tidak ada kemiripan antara sisik dan bulu.
Seorang profesor fisiologi dan neuro-biologi dari Universitas Connecticut,
A.H. Brush, mengakui kenyataan ini meskipun ia seorang evolusionis: “Setiap
karakteristik dari struktur dan organisasi gen hingga perkembangan,
morfogenesis dan organisasi jaringan sangat berbeda (pada bulu dan sisik).”1 Di
samping itu, Prof. Brush meneliti struktur protein bulu burung dan menyatakan
bahwa protein tersebut “sangat khas dan tidak dijumpai pada vertebrata lain.” 2
Tidak ada catatan fosil yang membuktikan bahwa bulu burung berevolusi dari
sisik reptil. Sebaliknya seperti di-ungkapkan Prof. Brush, “Bulu-bulu muncul
tiba-tiba dalam catatan fosil, secara tak terbantahkan sebagai ciri unik yang membedakan
burung.” 3 Di samping itu, pada reptil tidak ditemukan struktur
epidermis yang dirujuk sebagai asal mula bulu burung.4
Pada tahun 1996, ahli-ahli paleontologi membuat kegemparan tentang fosil
suatu spesies yang disebut dinosaurus berbulu, yang dinamakan Sinosauropteryx.
Akan tetapi, pada tahun 1997, terungkap bahwa fosil-fosil ini tidak berhubungan
dengan burung dan bulu mereka bukan bulu modern.5
Sebaliknya, jika kita mengamati bulu burung secara saksama, kita mendapati
suatu desain sangat kompleks yang sama sekali tidak dapat dijelaskan dengan
proses evolusi. Seorang ahli burung terkenal, Alan Feduccia, mengatakan bahwa
“setiap lembar bulu me-miliki fungsi-fungsi aerodinamis. Bulu-bulu tersebut
sangat ringan, dengan daya angkat yang membesar pada kecepatan semakin rendah,
dan dapat kembali pada posisi semula dengan sangat mudah”. Selanjutnya ia
mengatakan, “Saya benar-benar tidak mengerti bagaimana sebuah organ yang
didesain sempurna untuk terbang dianggap muncul untuk tujuan lain pada
awalnya”.6
Desain bulu juga memaksa Charles Darwin merenungkannya. Bahkan, keindahan
sempurna dari bulu merak jantan telah membuatnya “muak” (perkataannya sendiri).
Dalam sebuah suratnya untuk Asa Gray pada tanggal 3 April 1860, ia mengatakan,
"Saya ingat betul ketika pemikiran tentang mata membuat sekujur tubuh saya
demam, tetapi saya telah melewati itu....” Kemudian diteruskan: “... dan
sekarang suatu bagian-bagian kecil di sebuah struktur sering membuat saya
sangat tidak nyaman. Sehelai bulu pada ekor merak, membuat saya muak setiap
kali menatapnya, ”.7
Teori evolusi, yang menyatakan bahwa burung berevolusi dari reptil, tidak
mampu menjelaskan perbedaan besar antara dua golongan makhluk hi-dup tersebut.
Dilihat dari ciri-ciri fisik seperti struktur kerangka, sistem paru-paru dan
metabolisme berdarah panas, burung sangat berbeda dengan reptil. Satu ciri lain
yang merupakan dinding pemisah antara burung dan reptil adalah bulu burung yang
benar-benar khas.
Tubuh reptil dipenuhi sisik, sedangkan tubuh burung tertutup bulu. Karena
evolusionis menganggap reptil sebagai nenek moyang burung, mereka harus
mengatakan bahwa bulu burung adalah hasil evolusi dari sisik reptil. Akan
tetapi, tidak ada kemiripan antara sisik dan bulu.
Seorang profesor fisiologi dan neuro-biologi dari Universitas Connecticut,
A.H. Brush, mengakui kenyataan ini meskipun ia seorang evolusionis: “Setiap
karakteristik dari struktur dan organisasi gen hingga perkembangan,
morfogenesis dan organisasi jaringan sangat berbeda (pada bulu dan sisik).”1
Di samping itu, Prof. Brush meneliti struktur protein bulu burung dan
menyatakan bahwa protein tersebut “sangat khas dan tidak dijumpai pada
vertebrata lain.” 2
Tidak ada catatan fosil yang membuktikan bahwa bulu burung berevolusi dari
sisik reptil. Sebaliknya seperti di-ungkapkan Prof. Brush, “Bulu-bulu muncul
tiba-tiba dalam catatan fosil, secara tak terbantahkan sebagai ciri unik yang
membedakan burung.” 3 Di samping itu, pada reptil tidak ditemukan struktur
epidermis yang dirujuk sebagai asal mula bulu burung.4
Pada tahun 1996, ahli-ahli paleontologi membuat kegemparan tentang fosil
suatu spesies yang disebut dinosaurus berbulu, yang dinamakan Sinosauropteryx.
Akan tetapi, pada tahun 1997, terungkap bahwa fosil-fosil ini tidak berhubungan
dengan burung dan bulu mereka bukan bulu modern.5
Sebaliknya, jika kita mengamati bulu burung secara saksama, kita mendapati
suatu desain sangat kompleks yang sama sekali tidak dapat dijelaskan dengan
proses evolusi. Seorang ahli burung terkenal, Alan Feduccia, mengatakan bahwa “setiap
lembar bulu memiliki fungsi-fungsi aerodinamis. Bulu-bulu tersebut sangat
ringan, dengan daya angkat yang membesar pada kecepatan semakin rendah, dan
dapat kembali pada posisi semula dengan sangat mudah”. Selanjutnya ia
mengatakan, “Saya benar-benar tidak mengerti bagaimana sebuah organ yang
didesain sempurna untuk terbang dianggap muncul untuk tujuan lain pada
awalnya”.6
Desain bulu juga memaksa Charles Darwin merenungkannya. Bahkan, keindahan
sempurna dari bulu merak jantan telah membuatnya “muak” (perkataannya sendiri).
Dalam sebuah suratnya untuk Asa Gray pada tanggal 3 April 1860, ia mengatakan,
"Saya ingat betul ketika pemikiran tentang mata membuat sekujur tubuh saya
demam, tetapi saya telah melewati itu....” Kemudian diteruskan: “... dan sekarang
suatu bagian-bagian kecil di sebuah struktur sering membuat saya sangat tidak
nyaman. Sehelai bulu pada ekor merak, membuat saya muak setiap kali menatapnya,
”.7
FOKUS :
Bagaimana dengan Lalat?
Untuk menguatkan pernyataan bahwa dinosaurus berubah menjadi burung,
evolusionis mengatakan bahwa sejumlah dinosaurus yang mengepakkan kaki depan
untuk berburu lalat telah “menda-patkan sayap dan terbang” (seperti yang
terlihat dalam gambar). Karena teori ini tidak memiliki landasan ilmiah dan
tidak lebih dari sekadar khayalan, timbullah sebuah kontradiksi logis yang
nyata: contoh yang disebutkan evolusionis saat menjelaskan asal mula kemampuan
terbang, yaitu lalat, telah memiliki kemampuan terbang yang sempurna. Sementara
manusia tidak mampu mengedipkan mata 10 kali per detik, seekor lalat biasa
mengepakkan sayapnya 500 kali per detik. Di samping itu, lalat meng-gerakkan
kedua sayapnya secara serempak. Sedikit saja ada ketidaksesuaian pada getaran
sayap, lalat akan kehilangan keseimbangan; tetapi ini tidak pernah terjadi.
Evolusionis seharusnya lebih dulu menjelaskan bagaimana lalat mendapatkan
kemampuan terbang yang sempurna. Tetapi mereka justru mengarang skenario
tentang bagaimana makhluk yang jauh lebih canggung seperti reptil bisa terbang.
Bahkan penciptaan sempurna pada lalat rumah menggugurkan pernyataan
evolusi. Seorang ahli biologi Inggris, Robin Wootton, menulis dalam artikel
berjudul “The Mechanical Design of Fly Wings (Desain Mekanis pada Sayap Lalat)”:
“Semakin baik kita memahami fungsi sayap serangga, semakin tampak betapa
rumit dan indahnya desain sayap mereka. Strukturnya sejak semula didesain agar
seminimal mungkin mengalami perubahan bentuk; mekanismenya didesain untuk
menggerakkan bagian-bagian komponen sayap secara terkirakan. Sayap serangga
menggabungkan ke-dua hal ini; dengan menggunakan komponen-komponen
berelastisitas berbeda, yang terakit sempurna agar terjadi perubahan bentuk
yang tepat untuk gaya-gaya yang sesuai, sehingga udara dapat dimanfaatkan
seoptimal mungkin. Masih sedikit, kalaupun ada, teknologi yang sebanding dengan
mereka.” 1
Sebaliknya, tidak ada satu fosil pun yang dapat membuktikan evolusi
imajiner lalat. Inilah yang dimaksud seorang ahli zoologi terkemuka Prancis,
Pierre Grassé ketika mengatakan “Kita tidak memiliki petunjuk apa pun tentang
asal usul serangga.”2
1)Robin J. Wootton, “The
Mechanical Design of Insect Wing”, Scientific American, Vol. 263, November
1990, hlm. 120
2)Pierre-P Grassé, Evolution
of Living Organisms, New York, Academic Press, 1977, hlm. 30
FOKUS:
Mitos tentang Evolusi
Kuda
Hingga baru-baru ini, urutan
imajiner evolusi kuda telah dikemukakan sebagai bukti fosil terpenting teori
evolusi. Akan tetapi, saat ini banyak pendukung evolusi berterus terang
mengakui bahwa skenario evolusi kuda telah
hancur. Dalam sebuah simposium empat hari mengenai masalah-masalah teori
evolusi bertahap yang diselenggarakan pada tahun 1980 di Field Museum of
Natural History, Chicago, dan dihadiri 150 evolusionis, Boyce Rensberger,
seorang evolusionis yang memberikan sambutan, mengatakan bahwa skenario evolusi
kuda tidak didukung oleh catatan fosil dan
tidak ditemukan proses evolusi yang menjelaskan evolusi kuda secara bertahap:
Contoh populer evolusi kuda,
yang mengemukakan perubahan bertahap dari makhluk seukuran rubah dengan kaki
berjari empat yang hidup hampir 50 juta tahun lalu menjadi kuda masa kini yang
lebih besar dengan kaki berjari satu, telah lama diketahui keliru. Bertentangan
dengan perubahan secara bertahap, fosil setiap spesies peralihan tampak sama
sekali berbeda, tidak berubah, dan kemudian menjadi punah. Bentuk-bentuk transisi
tidak diketahui.1
Seorang ahli paleontologi kenamaan, Colin Patterson, direktur Natural
History Museum, Inggris, berkomentar tentang skema “evolusi kuda” yang
dipamerkan untuk umum di lantai dasar museum tersebut:
Telah begitu banyak cerita tentang sejarah kehidupan di bumi ini, sebagian
lebih imajinatif daripada yang lain. Contoh paling terkenal, masih dipamerkan
di lantai bawah, adalah skema evolusi kuda yang dibuat barangkali 50 tahun
lalu. Dan itu telah dijadikan kebenaran harfiah dari buku ke buku. Kini, saya
pikir itu perlu disesali, terutama jika mereka yang mengajukan cerita semacam
ini sendiri menyadari betapa spekulatifnya sebagian skema tersebut. 2
Jadi, apa yang mendasari skenario “evolusi kuda”? Skenario ini dirumuskan
dengan diagram-diagram tipuan yang disusun berurutan dari fosil spesies-spesies
berbeda yang hidup pada periode sangat berlainan di India, Afrika Selatan, Amerika
Utara dan Eropa, se-mata-mata mengikuti imajinasi evolusionis. Terdapat lebih
dari 20 diagram evolusi kuda yang diajukan para peneliti. Semua diagram itu sangat berbeda
satu sama lain. Evolusionis tidak mencapai kesepakatan tentang hal ini.
Satu-satunya persamaan di antara mere-ka keyakinan bahwa nenek moyang kuda
(Equus) adalah makhluk seukur-an anjing yang disebut “Eohippus”, hidup dalam
Periode Eosin 55 juta tahun lalu. Akan tetapi, jalur evolusi dari Eohippus ke
Equus sama sekali tidak konsisten.
Seorang evolusionis yang juga penulis ilmu alam, Gordon R. Taylor,
menjelaskan kenyataan yang jarang diakui ini dalam bukunya, The Great Evolution
Mystery:
Namun barangkali kelemahan paling serius dari Darwinisme adalah kegagalan
para ahli paleontologi menemukan filogeni atau silsilah organisme yang
meyakinkan untuk menunjukkan perubahan evolusi besar... Kuda sering dikemukakan
sebagai satu-satunya contoh yang bisa mewakili sepenuhnya. Akan tetapi
kenyataannya, garis yang menghubungkan Eohippus dengan Equus sangat tidak
menentu. Garis ini semestinya menunjukkan peningkatan ukuran badan yang
kontinu. Tetapi kenyataannya, sejumlah varian berukuran lebih kecil dari
Eohippus, bukannya lebih besar. Spesimen-spesimen dari berbagai sumber dapat
digabungkan dalam urutan yang tampak begitu meyakinkan, tetapi tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa mereka tersusun menurut waktu yang sesuai dengan urutan
ini.3
Semua fakta ini adalah bukti kuat bahwa diagram-diagram evolusi kuda, yang
dinyatakan sebagai satu bukti paling kokoh untuk Darwinisme, tidak lain
hanyalah dongeng fantastis dan tidak masuk akal.
1)Boyce Rensberger, Houston
Chronicle, 5 November 1980, hlm. 15
2)Colin Patterson, Harper's,
Februari 1984, hlm. 60
3)Gordon Rattray Taylor, The
Great Evolution Mystery, Abacus, Sphere Books, London, 1984, hlm. 230
BAB 7
Penafsiran Menyesatkan tentang Fosil
Sebelum melangkah ke
bagian terperinci dari mitos evolusi manusia, perlu disebutkan metode
propaganda yang telah meyakinkan masyarakat umum tentang gagasan bahwa di masa
lampau pernah hidup makhluk separo manusia - separo kera. Metode propaganda ini menggunakan
“rekonstruksi” yang dibuat berdasarkan fosil-fosil. Rekonstruksi yang dimaksud
adalah pembuatan gambar atau model makhluk hidup berdasarkan sepotong tulang —
kadangkala hanya berupa fragmen — yang berhasil digali. “Manusia kera” yang
kita lihat dalam surat kabar, majalah, atau film semuanya adalah hasil
rekonstruksi.
Fosil-fosil biasanya tidak tersusun dan tidak lengkap. Karenanya, rekaan
apa pun yang didasarkan padanya cenderung sangat spekulatif. Kenyataannya,
rekonstruksi (gambar atau model) yang dibuat evolusionis berdasarkan
peninggalan-peninggalan fosil itu telah dipersiapkan secara spekulatif namun
cermat untuk mendukung pernyataan evolusi. Seorang ahli antropologi dari
Harvard, David R. Pilbeam, menegaskan fakta ini ketika mengatakan, “Setidaknya
dalam paleoantropologi, data masih sangat jarang sehingga teori sangat
mempengaruhi penafsiran. Teori-teori, di masa lampau, dengan jelas mencerminkan
ideologi-ideologi kita bukannya mewakili data sesungguhnya”.1 Karena
masyarakat sangat terpengaruh oleh informasi visual, rekonstruksi-rekonstruksi
ini adalah cara terbaik untuk membantu kaum evolusionis mencapai tujuannya,
yaitu meyakinkan orang bahwa makhluk-makhluk ini benar-benar ada di masa lalu.
Sampai di sini, kita perlu menggarisbawahi satu hal: rekonstruksi
berdasarkan sisa-sisa tulang hanya dapat mengungkapkan karakteristik sangat
umum dari obyek tersebut, karena penjelasan terperinci sesungguhnya terletak
pada jaringan lunak yang cepat sekali hancur. Jadi, dengan penafsiran
spekulatif terhadap jaringan lunak, gambar atau model rekonstruksi menjadi
sangat tergantung pada imajinasi pembuatnya. Earnst A. Hooten dari Universitas
Harvard, menjelaskan situasi ini sebagai berikut:
Usaha untuk menyusun kembali bagian-bagian lunak adalah pekerjaan yang
lebih berisiko lagi. Bibir, mata, telinga dan ujung hidung tidak meninggalkan
tanda apa pun pada tulang di bawahnya yang bisa menjadi petunjuk. Dengan
kemudahan yang sama, dari sebuah tengkorak Neandertaloid, Anda dapat
merekonstruksi muka simpanse atau roman aristokrat seorang filsuf. Nilai ilmiah
restorasi hipotetis tipe-tipe manusia purba ini sedikit sekali, itu pun kalau
ada, dan ini cenderung hanya menyesatkan masyarakat.... Jadi, janganlah Anda
mempercayai rekonstruksi.2
Kenyataannya, evolusionis mengarang cerita yang sangat tidak masuk akal
sehingga untuk satu tengkorak yang sama, mereka bahkan menggambarkan
wajah-wajah yang berbeda. Satu contoh terkenal dari penipuan semacam ini adalah
tiga gambar rekonstruksi berlainan yang dibuat untuk satu fosil bernama
Australopithecus robustus (Zinjanthropus).
Penafsiran menyimpang terhadap fosil maupun pembuatan banyak rekonstruksi
rekaan bisa menjadi indikasi betapa sering evolusionis melakukan tipu muslihat.
Namun ini tidak seberapa dibandingkan dengan semua pemalsuan yang sengaja
dilakukan sepanjang sejarah evolusi.
1) David R. Pilbeam,
"Rearranging Our Family Tree", Nature, Juni 1978, hlm. 40
2) Earnest A.
Hooton, Up From The Ape, New York: McMillan, 1931, hlm. 332.
Gambar-Gambar
Imajiner yang Menyesatkan
Dengan gambar dan
rekonstruksi, evolusionis sengaja memberi bentuk pada ciri-ciri fisik yang
sebenarnya tidak meninggalkan jejak-jejak fosil, seperti struktur hidung dan
bibir, bentuk rambut, bentuk alis dan rambut bagian tubuh lain, untuk mendukung
teori evolusi. Mereka juga menyiapkan gambar-gambar terperinci makhluk-makhluk
imajiner ini sedang berjalan dengan keluarga mereka, berburu, atau
contoh-contoh kehidupan mereka sehari-hari lainnya. Akan tetapi, semua gambaran
ini adalah rekaan belaka dan tidak memiliki acuan pada catatan fosil.
BAB 8:
Penipuan-Penipuan Evolusi
Tidak ada bukti
fosil yang nyata untuk mendukung gambaran “manusia kera” yang tidak
putus-putusnya diindoktrinasikan media masa dan akademisi evolusionis. Dengan
kuas di tangan, evolusionis membuat makhluk-makhluk khayalan. Namun mereka
memiliki masalah serius karena tidak ada fosil-fosil yang cocok dengan
gambar-gambar itu. Salah satu metode menarik yang mereka gunakan untuk
mengatasi masalah ini adalah “membuat” fosil-fosil yang tidak dapat mereka
temukan. Manusia Piltdown, skandal paling menghebohkan dalam sejarah ilmu
pengetahuan, adalah contoh khas metode ini.
Manusia Piltdown: Rahang
Orang Utan dan Tengkorak Manusia!
Seorang dokter
terkenal yang juga ahli paleoantropologi amatir, Charles Dawson, menyatakan
bahwa ia telah menemukan tulang rahang dan fragmen tengkorak di dalam sebuah
lu-bang di Piltdown, Inggris, pada tahun 1912. Tulang rahang tersebut lebih
mirip tulang rahang kera, tetapi gigi dan tengkorak-nya seperti milik manusia.
Spesimen ini dinamakan “Manusia Piltdown”. Fosil ini diduga berusia 500 ribu
tahun, dan dipajang di beberapa museum sebagai bukti mutlak evolusi manusia.
Selama lebih dari 40 tahun, telah banyak artikel ilmiah mengenai “Manusia Piltdown”
ditulis, sejumlah penafsiran dan gambar dibuat, dan fosil tersebut dikemukakan
sebagai bukti penting evolusi manusia. Tidak kurang dari 500 tesis doktor
ditulis mengenai subjek ini.1 Seorang ahli paleoantropologi terkenal
dari Amerika, Henry Fairfield Osborn, ketika sedang mengunjungi British Museum
pada tahun 1935 berkata“... kita harus selalu diingatkan bahwa alam dipenuhi
paradoks, dan ini adalah suatu temuan mengejutkan tentang manusia
prasejarah....”2
Pada tahun 1949,
Kenneth Oakley dari departemen paleontologi British Museum mencoba metode
“pengujian fluorin”, pengujian baru yang digunakan untuk menentukan umur
fosil-fosil tua. Uji coba dilakukan pa-da fosil manusia Piltdown. Hasilnya
sungguh mengejutkan. Selama pengujian, diketahui bahwa tulang rahang Manusia
Piltdown tidak mengandung fluorin. Ini menunjukkan bahwa tulang rahang tersebut
terkubur tidak lebih dari beberapa tahun. Sedangkan tengkoraknya, yang hanya
mengandung sejumlah kecil fluorin, menunjukkan usianya hanya beberapa ribu
tahun.
Penelitian
kronologis terakhir yang dilakukan dengan menggunakan metoda fluorin
menunjukkan bahwa tengkorak tersebut hanya berusia beberapa ribu tahun.
Terbukti pula bahwa gigi pada tulang rahang adalah dari orang utan yang dibuat
seolah usang, dan bahwa peralatan-peralatan “primitif” yang ditemukan bersama
fosil hanya imitasi sederhana yang telah diasah dengan peralatan baja.3
Dalam analisis teperinci yang diselesaikan oleh Weiner, pemalsuan ini diumumkan
pada tahun 1953. Tengkorak tersebut milik manusia yang berusia 500 tahun, dan
tulang rahangnya milik kera yang baru saja mati! Kemudian gigi-gigi disusun
berderet dan ditambahkan pada rahangnya secara khusus, dan sendinya dirancang
menyerupai sendi manusia. Lalu semua bagian diwarnai dengan potasium dikromat agar
tampak tua. Warna ini memudar ketika dicelup dalam la-rutan asam. Le Gros Clark,
anggota tim yang membongkar penipuan ini, tidak mampu menyembunyikan rasa
terkejutnya atas peristiwa ini dan mengatakan bahwa “bukti-bukti abrasi tiruan
dengan segera tampak di depan mata. Hal ini begitu jelasnya hingga patut
dipertanyakan bagaimana ini sampai lolos dari pengamatan sebelumnya?”4
Dengan terungkapnya fakta ini, “Manusia Piltdown” kemudian segera disingkirkan
dari British Museum setelah lebih dari 40 tahun dipajang di sana.
Manusia Nebraska: Gigi Babi
Pada tahun 1922, Henry Fairfield Osborn, manajer American Museum of Natural
History, mengumumkan bahwa ia telah menemukan sebuah fosil gigi geraham yang
berasal dari periode Pliosin, di Nebraska Barat, dekat Snake Brook. Gigi ini dinyatakan
memiliki karakteristik gigi manusia dan gigi kera. Argumentasi ilmiah yang mendalam
pun dimulai. Sebagian orang menafsirkan gigi ini berasal dari Pithecanthropus
Erectus, sedangkan yang lain menyatakan gigi tersebut lebih menyerupai gigi
manusia. Fosil yang menimbulkan perdebatan sengit ini dinamakan “Manusia
Nebraska”. Manusia baru ini juga dengan segera diberi “nama ilmiah”: Hesperopithecus
Haroldcooki.
Banyak ahli yang memberikan dukungan kepada Osborn. Berdasarkan satu gigi
ini, rekonstruksi kepala dan tubuh Manusia Nebraska pun digambar. Lebih jauh,
Manusia Nebraska bahkan dilukiskan bersama istri dan anak-anaknya, sebagai sebuah
keluarga utuh dengan latar belakang alam.
Semua skenario ini dikembangkan hanya dari satu gigi. Evolusionis begitu
meyakini keberadaan “manusia bayangan” ini, hingga ketika seorang peneliti
bernama William Bryan menolak keputusan menyimpang yang mengandalkan satu gigi
ini, ia dikritik dengan kasar.
Pada tahun 1927, bagian lain kerangkanya juga ditemukan. Menurut
potongan-potongan tulang ini, gigi tersebut bukan milik manusia atau kera,
melainkan milik spesies babi liar Amerika yang telah punah, bernama prosthennops.
William Gregory memberi judul artikelnya
yang dimuat majalah Science dengan: “Hesperopithecus: Apparently Not An Ape Nor
A Man (Hesperopithecus: Ternyata Bukan Kera Maupun Manusia)”. Dalam artikel itu
ia mengumumkan kekeliruan ini.5 Setelah itu semua gambar
Hesperopithecus Haroldcooki dan “keluarganya” segera dihapus dari literatur
evolusi.
Ota Benga: Orang Afrika dalam Kerangkeng
Setelah Darwin menyatakan bahwa manusia berevolusi dari makhluk hidup yang
mirip kera melalui bukunya The Descent of Man, ia kemudian mulai mencari
fosil-fosil untuk mendukung argumentasinya. Bagaimanapun, sejumlah evolusionis
percaya bahwa makhluk “separo manusia - separo kera” tidak hanya ditemukan
dalam bentuk fosil, tetapi juga dalam keadaan hidup di berbagai belahan dunia.
Di awal abad ke-20, pencarian “mata rantai transisi yang masih hidup” ini
menghasilkan kejadian-kejadian memilukan, dan yang paling biadab di antaranya
adalah yang menimpa seorang Pigmi (suku di Afrika Tengah dengan tinggi badan
rata-rata kurang dari 127 sentimeter) bernama Ota Benga.
Ota Benga ditangkap pada tahun 1904 oleh seorang peneliti evolusionis di
Kongo. Dalam bahasanya, nama Ota Benga berarti “teman”. Ia memiliki seorang
istri dan dua orang anak. Dengan dirantai dan dikurung seperti binatang, ia
dibawa ke Amerika Serikat. Di sana, para ilmuwan evolusionis memamerkannya
untuk umum pada Pekan Raya Dunia di St. Louis bersama spesies kera lain dan
memperkenalkannya sebagai “mata rantai transisi terdekat dengan manusia”. Dua tahun kemudian, mereka membawanya ke Kebun
Binatang Bronx di New York. Ia dipamerkan dalam kelompok “nenek moyang manusia”
bersama beberapa simpanse, gorila bernama Dinah, dan orang utan bernama Dohung.
Dr. William T. Hornaday, seorang evolusionis direktur kebun binatang tersebut
memberikan sambutan panjang lebar tentang betapa bangganya ia memiliki “bentuk
transisi” yang luar biasa ini di kebun binatangnya dan memperlakukan Ota Benga
dalam kandang seolah ia seekor binatang biasa. Tidak tahan dengan perlakuan
yang diterimanya, Ota Benga akhirnya bunuh diri. 6 Manusia Piltdown, Manusia Nebraska,
Ota Benga.... Skandal-skandal ini menunjukkan bahwa ilmuwan evolusionis tidak
ragu-ragu menggunakan segala cara yang tidak ilmiah untuk membuktikan teori
mereka. Dengan mengingat hal ini, ketika kita melihat yang dinamakan bukti lain
dari mitos “evolusi manusia”, kita akan menghadapi situasi yang sama. Inilah
sebuah cerita fiksi dan sepasukan relawan yang siap mencoba apa saja untuk
membenarkan cerita itu.
1) Malcolm Muggeridge, The End of Christendom, Grand
Rapids, Eerdmans, 1980, hlm. 59.
2)Stephen Jay Gould, "Smith Woodward's
Folly", New Scientist, 5 Februari 1979, hlm. 44
3)Kenneth Oakley, William Le Gros Clark & J. S,
"Piltdown", Meydan Larousse, Vol. 10, hlm. 133
4)Stephen Jay Gould, "Smith Woodward's
Folly", New Scientist, 5 Februari 1979, hlm. 44
5)W. K. Gregory, "Hesperopithecus Apparently Not
An Ape Nor A Man", Science, Vol. 66, Desember 1927, hlm. 579.
6) Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga:
The Pygmy in The Zoo, New York: Delta Books, 1992.
BAB 9
Skenario Evolusi Manusia
Dalam bab-bab sebelumnya,
kita melihat bahwa di alam tidak ada mekanisme yang menyebabkan makhluk hidup
berevolusi. Makhluk hidup muncul bukan akibat proses evolusi, melainkan secara
tiba-tiba dalam bentuk yang sempurna. Mereka diciptakan sendiri-sendiri. Oleh
karena itu, jelaslah bahwa “evolusi manusia” juga merupakan sebuah kisah yang
tidak pernah terjadi.
Lalu, apa yang
digunakan evolusionis sebagai pijakan untuk dongeng ini? Dasarnya adalah
keberadaan fosil yang berlimpah sehingga evolusionis dapat membangun penafsiran
imajinatif.
Sepanjang sejarah,
telah hidup lebih dari 6.000 spesies kera dan kebanyakan dari mereka telah
punah. Kini hanya 120 spesies kera yang masih hidup di bumi. Sekitar 6.000
spesies kera ini, mayoritas telah punah, menjadi sumber yang kaya bagi evolusionis.
Evolusionis menulis
skenario evolusi manusia dengan menyusun sejumlah tengkorak yang cocok dengan
tujuan mereka, berurutan dari yang terkecil hingga yang terbesar, lalu
menempatkan di antara mereka tengkorak beberapa ras manusia yang telah punah.
Menurut skenario ini, manusia dan kera modern memiliki nenek moyang yang sama. Nenek moyang ini
berevolusi sejalan dengan waktu. Sebagian dari mereka menjadi kera modern,
sedangkan kelompok lain berevolusi melalui jalur yang berbeda, menjadi manusia
masa kini.Akan tetapi, semua temuan paleontologi, anatomi dan biologi
menunjukkan bahwa pernyataan evolusi ini fiktif dan tidak sahih seperti semua
pernyataan evolusi lainnya. Tidak ada bukti-bukti kuat dan nyata untuk
menunjukkan kekerabatan antara manusia dan kera. Yang ada hanyalah pemalsuan,
penyimpangan, gambar-gambar serta komentar-komentar menyesatkan.
Catatan fosil mengisyaratkan kepada kita bahwa sepanjang sejarah, manusia
tetap manusia, dan kera tetap kera. Sebagian fosil yang dinyatakan evolusionis
sebagai nenek moyang manusia berasal dari ras manusia yang hidup hingga
akhir-akhir ini sekitar 10.000 tahun lalu dan kemudian menghilang. Selain itu,
banyak orang masa kini memiliki penampilan dan karakteristik fisik yang sama
dengan ras-ras manusia yang punah, yang dinyatakan evolusionis sebagai nenek
moyang manusia. Semua ini adalah bukti nyata bahwa manusia tidak pernah
mengalami proses evolusi sepanjang sejarah.
Bukti terpenting adalah perbedaan anatomis yang besar antara kera dan
manusia, dan tidak satu pun di antara perbedaan tersebut muncul melalui proses
evolusi. “Bipedalitas” (kemampuan berjalan dengan dua kaki) adalah salah satu
di antaranya. Seperti yang akan diuraikan lebih lanjut, bipedalitas hanya
terdapat pada manusia dan merupakan salah satu sifat terpenting yang membedakan
manusia dengan hewan.
Silsilah Imajiner Manusia
Darwinis menyatakan bahwa manusia modern saat ini berevolusi dari makhluk
serupa kera. Menurut mereka, selama proses evolusi yang diperkirakan berawal
4-5 juta tahun lalu, terdapat beberapa “bentuk transisi” antara manusia modern
dan nenek moyangnya. Menurut skenario yang sepenuhnya rekaan ini, terdapat
empat “kategori” dasar:
1.Australopithecus
2.Homo habilis
3.Homo erectus
4.Homo sapiens
Evolusionis menyebut nenek moyang pertama manusia dan kera sebagai
“Australopithecus”, yang berarti “Kera Afrika Selatan”. Australopithecus
hanyalah spesies kera kuno yang telah punah, dan memiliki beragam tipe.
Sebagian berperawakan tegap, dan sebagian lain bertubuh kecil dan ramping.
Evolusionis menggolongkan tahapan evolusi manusia berikutnya sebagai
“homo”, yang berarti “manusia”. Menurut pernyataan evolusionis, makhluk hidup
dalam kelompok Homo lebih berkembang daripada Australopithecus, dan tidak
terlalu berbeda dengan manusia modern. Manusia modern di zaman kita, Homo
sapiens, dikatakan terbentuk pada tahapan terakhir evolusi spesies ini.
Fosil-fosil seperti “Manusia Jawa”, “Manusia Peking”, dan “Lucy”, yang
senantiasa muncul di media massa, jurnal dan buku-buku kuliah evolusionis, termasuk
dalam salah satu dari keempat spesies di atas. Spesies-spesies ini juga
diasumsikan bercabang menjadi sub-sub spesies.
Sejumlah kandidat bentuk transisi dari masa lampau, seperti Ramapithecus,
harus dikeluarkan dari silsilah imajiner evolusi manusia setelah diketahui
mereka adalah kera biasa.1
Dengan menyusun rantai hubungan sebagai: “Australopithecus > Homo
habilis > Homo erectus > Homo sapiens”, evolusionis menyatakan bahwa
masing-masing spesies ini adalah nenek moyang spesies lainnya. Akan tetapi, temuan
ahli-ahli paleoantropologi baru-baru ini meng-ungkapkan bahwa Australopithecus,
Homo habilis dan Homo erectus hidup di belahan bumi berbeda pada masa yang
sama. Selain itu, suatu segmen manusia tertentu yang digolongkan sebagai Homo
erectus ternyata hidup hingga zaman modern. Homo sapiens neandartalensis dan
Homo sapiens sapiens (manusia modern) pernah hidup bersama di wilayah yang
sama. Situasi ini jelas menunjukkan ketidakabsahan pernyataan bahwa mereka
adalah nenek moyang bagi yang lain.
Pada hakikatnya, semua temuan dan penelitian ilmiah telah mengungkapkan
bahwa catatan fosil tidak mengisyaratkan proses evolusi seperti yang
dikemukakan evolusionis. Fosil-fosil tersebut, yang mereka katakan sebagai
nenek moyang manusia, ternyata milik suatu ras manusia atau milik spesies kera.
Lalu, yang manakah fosil manusia dan yang manakah fosil kera? Mungkinkah
salah satu dari keduanya bisa dianggap sebagai bentuk transisi? Untuk
mendapatkan jawabannya, mari kita amati masing-masing kategori.
Australopithecus: Spesies Kera
Australopithecus, kategori pertama, berarti “kera dari selatan”. Makhluk
ini diduga pertama kali muncul di Afrika sekitar 4 juta tahun lalu dan hidup
hingga 1 juta tahun lalu. Australopithecus
memiliki beberapa kelas. Evolusionis berasumsi bahwa spesies Australopithecus
tertua adalah A. afarensis. Setelah itu muncul A. africanus, yang memiliki
kerangka lebih ramping, dan kemudian A. robustus, yang memiliki kerangka
relatif lebih besar. Sedangkan untuk A. boisei, sejumlah peneliti menganggapnya
spesies yang berbeda dan sebagian lagi menggolongkannya dalam sub spesies dari
A. robustus.
Semua spesies
Australopithecus adalah kera yang sudah punah dan menyerupai kera masa kini.
Ukuran tengkorak mereka sama atau lebih kecil dari simpanse yang hidup di masa
sekarang. Terdapat bagian menonjol pada tangan dan kaki mereka yang digunakan
untuk memanjat pohon seperti simpanse zaman sekarang, dan kaki mereka memiliki
kemampuan menggenggam dahan. Mereka bertubuh pendek (maksimum 130 cm) dan seperti
simpanse masa kini, Australopithecus jantan lebih besar dari Australopithecus
betina. Sekian banyak karakteristik seperti detail pada tengkorak, kedekatan
kedua mata, gigi geraham yang tajam, struktur rahang, lengan yang panjang, kaki
yang pendek, merupakan bukti bahwa makhluk hidup ini tidak berbeda dengan kera
zaman sekarang.
Evolusionis
menyatakan bahwa meskipun Australopithecus memiliki anatomi kera, mereka
berjalan dengan tegak seperti manusia dan bukan seperti kera.
Pernyataan “berjalan
tegak” ini ternyata telah dipertahankan selama puluhan tahun oleh sejumlah ahli
paleoantropologi seperti Richard Leakey dan Donald C. Johanson. Namun, banyak ilmuwan
telah melakukan penelitian pada struktur kerangka Australopithecus dan
membuktikan ketidakabsahan argumentasi tersebut. Penelitian menyeluruh pada
beragam spesimen Australopithecus oleh dua ahli anatomi kelas dunia dari
Inggris dan Amerika Serikat, Lord Solly Zuckerman dan Prof. Charles Oxnard,
menunjukkan bahwa makhluk ini tidak bipedal dan bergerak seperti kera masa
kini. Setelah mempelajari fosil-fosil ini selama 15 tahun dengan segala
perlengkapan yang diberikan pemerintah Inggris, Lord Zuckerman dan timnya yang
beranggotakan 5 orang spesialis sampai pada kesimpulan bahwa Australopithecus
hanya spesies kera biasa dan pasti tidak bipedal. Zuckerman sendiri adalah
seorang evolusionis.2 Begitu pula Charles E. Oxnard, evolusionis
yang terkenal dengan penelitiannya pada subjek tersebut, menyamakan struktur
kerangka Australopithecus dengan milik orang utan modern.3 Akhirnya,
pada tahun 1994, sebuah tim dari Universitas Liverpool Inggris melakukan riset
menyeluruh untuk mencapai suatu kesimpulan yang pasti. Mereka berkesimpulan
bahwa “Australopithecus adalah kuadripedal”. 4
Singkatnya, Australopithecus tidak memiliki kekerabatan dengan manusia dan
mereka hanyalah spesies kera yang telah punah.
Homo Habilis:
Kera yang Dinyatakan sebagai Manusia
Kemiripan struktur
kerangka dan tengkorak Australopithecus dengan simpanse, dan penolakan terhadap
pernyataan bahwa makhluk ini berjalan tegak, telah sangat menyulitkan ahli
paleoantropologi pro evolusi. Karena, menurut skema evolusi rekaan mereka, Homo
erectus muncul setelah Australopithecus. Karena awalan kata “homo” berarti
“manusia”, maka Homo erectus tergolong kelas manusia berkerangka tegak. Ukuran tengkoraknya dua
kali lebih besar dari Australopithecus. Peralihan lang-sung dari
Australopithecus, yakni seekor kera mirip simpanse, ke Homo erectus yang
berkerangka sama dengan manusia modern, adalah mustahil bahkan menurut teori
mereka sendiri. Jadi, diperlukan “mata rantai”, yakni “bentuk transisi”. Dan
konsep Homo habilis muncul untuk memenuhi kebutuhan ini.
Pengelompokan Homo habilis diajukan pada tahun 1960-an oleh Keluarga
Leakey, sebuah keluarga “pemburu fosil”. Menurut Leakey, spesies baru yang
mereka kelompokkan sebagai Homo habilis memiliki kapasitas tengkorak relatif
besar, kemampuan berjalan tegak dan menggunakan peralatan dari batu dan kayu.
Karena itu, mungkin saja ia adalah nenek moyang manusia.
Fosil-fosil baru dari spesies yang sama ditemukan pada akhir tahun 1980-an,
dan mengubah total pandangan ini. Sejumlah peneliti seperti Ber-nard Wood dan
C. Loring Brace, berdasarkan fosil-fosil baru tersebut mengatakan bahwa Homo
habilis, yang berarti “manusia yang mampu menggunakan alat” seharusnya
digolongkan sebagai Australopithecus habilis yang berarti “kera Afrika Selatan
yang mampu menggunakan alat”, karena Homo habilis memiliki banyak kesamaan ciri
dengan kera Australopithecus. Ia memiliki lengan yang panjang, kaki yang pendek
dan struktur kerangka mirip kera seperti Australopithecus. Jari tangan dan jari
kakinya cocok untuk memanjat. Struktur tulang rahangnya sangat mirip dengan
rahang kera masa sekarang. Rata-rata kapasitas tengkoraknya yang 600 cc juga mengindikasi
fakta bahwa Homo habilis adalah kera. Singkatnya, Homo habilis, yang diklaim
sebagai spesies berbeda oleh se-jumlah evolusionis, ternyata merupakan spesies
kera seperti semua Australopithecus yang lain.
Penelitian yang dilakukan pada tahun-tahun berikutnya benar-benar
menunjukkan bahwa Homo habilis tidak berbeda dengan Australopithecus. Fosil
tengkorak dan kerangka OH26 yang ditemukan Tim White menunjukkan bahwa spesies
ini memiliki kapasitas tengkorak kecil, lengan panjang serta kaki pendek yang
memungkinkannya memanjat pohon; tidak berbeda dengan kera modern.
Analisis terperinci yang dilakukan ahli antropologi Amerika, Holly Smith,
pada tahun 1994 menunjukkan bahwa Homo habilis bukan “homo”, atau “manusia”,
melainkan “kera”.
Mengenai analisis yang dilakukannya terhadap gigi-gigi Australopithecus,
Homo habilis, Homo erectus dan Homo neandertalensis, Smith menyatakan:
Dengan membatasi analisis hanya pada spesimen-spesimen yang memenuhi
kriteria ini, pola perkembangan gigi Australopithecus dan Homo habilis
menunjukkan bahwa mereka sekelompok dengan kera Afrika. Sedangkan Homo erectus
dan Neandertal diklasifikasikan dengan manusia.5
Tahun itu juga, tiga spesialis anatomi, Fred Spoor, Bernard Wood dan Frans
Zonneveld, menarik kesimpulan serupa melalui metode yang sama sekali berbeda.
Metode ini berdasarkan analisis perbandingan saluran setengah lingkaran pada
telinga bagian dalam milik manusia dan kera yang berfungsi menjaga
keseimbangan. Saluran ini berbeda jauh antara manusia yang berjalan tegak, dengan
kera yang berjalan membungkuk. Saluran telinga bagian dalam pada semua
Australopithecus serta spesimen Homo habilis yang diteliti oleh Spoor, Wood dan
Zonneveld, sama seperti pada kera modern. Saluran
telinga bagian dalam pada Homo erectus sama dengan pada manusia modern.6
Temuan ini
membuahkan dua hasil penting:
1.Fosil-fosil yang
dikatakan sebagai Homo habilis sebenarnya tidak termasuk kelas “homo”, atau
manusia, tetapi kelas Australopithecus, atau kera.
2.Baik Homo habilis
maupun Australopithecus adalah makhluk hidup yang berjalan membungkuk, dan
karenanya memiliki kerangka kera. Mereka tidak memiliki hubungan apa pun dengan
manusia.
Homo Rudolfensis: Susunan Wajah yang Salah
Homo rudolfensis
adalah nama yang diberikan kepada beberapa bagian fosil yang ditemukan pada
tahun 1972. Kelompok yang diwakili fosil ini juga dinamai Homo rudolfensis
karena ditemukan di dekat Sungai Rudolf di Kenya. Mayoritas ahli
paleoantropologi menyetujui bahwa fosil-fosil ini tidak berasal dari spesies
yang berbeda, melainkan termasuk Homo habilis.
Richard Leakey,
penemu fosil tersebut, memperkenalkan tengkorak yang dinamai “KNM-ER 1470” dan
dinyatakan berusia 2,8 juta tahun itu sebagai penemuan terbesar dalam sejarah
antropologi dan berpengaruh luas. Menurut Leakey, makhluk berukuran tengkorak
kecil seperti Australopithecus namun berwajah manusia tersebut adalah mata
rantai yang hilang antara Australopithecus dan manusia. Akan tetapi, tidak
berapa la-ma kemudian diketahui bahwa wajah mirip manusia dari tengkorak KNM-ER
1470 yang sering tampil pada sampul depan majalah-majalah ilmiah adalah hasil
penggabungan fragmen-fragmen tengkorak secara keliru—yang mungkin dilakukan
dengan sengaja. Prof. Tim Bromage, pengkaji anatomi wajah manusia, menjelaskan
kenyataan yang diungkapkannya dengan bantuan simulasi komputer ini pada tahun
1992:
Ketika KNM-ER 1470
pertama kali direkonstruksi, wajahnya dilekatkan pada tengkorak dalam posisi
hampir vertikal, sangat menyerupai wajah datar manusia modern. Akan tetapi
penelitian baru-baru ini mengenai hubungan-hubungan anatomis menunjukkan bahwa
pada masa hidupnya wajah itu seharusnya sangat menonjol, memunculkan aspek
mirip kera, agak mirip dengan wajah Australopithecus.7
Mengenai kasus ini,
seorang ahli paleoantropologi evolusionis, J. E. Cronin, menyatakan:
... wajahnya yang
dikonstruksi relatif kokoh, naso-alveolar clivus yang agak datar (mengarah
wajah cembung Australopithecus), lebar-maksimum tengkorak yang rendah (pada
bagian temporal), gigi taring yang kuat dan geraham yang besar (seperti yang
ditunjukkan oleh sisa akarnya), seluruhnya merupakan sifat-sifat yang relatif
primitif, yang menghubungkan spesimen tersebut dengan kelompok A. africanus.8
C. Loring Brace dari Universitas Michigan berkesimpulan sama setelah ia
menganalisis struktur rahang dan gigi tengkorak 1470. Menurutnya, ukuran rahang
dan bagian yang ditumbuhi gigi geraham menunjukkan bahwa ER 1470 memiliki wajah
dan gigi Australopithecus.9
Prof. Alan Walker, ahli paleoantropologi dari Universitas John Hopkins
telah melakukan banyak penelitian pada KNM-ER 1470 seperti halnya Leakey, dan
bersikeras bahwa makhluk hidup ini seharusnya tidak dikelompokkan sebagai
“homo” atau spesies manusia seperti Homo habilis atau Homo rudolfensis, tetapi
harus dimasukkan ke dalam spesies Australopithecus.10
Jadi, pengelompokan seperti Homo habilis atau Homo rudolfensis yang
dikatakan sebagai bentuk transisi antara Australopithecines dengan Homo
erectus, sepenuhnya hanyalah rekaan. Sebagaimana dikuatkan oleh banyak peneliti
masa kini, makhluk-makhluk hidup ini adalah anggota Australopithecus. Seluruh
ciri anatomis memperlihatkan bahwa mereka adalah spesies kera.
Setelah makhluk-makhluk ini, yang ternyata semuanya spesies kera, kemudian
muncul fosil-fosil “homo” yang merupakan fosil-fosil manusia.
Homo Erectus dan Setelahnya: Manusia
Menurut skema rekaan evolusionis, evolusi internal spesies Homo adalah
sebagai berikut: pertama Homo erectus, kemudian Homo sapiens purba dan Manusia
Neandertal, lalu Manusia Cro-Magnon dan terakhir manusia modern. Akan tetapi,
semua klasifikasi ini ternyata hanya ras-ras asli manusia. Perbedaan di antara
mereka tidak lebih dari perbedaan antara orang Inuit (eskimo) dengan negro atau
antara pigmi dengan orang Eropa.
Mari kita terlebih dulu mengkaji Homo erectus, yang dikatakan sebagai
spesies manusia paling primitif. Kata “erect” berarti “tegak”, maka “Homo
erectus” berarti “manusia yang berjalan tegak”. Evolusionis harus memisahkan
manusia-manusia ini dari yang sebelumnya dengan menambahkan ciri “tegak”, sebab
semua fosil Homo erectus bertubuh tegak, tidak seperti spesimen
Australopithecus atau Homo habilis. Jadi, tidak terdapat perbedaan antara
kerangka manusia modern dan Homo erectus.
Alasan utama evolusionis mendefinisikan Homo erectus sebagai “primitif”
adalah ukuran tengkoraknya (900-1100 cc) yang lebih kecil dari rata-rata
manusia modern, dan tonjolan alisnya yang tebal. Namun, banyak manusia yang
hidup di dunia sekarang memiliki volume tengkorak sama dengan Homo erectus
(misalnya suku Pigmi) dan ada beberapa ras yang memiliki alis menonjol (seperti
suku Aborigin Australia).
Sudah menjadi fakta yang disepakati bersama bahwa perbedaan ukuran
tengkorak tidak selalu menunjukkan perbedaan kecerdasan atau kemampuan.
Kecerdasan bergantung pada organisasi internal otak, dan bukan pada volumenya.11
Fosil yang telah menjadikan Homo erectus terkenal di dunia adalah fosil
Manusia Peking dan Manusia Jawa yang ditemukan di Asia. Akan tetapi, akhirnya
diketahui bahwa dua fosil ini tidak bisa diandalkan. Manusia Peking terdiri
dari beberapa bagian yang terbuat dari plester untuk menggantikan bagian asli
yang hilang. Sedangkan Manusia Jawa “tersusun” dari fragmen-fragmen tengkorak,
ditambah dengan tulang panggul yang ditemukan beberapa meter darinya, tanpa
indikasi bahwa tulang-tulang tersebut berasal dari satu makhluk hidup yang
sama. Itu sebabnya fosil Homo erectus
yang ditemukan di Afrika menjadi lebih penting. (Perlu diketahui pula bahwa
sejumlah fosil yang dikatakan sebagai Homo erectus, oleh sebagian evolusionis
dimasukkan ke dalam kelompok kedua yang diberi nama “Homo ergaster”. Ada
perbedaan pendapat di antara mereka tentang masalah ini. Kita akan menganggap
semua fosil ini termasuk kelompok Homo erectus).
Spesimen Homo
erectus paling terkenal dari Afrika adalah fosil “Narikotome homo erectus” atau
“Anak Lelaki Turkana”, yang ditemukan dekat danau Turkana, Kenya. Dipastikan
bahwa fosil tersebut milik seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, yang
mungkin akan mencapai tinggi dewasa 1,83 meter. Struktur kerangka yang tegak dari
fosil tidak berbeda dengan manusia modern. Mengenai ini, seorang ahli
paleoantropologi Amerika, Alan Walker, meragukan kemampuan ahli patologi
kebanyakan untuk membedakan kerangka fosil tersebut dengan kerangka manusia
modern.”12 Tentang tengkorak tersebut, Walker berkata bahwa
“tengkorak itu tampak sangat mirip dengan Neandertal”.13 Seperti
yang akan kita temukan pada bab berikutnya, Neandertal adalah ras manusia
modern. Jadi, Homo erectus adalah ras manusia modern juga.
Bahkan evolusionis Richard Leakey menyatakan bahwa perbedaan antara Homo
erectus dan manusia modern tidak lebih dari variasi ras:
Perbedaan bentuk tengkorak, tingkat tonjolan wajah, kekokohan dahi dan
sebagainya akan terlihat. Perbedaan-perbedaan ini mungkin seperti yang kita
saksikan saat ini pada ras-ras manusia modern yang terpisah secara geografis.
Variasi biologis semacam ini muncul ketika populasi-populasi saling terpisah
secara geografis untuk kurun waktu yang lama.14
Prof. William Laughlin dari Universitas Connecticut melakukan pengujian
anatomi menyeluruh terhadap orang-orang Inuit dan orang-orang yang hidup di
kepulauan Aleut. Ia mendapati mereka sangat mirip dengan Homo erectus. Laughlin
berkesimpulan bahwa semua ras ini ternyata ras-ras yang bervariasi dari Homo
sapiens (manusia modern).
Jika kita mempertimbangkan perbedaan besar antara kelompok-kelompok yang
berjauhan seperti Eskimo dan Bushman, yang diketahui berasal dari satu spesies
Homo sapiens, maka dapat disimpulkan bahwa Sinanthropus [spesimen erectus-ALC]
termasuk dalam spesies yang sama.15
Di lain pihak, terdapat jurang pemisah yang lebar antara Homo erectus,
suatu ras manusia, dan kera yang mendahului Homo erectus dalam skenario
“evolusi manusia” (Australopithecus, Homo habilis, Homo rudolfensis). Ini berarti bahwa manusia pertama muncul secara
tiba-tiba dalam catatan fosil dan tanpa sejarah evolusi apa pun. Hal ini sudah
cukup jelas mengindikasikan bahwa mereka diciptakan.
Akan tetapi, pengakuan atas fakta ini akan sangat bertentangan dengan
filsafat dogmatis dan ideologi evolusionis. Karenanya, mereka mencoba
menggambarkan Homo erectus, ras manusia sesungguhnya, sebagai makhluk separo
kera. Pada rekonstruksi Homo erectus, evolusionis berkeras menggambarkan
ciri-ciri kera. Sebaliknya, dengan metode penggambaran yang sama, mereka
memanusiakan kera seperti Australopithecus atau Homo habilis. Dengan cara ini,
mereka berupaya “mendekatkan” kera dan manusia, dan menutup celah antara dua
kelompok makhluk hidup yang berbeda ini.
Neandertal
Neandertal adalah manusia yang tiba-tiba muncul 100 ribu tahun lalu di
Eropa dan kemudian menghilang — atau terasimilasi melalui pembauran dengan
ras-ras lain secara diam-diam namun cepat, 35 ribu tahun lalu. Perbedaan antara
mereka dengan manusia modern hanyalah kerangka tubuh yang lebih kekar dan
kapasitas tengkorak mereka sedikit lebih besar.
Neandertal adalah ras manusia, dan kenyataan ini sekarang diakui oleh
hampir semua orang. Evolusionis telah berusaha keras menampilkan mereka sebagai
“spesies primitif”, namun semua temuan menunjukkan bahwa Neanderthal tidak
berbeda dengan orang berperawakan “kekar” yang lewat di jalan saat ini. Seorang
pakar dalam hal ini, Erik Trinkaus, ahli paleoantropologi dari Universitas New
Mexico menulis:
Perbandingan anatomis terperinci antara sisa-sisa kerangka Neandertal
dengan kerangka manusia modern tidak menunjukkan dengan pasti bahwa kemampuan
lokomotif, manipulatif, intelektual atau bahasa Neandertal lebih rendah dari
manusia modern.16
Banyak peneliti modern menggolongkan manusia Neandertal sebagai suatu sub
spesies dari manusia modern dan menamakannya “Homo sapiens neandertalensis”.
Temuan-temuan membuktikan bahwa Neandertal mengubur mayat kerabat mereka,
membuat alat musik dan memiliki hubungan kebudayaan dengan Homo sapiens sapiens
yang hidup seperiode. Tegasnya, Neandertal adalah ras manusia bertubuh “kekar”
yang menghilang seiring perjalanan masa.
Homo Sapiens Kuno, Homo Heilderbergensis dan
Manusia Cro-Magnon
Dalam skema evolusi rekaan, Homo sapiens kuno adalah tahapan terakhir
sebelum manusia modern. Pada kenyataannya, evolusionis tidak dapat berkata
banyak tentang manusia ini, karena hanya ada sedikit perbedaan antara mereka
dengan manusia modern. Sejumlah peneliti bahkan mengatakan bahwa representasi
ras ini masih hidup hingga sekarang, dan merujuk kepada orang Aborigin di
Australia sebagai contoh. Seperti Homo sapiens, orang Aborigin juga memiliki
alis tebal yang menonjol, struktur rahang miring ke dalam dan kapasitas
tengkorak sedikit lebih kecil. Di samping itu, sejumlah penemu-an penting
mengisyaratkan bahwa manusia semacam itu pernah hidup di Hongaria dan di
beberapa desa di Italia hingga beberapa waktu lalu.
Kelompok yang disebut sebagai Homo heilderbergensis dalam literatur
evolusionis ternyata sama dengan Homo sapiens kuno. Dua istilah berbeda ini
digunakan untuk mendefinisikan ras manusia yang sama, karena perbedaan konsep
di kalangan evolusionis. Semua fosil yang termasuk dalam golongan Homo
heilderbergensis menunjukkan bahwa kelompok manusia yang secara anatomis sangat
mirip dengan orang Eropa modern telah hidup 500 ribu dan bahkan 740 ribu tahun
sebelumnya, pertama di Inggris dan kemudian di Spanyol.
Diperkirakan manusia Cro-Magnon hidup 30.000 tahun lalu. Manusia ini
memiliki tengkorak berbentuk kubah dan dahi yang lebar. Kapasitas tengkoraknya
1.600 cc, di atas rata-rata untuk manusia modern. Tengkoraknya memiliki
tonjolan alis yang tebal dan tonjolan tulang di bagian belakang yang merupakan
ciri manusia Neanderthal dan Homo erectus.
Kendati Cro-Magnon dianggap suatu ras Eropa, struktur dan volume tengkoraknya
tampak lebih mirip tengkorak ras-ras yang hidup di Afrika dan daerah tropis
saat ini. Berdasarkan ini, Cro-Magnon diperkirakan sebagai suatu ras Afrika
kuno. Sejumlah temuan paleoantropologi telah menunjukkan bahwa ras Cro-Magnon
dan Neandertal saling membaur, kemudian mengawali ras-ras dewasa ini. Sekarang
sudah diakui bahwa representasi dari ras Cro-Magnon masih hidup di beberapa
wilayah di benua Afrika, dan di daerah Salute dan Dordogne di Prancis. Kelompok
manusia berkarakteristik sama juga hidup di Polandia dan Hongaria.
Hidup Sezaman dengan Nenek Moyang
Kajian kita sejauh ini telah membentuk sebuah gambaran jelas: skenario
“evolusi manusia” hanyalah fiksi. Agar silsilah seperti itu ada, evolusi
bertahap dari kera hingga manusia seharusnya sudah terjadi dan catatan fosil
dari proses ini seharusnya telah ditemukan. Akan tetapi, ada jarak pemisahkan
sangat lebar antara kera dan manusia. Struktur kerangka, kapasitas tempurung
kepala dan kriteria lain seperti berjalan tegak atau sangat membungkuk, membedakan
manusia dari kera. (Dari hasil riset tahun 1994 tentang saluran keseimbangan
pada telinga bagian tengah, Australopithecus dan Homo habilis dikelompokkan
sebagai kera, sedangkan Homo erectus dikelompokkan sebagai manusia.)
Satu lagi temuan penting yang membuktikan bahwa tidak mungkin ada silsilah
keluarga di antara spesies yang berbeda-beda ini adalah: spesies yang
ditampilkan sebagai nenek moyang dan penerusnya ternyata hidup bersamaan. Jika
anggapan evolusionis benar bahwa Australopithecus berubah menjadi Homo habilis
dan kemudian berubah menjadi Homo erectus, maka seharusnya mereka hidup pada
era yang berurutan. Akan tetapi, tidak ada urutan kronologis seperti itu.
Menurut perkiraan evolusionis, Australopithecus hidup dari 4 juta - 1 juta
tahun lalu. Sedangkan makhluk hidup yang digolongkan Homo habi-lis diduga hidup
hingga 1,9-1,7 juta tahun lalu. Homo rudolfensis, yang dianggap lebih “maju”
daripada Homo habilis, diketahui berusia sekitar 2,8-2,5 juta tahun! Dengan
kata lain, Homo rudolfensis hampir 1 juta tahun lebih tua dari Homo habilis,
sang “nenek moyang”. Di lain pihak, periode Homo erectus adalah sekitar 1,8-1,6
juta tahun lalu. Artinya, spesimen Homo erectus muncul di bu-mi pada selang
waktu sama dengan Homo habilis, yang disebut sebagai nenek moyangnya .
Alan Walker memperkuat fakta ini dengan menyatakan bahwa “terdapat bukti
dari Afrika Timur tentang sejumlah kecil Australopithecus yang bertahan hidup
sezaman dengan H. habilis, lalu dengan H. erectus.”17 Louis Leakey
pun telah menemukan fosil-fosil Australopithecus, Homo habilis dan Homo erectus
yang berdekatan satu sama lain di wilayah Celah Olduvai, lapisan Bed II.18
Jadi pastilah, tidak ada silsilah kekerabatan seperti itu. Ahli
paleontologi dari Universitas Harvard, Stephen Jay Gould, menjelaskan jalan
buntu bagi evolusi ini meskipun ia sendiri seorang evolusionis:
Apa jadinya dengan urutan yang kita susun, jika ada tiga keturunan hominid
hidup bersama (A. africanus, A. robustus, dan H. habilis), dan tidak satu pun
dari mereka menjadi keturunan dari yang lain? Lagipula, tidak satu pun dari
ketiganya memperlihatkan kecenderungan evolusi semasa mereka hidup di bumi.19
Jika kita beralih dari Homo erectus ke Homo sapiens, kita kembali melihat
bahwa tidak ada silsilah untuk dibicarakan. Ada bukti yang menunjukkan bahwa
Homo erectus dan Homo sapiens kuno hidup hingga 27.000 tahun dan bahkan 10.000
tahun sebelum masa kita. Dalam rawa Kow di Australia, tengkorak Homo erectus
berusia sekitar 13.000 tahun telah ditemukan. Di pulau Jawa, sebuah tengkorak
Homo erectus yang ditemukan berumur sekitar 27.000 tahun.20
Sejarah Rahasia Homo sapiens
Fakta paling menarik dan penting yang menggugurkan landasan utama silsilah
imajiner teori evolusi ini adalah sejarah manusia modern, yang ternyata cukup
tua. Data paleoantropologi mengungkapkan bahwa orang-orang Homo sapiens yang
persis sama dengan kita, telah hidup pada satu juta tahun lalu.
Orang yang menemukan
bukti pertama dalam hal ini adalah Louis Leakey, seorang ahli paleoantropologi
evolusionis. Pada ta-hun 1932, di daerah Kanjera sekitar Danau Victoria di
Kenya, Leakey menemukan be-berapa fosil yang berasal dari zaman Pleistosin
Tengah. Fosil
itu ternyata tidak berbeda dengan manusia modern. Akan tetapi, zaman Pleistosin
Tengah berarti satu juta tahun lalu.21 Karena penemuan ini
membalikkan silsilah keturunan evolusi, sejumlah ahli paleoantropologi
evolusionis tidak mau mengakuinya. Namun Leakey selalu bertahan bahwa perkiraannya
benar.
Ketika kontroversi ini hampir terlupakan, sebuah fosil ditemukan di Spanyol
pada tahun 1995 dan dengan sangat gamblang menunjukkan bahwa sejarah Homo
sapiens ternyata jauh lebih tua dari yang diperkirakan. Fosil tersebut
ditemukan di sebuah gua bernama Gran Dolina di wilayah Atapuerca di Spanyol
oleh tiga orang ahli paleoantropologi Spanyol dari Universitas Madrid. Fosil
tersebut adalah wajah anak laki-laki berusia 11 tahun yang sepenuhnya tampak
seperti manusia modern. Padahal, fosil
tersebut telah berusia 800.000 tahun sejak ia meninggal. Majalah Discover
memuat rincian kisah ini pada Desember 1997.
Fosil tersebut
bahkan menggoyahkan keyakinan Ferreras, yang memimpin penggalian Gran Dolina.
Ia berujar:
Kami mengharapkan
sesuatu yang signifikan, sesuatu yang besar, sesuatu yang bombastis..., sesuatu
yang "primitif". Harapan kami terhadap seorang anak berusia 800.000
tahun adalah sesuatu seperti Anak Lelaki Turkana. Dan apa yang ka-mi temukan
adalah wajah yang sama sekali modern…. Bagi saya hal ini sangat spektakuler…
sesuatu yang mengguncangkan. Menemukan sesuatu yang sama sekali tidak
diharapkan seperti itu.... Bukan tentang masalah menemukan fosil; menemukan fosil
bisa juga mengejutkan, dan tidak jadi masalah. Namun hal yang paling
spektakuler adalah menemukan sesuatu yang Anda kira berasal dari zaman
sekarang, di masa lam-pau. Sama halnya
dengan menemukan sesuatu seperti… seperti tape recorder di Gran Dolina. Itu akan sangat
mengejutkan. Kami tidak mengharapkan ada kaset dan tape recorder pada zaman
Pleistosin Awal. Menemukan wajah modern begitu pula. Kami sangat terkejut
melihatnya.22
Fosil tersebut menegaskan fakta bahwa sejarah Homo sapiens harus ditarik ke
belakang hingga 800 ribu tahun lalu. Setelah pulih dari keterkejutannya,
evolusionis yang menemukan fosil tersebut memutuskan bahwa fosil ini berasal
dari spesies yang berbeda, sebab menurut silsilah keturunan evolusi, tidak ada
Homo sapiens yang pernah hidup 800 ribu tahun lalu. Jadi, mereka mengarang
sebuah spesies baru bernama “Homo antecessor” dan memasukkan tengkorak
Atapuerca ke dalam kelompok ini.
Sebuah Pondok
Berusia 1,7 Juta Tahun
Telah banyak temuan yang menunjukkan bahwa usia Homo sapiens bahkan lebih
awal dari 800 ribu tahun. Satu di
antaranya adalah penemuan Louis Leakey di awal tahun 1970-an di Celah Olduvai.
Di tempat ini, di lapisan Bed II, Leakey menemukan bahwa spesies
Australopithecus, Homo habilis dan Homo erectus hidup pada masa yang sama.
Bahkan yang lebih menarik lagi adalah sebuah bangunan yang juga ditemukan
Leakey pada lapisan Bed II. Di sini, Leakey menemukan sisa-sisa pondok batu.
Yang tidak biasa dari peristiwa ini adalah bahwa konstruksi ini, yang masih
digunakan di sejumlah daerah di Afrika, hanya dapat dibangun oleh Homo sapiens!
Jadi, menurut temuan Leakey, Australopithecus, Homo habilis, Homo erectus dan
manusia modern tentu hidup pada masa yang sama sekitar 1,7 juta tahun lalu.23
Penemuan ini dengan pasti menggugurkan teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia
modern berevolusi dari spesies mirip kera seperti Australopithecus.
Jejak Kaki
Manusia Modern, Berusia 3,6 Juta Tahun!
Sejumlah penemuan
lain merunut asal usul manusia modern hingga 1,7 juta tahun yang lalu. Salah
satu dari temuan penting ini adalah jejak-jejak kaki yang ditemukan di Laetoli,
Tanzania oleh Mary Leakey pada tahun 1977. Jejak-jejak kaki ini ditemukan pada
lapisan yang menurut perhitungan berusia 3,6 juta tahun. Yang lebih penting
lagi, jejak-jejak kaki ini tidak berbeda dari jejak kaki manusia modern.
Jejak-jejak kaki
yang ditemukan Mary Leakey kemudian dipelajari sejumlah ahli paleoantropologi
seperti Don Johanson dan Tim White. Hasilnya sama. White menulis:
Tidak disangsikan lagi…. Jejak-jejak itu serupa dengan jejak kaki manusia
modern. Jika jejak itu ditinggalkan di pasir pantai California sekarang, dan
seorang anak berusia empat tahun ditanya tentangnya, ia akan langsung menjawab
bahwa seseorang telah berjalan di sana. Ia tidak akan dapat membedakannya
dengan seratus jejak kaki lain di pantai, begitu pula Anda.24
Setelah meneliti jejak tersebut, Louis Robbins dari Universitas North
California berkomentar sebagai berikut:
Lengkungannya agak tinggi — manusia yang lebih kecil memiliki lengkungan
lebih tinggi daripada yang saya miliki — dan jempol kakinya besar dan sejajar
dengan jari kaki sebelahnya.… Jari-jari kaki menekan tanah seperti jari-jari
kaki manusia. Anda tidak akan mendapati ini pada hewan.25
Pengujian-pengujian morfologis tetap menunjukkan bahwa jejak-jejak kaki
tersebut harus diakui berasal dari manusia, lebih jauh lagi, manusia modern
(Homo sapiens). Russell Tuttle yang mempelajari ini menulis:
Jejak-jejak ini mungkin berasal dari seorang Homo sapiens kecil yang bertelanjang
kaki... Dari semua ciri morfologi yang teramati, kaki individu yang membuat
jejak tersebut tidak berbeda dengan kaki manusia modern.26
Penelitian yang jujur tentang jejak-jejak kaki tersebut mengungkapkan
pemilik sebenarnya. Pada kenyataan, jejak-jejak kaki ini terdiri dari 20 jejak
dari seorang manusia modern berusia 10 tahun yang membatu dan 27 jejak kaki
dari seorang yang lebih muda. Mereka benar-benar manusia modern seperti kita.
Situasi ini menjadikan jejak kaki Laetoli sebagai topik diskusi selama
bertahun-tahun. Para pakar paleoantropologi evolusionis berupaya keras
memikirkan sebuah penjelasan karena sulit bagi mereka menerima kenyataan bahwa
manusia modern telah berjalan di muka bumi 3,6 juta tahun lalu. Pada tahun
1990-an, “penjelasan” ini mulai terbentuk. Evolusionis memutuskan bahwa jejak
kaki ini tentunya ditinggalkan oleh Australopithecus, sebab menurut teori
mereka, mustahil spesies homo ada 3,6 juta tahun lalu. Dalam artikelnya pada
tahun 1990, Russell H. Tuttle menulis sebagai berikut:
Singkatnya, jejak kaki berusia 3,5 juta tahun di situs G Laetoli menyerupai
jejak manusia modern yang biasa bertelanjang kaki. Tidak ada ciri-ciri yang
menunjukkan bahwa hominid Laetoli memiliki kemampuan bipedal yang lebih rendah
dari kita. Kalau saja jejak pada situs G ini tidak diketahui setua itu, kami
akan langsung menyimpulkan bahwa jejak tersebut dibuat oleh anggota genus
Homo.... Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan asumsi lemah bahwa jejak
Laetoli telah dibuat oleh jenis Lucy, yaitu Australopithecus aferensis.27
Dengan kata lain, jejak-jejak berumur 3,6 juta tahun ini tidak mungkin
milik Australopithecus. Satu-satunya alasan mengapa jejak-jejak ini dianggap
berasal darinya adalah karena jejak tersebut berada pada lapisan vulkanik
berumur 3,6 juta tahun. Jejak tersebut dianggap milik Australopithecus dengan
asumsi bahwa manusia tidak mungkin telah hidup pada zaman seawal itu.
Penafsiran jejak Laetoli menunjukkan kepada kita suatu realita yang sangat
penting. Evolusionis mendukung teorinya tidak dengan mempertimbangkan temuan
ilmiah, tetapi justru mengabaikannya. Di sini kita mendapati sebuah teori yang
dibela secara membabi bu-ta, dan semua temuan yang bertentangan dengan teori
tersebut diabaikan atau diselewengkan demi tujuan mereka.
Singkatnya, teori evolusi bukan ilmu pengetahuan, tetapi dogma yang dijaga
agar tetap hidup dengan mengabaikan ilmu pengetahuan.
Kebuntuan Bipedalisme bagi Evolusi
Terlepas dari catatan fosil yang telah kita diskusikan, lebarnya jarak
perbedaan anatomis antara manusia dan kera juga menggugurkan cerita rekaan
evolusi manusia. Salah satu perbedaan ini berhubungan dengan cara berjalan.
Manusia berjalan tegak dengan kedua kakinya. Suatu cara bergerak yang sangat
unik dan tidak didapati pada spesies-spesies lain. Sebagian hewan memang
memiliki kemampuan terbatas untuk bergerak sembari berdiri dengan kedua kaki
belakangnya. Hewan seperti beruang dan monyet terkadang bergerak seperti ini
ketika hendak menggapai makanan, dan hanya selama beberapa saat. Normalnya,
kerangka mereka condong ke depan dan mereka berjalan dengan empat kaki.
Lalu kemudian, apakah bipedalisme merupakan hasil evolusi dari cara
berjalan monyet yang kuadripedal seperti yang diklaim evolusionis?
Tentu saja tidak. Penelitian telah menunjukkan bahwa evolusi bipedalisme
tidak pernah dan tidak mungkin terjadi. Pertama, cara berjalan bipedal bukan
suatu keuntungan. Cara monyet bergerak lebih mudah, lebih cepat dan lebih
efisien daripada cara berjalan bipedal manusia. Manusia tidak dapat meloncat
dari satu pohon ke pohon lain tanpa menyentuh tanah seperti simpanse, atau
berlari dengan kecepatan 125 km/jam seperti cheetah. Sebaliknya, karena manusia
berjalan dengan kedua kakinya, ia bergerak jauh lebih lambat di atas tanah.
Untuk alasan yang sama, manusia adalah salah satu spesies yang paling tidak
terlindung di alam, jika ditinjau dari gerakan dan pertahanan. Menurut logika
evolusi, monyet seharusnya tidak berevolusi mengambil cara berjalan bipedal.
Sebaliknya, manusialah yang seharusnya berevolusi menjadi kuadripedal.
Kebuntuan lain dari klaim evolusi adalah bahwa cara berjalan bipedal tidak
sesuai dengan model “perkembangan bertahap” Darwinisme. Model ini, yang menjadi
dasar evolusi, mengharuskan adanya suatu cara berjalan “gabungan” antara cara
berjalan bipedal dan kuadripedal. Tetapi penelitian komputer yang dilakukan
Robin Crompton, seorang ahli paleoantropologi Inggris pada tahun 1996
menunjukkan bahwa “gabungan” ini mustahil terjadi. Crompton mencapai kesimpulan
berikut ini: Mahluk hidup hanya dapat berjalan tegak, atau dengan keempat
kakinya.28 Cara berjalan setengah-setengah antara bipedal dan
kuadripedal sangat menguras energi. Itu sebabnya tidak mungkin ada makhluk
setengah bipedal.
Jarak yang terlalu jauh antara manusia dan kera tidak hanya meliputi bipedalisme.
Masih banyak hal lain yang tidak dapat diterangkan seperti kapasitas tengkorak,
kemampuan ber-bicara, dan sebagainya. Elaine Morgan, seorang ahli
paleoantropologi evolusionis, mengakuinya:
Empat misteri yang paling membingungkan tentang manusia adalah: 1) me-ngapa
mereka berjalan dengan dua kaki? 2) mengapa mereka kehilangan seluruh bulu? 3) mengapa
mereka mengembangkan otak yang besar? 4) mengapa mereka belajar berbicara?
Jawaban ortodoks untuk pertanyaan-pertanyaan ini adalah: 1) 'Kita belum tahu';
2) 'Kita belum tahu'; 3) 'Kita belum tahu'; 4) 'Kita belum tahu'. Daftar
pertanyaan bisa bertambah panjang tanpa mengubah kemonotonan jawaban.29
Evolusi: Kepercayaan yang Tidak Ilmiah
Lord Solly Zuckerman adalah salah seorang peneliti terkemuka dan terhormat
di Inggris. Bertahun-tahun ia meneliti catatan fosil dan melakukan banyak
penyelidikan secara terperinci. Ia dianugerahi gelar kebangsawanan “Lord” untuk
kontribusinya bagi ilmu pengetahuan. Zuckerman adalah seorang evolusionis.
Jadi, komentarnya mengenai evolusi tidak dapat dianggap sebagai pernyataan
untuk menentang teori evolusi. Setelah bertahun-tahun meneliti fosil yang
digunakan dalam skenario evolusi manusia, ia berkesimpulan bahwa silsilah
seperti itu tidak ada.
Zuckerman juga menyusun sebuah “spektrum ilmu pengetahuan” yang menarik. Ia
membentuk spektrum ilmu pengetahuan dari yang dianggapnya ilmiah hingga tidak
ilmiah. Menurut spektrum Zuckerman, yang paling “ilmiah” tergantung pada data
konkret—adalah bidang kimia dan fisika. Setelah itu biologi, kemudian diikuti
ilmu-ilmu sosial. Pada ujung berlawanan, yang dianggap paling tidak “ilmiah”,
terdapat “extra-sensory perception (ESP)”konsep seperti telepati dan indra
keenam—dan terakhir adalah “evolusi manusia”. Zuckerman menjelaskan alasannya:
Kita kemudian bergerak dari kebenaran objektif langsung ke bidang-bidang
yang dianggap sebagai ilmu biologi, seperti extra sensory perception atau
interpretasi sejarah fosil manusia. Dalam bidang-bidang ini, segala sesuatu mungkin
terjadi bagi yang percaya, dan orang yang sangat percaya kadang-kadang mampu
meyakini sekaligus beberapa hal yang saling kontradiktif.30
Lalu, alasan apa yang membuat banyak ilmuwan berkeras mempertahankan dogma
ini? Mengapa mereka berusaha begitu keras mempertahankan teori ini agar tetap
hidup, walaupun harus mengalami berbagai konflik dan membuang bukti-bukti yang
mereka temukan sendiri?
Satu-satunya jawaban adalah ketakutan mereka akan fakta yang harus mereka
hadapi jika teori evolusi ini ditinggalkan. Fakta bahwa manusia diciptakan oleh
Allah. Akan tetapi, mengingat praduga dan filsafat materialistis mereka,
penciptaan adalah konsep yang tidak dapat diterima evolusionis.
Untuk alasan ini, mereka menipu diri sendiri serta semua orang di dunia,
melalui kerja sama dengan media massa. Jika mereka tidak dapat menemukan fosil
yang dibutuhkan, mereka akan “membuatnya” baik dalam bentuk gambar rekaan atau
model-model khayalan, dan mencoba memberikan kesan bahwa fosil-fosil yang
membuktikan teori evolusi benar-benar ada. Sebagian media massa yang menganut
pandangan materialistis juga mencoba menipu masyarakat dan menanamkan kisah
evolusi ke alam bawah sadar manusia.
Sekeras apa pun mereka mencoba, kebenaran tetap jelas: manusia muncul bukan
melalui proses evolusi tetapi karena telah diciptakan Allah. Karena itu,
manusia bertanggung jawab kepada-Nya betapa pun ia tidak ingin menerima
tanggung jawab ini.
Footnotes:
1) David Pilbeam, "Humans Lose an Early
Ancestors", Science, April 1982, hlm. 6-7.
2)Engin Korur, "Gözlerin ve Kanatlarin
Sirri" (The Mystery of the Eyes and the Wings), Bilim ve Teknik, No. 203,
Oktober 1984, hlm. 25.
3)Nature, Vol. 382, 1 Agustus 1996, hlm. 401.
4)Carl O. Dunbar, Historical Geology, New York: John
Wiley and Sons, 1961, hlm. 310.
5)Holly Smith, American Journal of Physical
Antropology, Vol. 94, 1994, hlm. 307-325.
6)Fred Spoor, Bernard Wood, Frans Zonneveld,
"Implication of Early Hominid Labryntine Morphology for Evolution of Human
Bipedal Locomotion", Nature, Vol. 369, 23 Juni 1994, hlm. 645-648.
7)Tim Bromage,
New Scientist, Vol 133, 1992, hlm. 38-41.
8)J. E. Cronin,
N. T. Boaz, C. B. Stringer, Y. Rak, "Tempo and Mode in Hominid
Evolution", Nature, Vol. 292, 1981, hlm. 113-122.
9)C. L. Brace,
H. Nelson, N. Korn, M. L. Brace, Atlas of Human Evolution, 2.b. New York:
Rinehart and Wilson, 1979
10)Alan Walker, Scientific American, Vol 239 (2),
1978, hlm. 54.
11) Marvin Lubenow, Bones of Contention, Grand Rapids,
Baker, 1992, hlm. 83.
12) Boyce Rensberger, The Washington Post, 19 November
1984.
13) Ibid.
14) Richard Leakey, The Making of Mankind, London:
Sphere Books, 1981, hlm. 62.
15)Marvin Lubenow, Bones of Contention, Grand Rapids,
Baker, 1992, hlm. 136.
16)Erik Trinkaus, "Hard Times Among the
Neanderthals", Natural History, Vol. 87, Desember 1978, hlm. 10; R. L.
Holloway, "The Neanderthal Brain: What Was Primitive", suplemen
American Journal of Physical Anthropology, Vol. 12, 1991, hlm. 94.
17)Alan Walker, Science, Vol. 207, 1980, hlm. 1103.
18)A. J. Kelso, Physical Anthropology, edisi I, New
York: J. B. Lipincott Co., 1970, hlm. 221; M. D. Leakey, Olduvai Gorge, Vol. 3,
Cambridge: Cambridge University Press, 1971, hlm. 272
19)S. J. Gould, Natural History, Vol. 85, 1976, hlm.
30.
20)Time, November 1996.
21)L. S. B. Leakey, The Origin of Homo Sapiens, ed. F.
Borde, Paris: UNESCO, 1972, hlm. 25-29; L. S. B. Leakey, By the Evidence, New
York: Harcourt Brace Jovanovich, 1974.
22) "Is This The Face of Our Past",
Discover, Desember 1997, hlm. 97-100.
23)A. J. Kelso, Physical Anthropology, 1.b., 1970,
hlm. 221; M. D. Leakey, Olduvai Gorge, Vol 3, Cambridge: Cambridge University
Press, 1971, hlm. 272
24)Donald C. Johanson & M. A. Edey, Lucy: The
Beginnings of Humankind, New York: Simon & Schuster, 1981, hlm. 250
25)Science News, Vol. 115, 1979, hlm. 196-197
26)Ian Anderson, New Scientist, Vol 98, 1983, hlm.
373.
27)Russel H. Tuttle, Natural History, March 1990, hlm.
61-64
28)Ruth Henke,
"Aufrecht aus den Baumen", Focus, Vol 39, 1996, hlm. 178.
29)Elaine Morgan, The Scars of Evolution, New York:
Oxford University Press, 1994, hlm. 5.
30)Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, New York:
Toplinger Publications, 1970, hlm. 19.
Satu Tulang Rahang
Sebagai Sumber Inspirasi
Fosil Ramapithecus pertama
yang ditemukan: tulang rahang yang hilang, terdiri dari dua bagian (kanan). Evolusionis dengan berani
menggambarkan Ramapithecus, keluarga dan lingkungan tempat tinggal mereka,
hanya berdasarkan tulang rahang ini.
Australopithecus Aferensis: Kera yang Telah Punah
Fosil pertama yang ditemukan di Hadar, Ethiopia, yang dianggap sebagai
spesies Australopithecus aferensis adalah AL 288-1 atau “Lucy”. Sudah lama
evolusionis berusaha keras membuktikan bahwa Lucy dapat berjalan tegak. Tetapi
penelitian terakhir memastikan bahwa binatang ini adalah kera biasa yang
berjalan membungkuk.
Fosil Australopithecus aferensis AL 333-105 di atas adalah milik anggota
muda spesies ini. karena itulah tonjolan belum terbentuk pada tengkoraknya.
Di kanan adalah tengkorak fosil
Australopithecus aferensis AL 444-2, dan di bawahnya adalah tengkorak kera
modern. Kemiripan yang sangat jelas menegaskan bahwa A. Aferensis adalah
spesies kera biasa tanpa ciri-ciri “mirip manusia”.
AUSTRALOPITHECUS SIMPANSE
MODERN
Homo Habilis: Satu Lagi
Kera yang Telah Punah
Sudah sejak lama para
evolusionis menyatakan bahwa makhluk yang mereka namakan Homo habilis dapat
berjalan tegak. Mereka beranggapan telah menemukan mata rantai penghubung
antara kera dengan manusia. Akan tetapi, fosil-fosil baru Homo habilis yang
ditemukan Tim White pada tahun 1986 dan diberi nama OH 62 membantah klaim ini.
Fragmen fosil ini memperlihatkan bahwa Homo habilis berlengan panjang dan
berkaki pendek seperti kera modern. Fosil ini mengakhiri klaim bahwa Homo
habilis adalah makhluk bipedal yang dapat berjalan tegak. Ternyata, Homo
habilis juga tidak lebih dari spesies kera.
“Homo habilis OH 7” di
samping kanan adalah fosil yang paling baik menggambarkan karakteristik rahang
Homo habilis. Fosil rahang ini memiliki gigi seri yang besar. Gigi gerahamnya
kecil. Bentuk rahang persegi. Semua ciri ini membuat rahang ini sangat mirip
dengan rahang kera masa kini. Dengan kata lain, rahang Homo habilis menegaskan
sekali lagi bahwa makhluk ini adalah sejenis kera.
Homo Erectus: Ras Manusia
Kuno
Homo erectus berarti
“manusia tegak”. Semua fosil yang termasuk spesies ini berasal dari ras-ras
manusia tertentu. Karena sebagian besar fosil Homo erectus tidak memiliki
karakteristik yang sama, sungguh sulit mendefinisikan mereka berdasarkan
tengkoraknya. Itu sebabnya peneliti evolusionis yang berbeda membuat
klasifikasi dan penamaan yang berbeda pula. Kiri atas adalah tengkorak yang
ditemukan di Koobi Fora, Afrika pada tahun 1975 yang secara umum mendefinisikan
Homo erectus. Kanan atas adalah tengkorak Homo ergaster KNM-ER 3733, yang masih
dipertanyakan.
Ukuran tengkorak dari beragam fosil Homo erectus ini berkisar antara 900
hingga 1100 cc. Angka ini masih dalam batas ukuran tengkorak manusia modern.
Kerangka KNM-WT 15000 atau Anak Turkana di sebelah kanan barangkali fosil
manusia tertua dan terlengkap yang pernah ditemukan. Penelitian terhadap fosil
yang di-perkirakan berusia 1,6 juta tahun ini menunjukkan bahwa pemiliknya
seorang anak berusia 12 tahun yang bisa mencapai tinggi dewasa sekitar 1,80 m.
Fosil yang sangat menyerupai ras Neandertal ini adalah salah satu bukti paling
kuat yang menggugurkan kisah evolusi manusia.
Evolusionis Donald Johnson melukiskan fosil ini sebagai berikut: “Ia tinggi
dan kurus. Bentuk tubuh dan perbandingan antara tangan dan kakinya sama dengan
orang Afrika Khatulistiwa yang hidup saat ini. Ukuran tangan dan kakinya cocok
sekali dengan orang dewasa kulit putih Amerika Utara masa kini.”
BAB 10:
Kebuntuan
Evolusi Molekuler
Pada bagian sebelumnya,
telah digambarkan bagaimana catatan fosil menggugurkan teori evolusi. Sebenarnya hal ini tidak
perlu dilakukan, karena teori evolusi telah runtuh jauh sebelum orang sampai
pada klaim “evolusi spesies” dan bukti-bukti fosil. Yang membuat teori evolusi
sejak awal kehilangan arti adalah pertanyaan bagaimana kehidupan pertama kali
muncul di muka bumi.
Ketika menjawab pertanyaan ini, teori evolusi menyatakan bahwa kehidupan
berawal dari sebuah sel yang terbentuk secara kebetulan. Berdasarkan skenario
ini, empat miliar tahun lalu, dalam atmosfir bumi purba berbagai senyawa tidak
hidup bereaksi, di bawah petir dan tekanan menghasilkan sel hidup pertama.
Hal pertama yang harus diingat, pernyataan bahwa senyawa-senyawa anorganik
dapat bergabung membentuk kehidupan sama sekali tidak ilmiah dan tidak
dikuatkan dengan eksperimen atau observasi. Kehidupan hanya muncul dari
kehidupan. Setiap sel hidup terbentuk melalui replikasi sel hidup lainnya. Tak
seorang pun di dunia pernah berhasil membentuk sel hidup dengan mencampurkan
materi-materi anorganik, bahkan di laboratorium yang paling canggih sekalipun.
Teori evolusi menyatakan bahwa sel-sel makhluk hidup yang tidak dapat
diproduksi sekalipun dengan mengerahkan seluruh kecerdasan, pengetahuan, dan
teknologi manusia berhasil terbentuk secara kebetulan dalam kondisi bumi purba.
Pada halaman-halaman selanjutnya, kita akan melihat bahwa pernyataan ini sangat
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan dan nalar.
Dongeng tentang “Sel yang Terbentuk Secara Kebetulan”
Jika seseorang yakin bahwa sel hidup dapat terbentuk secara kebetulan, maka
tidak ada yang dapat menghalanginya mempercayai dongeng seperti di bawah ini.
Dongeng mengenai sebuah kota kecil:
Pada suatu hari, segumpal tanah liat yang terjepit di antara bebatuan
daerah tandus menjadi basah karena hujan. Saat matahari terbit, tanah liat
basah ini mengering dan mengeras menjadi sebuah bentuk yang kokoh. Bebatuan
yang berperan sebagai cetakan, karena suatu hal kemudian hancur
berkeping-keping, dan muncullah batu bata berbentuk rapi, bagus, dan kuat.
Selama bertahun-tahun, batu bata ini menunggu batu bata serupa terbentuk dalam
kondisi alam yang sama. Peristiwa ini berlangsung terus hingga terbentuk
ratusan bahkan ribuan batu bata serupa di tempat itu. Dan secara kebetulan,
tidak ada satu pun dari batu bata yang lebih dulu terbentuk menjadi rusak.
Meskipun terkena badai, hujan, angin, terik matahari, dan dingin membekukan,
batu-batu bata tersebut tidak retak, remuk, atau terseret menjauh. Di tempat
yang sama dan dengan tekad yang sama, mereka menunggu batu bata lain terbentuk.
Ketika jumlah batu bata mencukupi, batu-batu bata ini membentuk sebuah
bangunan dengan menyusun diri ke samping dan saling bertumpuk akibat secara
acak digerakkan oleh kondisi alam seperti angin, badai dan tornado. Sementara
itu, bahan-bahan seperti semen atau campuran pasir terbentuk dalam “kondisi
alamiah” pada saat yang tepat dan merayap di antara batu-batu bata untuk
merekatkan mereka. Pada saat yang bersamaan, bijih besi di dalam bumi terbentuk
dalam “kondisi alamiah” dan bersama batu-batu bata membangun pondasi gedung.
Pada akhir proses, sebuah bangunan berdiri lengkap dengan semua bahan,
kusen-kusen serta instalasi kabel listrik.
Tentunya sebuah bangunan tidak hanya terdiri dari pondasi, batu bata dan
semen. Lalu bagaimana bahan-bahan lainnya diperoleh? Jawabannya sederhana:
semua jenis bahan yang dibutuhkan untuk mendirikan bangunan itu terkandung
dalam bumi di bawahnya. Silikon untuk kaca, tembaga untuk kabel listrik, besi
untuk kolom, tiang, pipa air dan lainnya, telah tersedia melimpah di dalam
bumi. Hanya diperlukan kepiawaian dari “kondisi alamiah” untuk membentuk dan
menempatkan bahan-bahan ini dalam bangunan. Seluruh instalasi kabel, kusen
dan aksesori diletakkan di antara batu-batu bata dengan bantuan hembusan angin,
hujan dan gempa bumi. Segalanya berjalan begitu lancar sehingga batu-batu bata
tersusun dengan menyediakan tempat untuk jendela, seolah-olah mereka tahu bahwa
sesuatu yang disebut kaca akan terbentuk kemudian oleh kondisi alamiah. Selain
itu, mereka juga tidak lupa menyediakan tempat untuk instalasi air, listrik dan
sistem pemanas, yang juga akan terbentuk secara ke-betulan. Semuanya berjalan
sangat baik sehingga “kebetulan” dan “kondisi alamiah” menghasilkan suatu wujud
desain yang sempurna.
Jika selama ini Anda berhasil mempertahankan kepercayaan pada cerita itu,
maka Anda tidak akan menemui kesulitan untuk menduga bagaimana bangunan lain,
pabrik, jalan raya, trotoar, sarana penunjang, sistem komunikasi dan
transportasi muncul. Jika Anda memiliki pengetahuan teknis dan ahli dalam
bidang ini, Anda bahkan dapat menulis beberapa jilid buku yang sangat “ilmiah”
untuk menyatakan teori Anda tentang “proses evolusi sistem pembuangan limbah dan
kemiripannya dengan struktur yang kita temui sekarang”. Anda mungkin akan dianugerahi
penghargaan akademis atas kajian cemerlang Anda. Anda pun boleh menganggap diri
Anda sebagai seorang jenius yang memberikan pencerahan bagi kemanusiaan.
Teori evolusi menyatakan bahwa kehidupan muncul secara kebetulan. Pernyataan
yang sama mustahilnya dengan cerita di atas. Sebuah sel tidak kurang
kompleksnya dari kota manapun yang memiliki seluruh sistem operasional, sistem
komunikasi, transportasi dan manajemennya.
Keajaiban dalam Sel dan Akhir Teori Evolusi
Di masa Darwin, struktur kompleks sel hidup belum diketahui. Saat itu,
anggapan bahwa “kebetulan dan kondisi alamiah” dapat menghasilkan kehidupan
dirasa cukup meyakinkan oleh evolusionis.
Teknologi abad ke-20 telah menguak partikel terkecil kehidupan dan
mengungkapkan bahwa sel merupakan sistem paling kompleks yang pernah ditemui
manusia. Sekarang kita tahu bahwa sel memiliki stasiun pembangkit energi,
pabrik-pabrik pembuat enzim dan hormon-hormon yang penting bagi kehidupan. Sel
juga memiliki bank data yang mencatat semua informasi penting tentang seluruh
produk yang harus dihasilkan, sistem transportasi yang kompleks dan pipa-pipa
penyalur bahan mentah dan bahan jadi dari satu tempat ke tempat lain. Di dalam sel
terdapat pula laboratorium dan tempat penyulingan canggih untuk menghancurkan
bahan mentah dari luar menjadi bahan-bahan berguna, dan protein membran sel
khusus untuk mengontrol keluar-masuknya materi. Dan semua ini hanya sebagian
kecil dari sistem yang sangat kompleks tersebut.
W. H. Thorpe, seorang ilmuwan evolusionis, mengakui bahwa “jenis sel yang
paling sederhana terdiri atas 'mekanisme' yang jauh lebih kompleks dari mesin
manapun yang mungkin baru terpikirkan dan belum lagi dibuat manusia.”1
Sebuah sel begitu kompleks, sehingga teknologi tercanggih manusia tidak
dapat membuatnya. Upaya pembuatan sel tiruan tidak pernah membuahkan hasil. Tentu saja, upaya seperti
ini telah ditinggalkan.
Teori evolusi menyatakan bahwa sistem ini — yang tidak dapat ditiru manusia
meski dengan mengerahkan segala kecerdasan, pengetahuan dan teknologinya —
muncul secara “kebetulan” dalam kondisi bumi purba. Sebagai contoh lain,
kemungkinan sel terbentuk secara kebetulan sama mustahilnya dengan kemungkinan
sebuah buku tercetak akibat ledakan kantor percetakan.
Seorang ahli astronomi dan matematika dari Inggris, Sir Fred Hoyle, membuat
perbandingan serupa dalam salah satu wawacaranya dalam majalah Nature edisi 12
November 1981. Meskipun seorang evolusionis, Hoyle menyatakan bahwa kemungkinan
makhluk hidup tingkat tinggi muncul secara kebetulan adalah sama dengan
kemungkinan sebuah Boeing 747 terakit dengan material dari tempat penampungan
barang rongsokan yang disapu tornado.2 Ini berarti bahwa sel tidak
mungkin muncul secara kebetulan, jadi sudah pasti sel itu “diciptakan”.
Satu alasan dasar mengapa teori evolusi tidak dapat menjelaskan kemunculan
sel adalah “kompleksitas tidak tersederhanakan” (irreducible complexity) dari
sel. Sebuah sel hidup menjaga kelangsungan dirinya atas kerjasama harmonis
dengan banyak organel. Jika ada satu organel saja yang tidak berfungsi, sel itu
tidak akan dapat bertahan hidup. Sel tidak mungkin berkembang dengan menunggu
suatu mekanisme “tanpa kesadaran” seperti seleksi alam atau mutasi. Jadi, sel
pertama di bumi haruslah sebuah sel utuh yang memiliki semua organel dan semua
fungsi yang diperlukan. Ini tentu berati bahwa sel adalah hasil penciptaan.
Protein Menggugat Teori Kebetulan
Jangankan tentang sel, evolusi bahkan gagal menerangkan materi pembentuknya.
Satu saja protein dari ribuan molekul protein kompleks pembangun sel, tidak
mungkin terbentuk dalam kondisi alamiah.
Protein adalah molekul raksasa yang terdiri dari satuan-satuan kecil yang
disebut “asam amino” yang tersusun dalam urutan tertentu, dengan jumlah dan
struktur tertentu. Molekul-molekul ini merupakan bahan pembangun sel hidup.
Protein yang paling sederhana terdiri dari 50 asam amino, tetapi ada beberapa
protein yang terdiri dari ribuan asam amino.
Hal yang terpenting adalah: ketidakhadiran, penambahan atau penggantian
satu saja asam amino pada sebuah struktur protein dapat menyebabkan protein
tersebut menjadi gumpalan molekul tak berguna. Setiap asam amino harus terletak
pada posisi yang tepat dan pada urutan yang benar. Teori evolusi yang
menyatakan bahwa kehidupan muncul secara kebetulan, tidak berdaya saat
dihadapkan pada keteraturan ini. Protein terlalu menakjubkan untuk dijelaskan
dengan teori kebetulan. (Bahkan teori ini tidak mampu menjelaskan pernyataan
“pembentukan secara kebetulan” asam amino, yang akan dibicarakan nanti.)
Fakta bahwa struktur fungsional sebuah protein tidak dapat muncul secara
kebetulan akan mudah diamati dengan perhitungan probabilitas sederhana yang
dapat dipahami semua orang.
Sebuah molekul protein berukuran rata-rata dibangun oleh 288 asam amino
yang terdiri dari 12 jenis asam amino. Protein ini dapat disusun dengan 10300
cara yang berbeda (ini adalah angka yang sangat besar, terdiri dari angka 1
yang diikuti 300 angka nol). Dari seluruh kemungkinan, ha-nya satu urutan yang
membentuk molekul protein yang diinginkan. Sisanya adalah rantai asam amino
yang sama sekali tidak berguna atau ber-potensi membahayakan makhluk hidup.
Dengan kata lain, probabilitas pembentukan satu molekul protein adalah “1
banding 10300”. Probabilitas dari “1” ini untuk terjadi adalah mustahil. (Dalam matematika,
probabilitas lebih kecil dari “1 banding 1050” dianggap sebagai “probabilitas
nol”). Selain itu, molekul protein dengan 288 asam amino lebih sederhana
dibandingkan molekul-molekul protein raksasa yang terdiri dari ribuan asam
amino. Bila kita melakukan per-hitungan probabilitas serupa pada
molekul-molekul protein raksasa terse-but, kita akan membutuhkan ungkapan yang
lebih dari sekadar "mustahil".
Bila kita melangkah lebih jauh dalam skema perkembangan kehidupan, kita
amati bahwa satu protein yang berdiri sendiri tidak akan memiliki arti apa pun.
Sebagai contoh, salah satu bakteri terkecil, Mycoplasma Hominis H39, terdiri
dari 600 “jenis” protein. Maka dalam kasus ini, kita harus mengulang
perhitungan probabilitas seperti di atas untuk setiap protein dari 600 jenis
yang berbeda ini. Hasilnya? Tidak akan terjelaskan bahkan dengan konsep
kemustahilan!
Sebagian orang yang sedang membaca tulisan ini dan menerima teori evolusi
sebagai penjelasan ilmiah, mungkin merasa curiga bahwa angka-angka ini terlalu
dibesar-besarkan dan tidak menggambarkan kenyataan. Tidak demikian. Ini adalah
kenyataan yang pasti dan konkret. Tidak ada evolusionis yang akan membantah
angka-angka ini. Mereka menerima bahwa probabilitas sebuah protein terbentuk
secara kebetulan adalah “sama dengan kemungkinan seekor monyet menulis sejarah
manusia dengan mesin tik tanpa membuat kesalahan sedikit pun”.3
Meski demikian, mereka bukannya menerima penjelasan lain, yaitu penciptaan,
tetapi justru terus mempertahankan kemustahilan tersebut.
Banyak evolusionis yang mengakui fakta ini. Contohnya Harold F. Blum,
seorang ilmuwan evolusionis terkenal, menyatakan bahwa “pembentukan secara
spontan polipeptida seukuran protein terkecil, sama sekali tidak mungkin
terjadi.”4
Evolusionis menyatakan bahwa evolusi molekuler terjadi dalam jangka waktu
yang sangat lama, dan waktu yang sangat lama ini membuat hal yang mustahil
dapat terjadi. Namun selama apa pun waktu diberikan, asam-asam amino tidak
mungkin membentuk protein secara kebetulan. William Stokes, pakar geologi
Amerika, mengakui kenyataan ini dalam bukunya Essentials of Earth History.
Menurutnya kemungkinan ini begitu kecil sehingga “protein tidak akan terbentuk
dalam miliaran tahun di miliaran planet, sekali-pun setiap planet diliputi
hamparan larutan pekat asam amino yang diperlukan.”5
Apa arti semua ini? Perry Reeves,
seorang profesor kimia menjawab:
Jika dihitung
banyaknya struktur yang bisa terbentuk dari kombinasi acak asam amino dalam
sebuah kolam purba yang menguap, kita akan meragukan kehidupan dapat muncul
seperti ini. Lebih beralasan jika tugas seperti ini dikerjakan Pencipta Yang
Agung yang memiliki rencana maha besar.6
Jika satu protein
saja mustahil terbentuk secara kebetulan, maka miliaran kali lebih mustahil
bila sejuta protein ini bergabung secara kebetulan dan membentuk sebuah sel
manusia lengkap. Lagipula, sebuah sel tidak sekadar tersusun dari timbunan
protein. Selain protein, sel juga mengandung asam nukleat, karbohidrat, lipid,
vitamin dan senyawa kimia lain seperti elektrolit. Secara struktur dan fungsi,
semuanya tersusun dalam proporsi, keserasian dan desain yang spesifik.
Robert Shapiro,
profesor kimia dan pakar DNA di Universitas New York, menghitung probabilitas
pembentukan secara kebetulan 200 jenis protein yang terdapat dalam satu sel
bakteri (terdapat 200.000 jenis protein dalam sebuah sel manusia). Angka yang
diperolehnya adalah 1 banding 1040000. (Suatu angka luar biasa yang diperoleh dengan
meletakkan 40.000 angka nol sesudah angka 1) 7
Chandra
Wickramasinghe, seorang profesor matematika dan astronomi dari University
College (Cardiff, Wales), berkomentar :
Kemungkinan
kehidupan terbentuk secara spontan dari benda mati adalah 1 banding sebuah
angka dengan 40.000 nol di belakangnya.... Angka ini cukup besar untuk mengubur
Darwin bersama seluruh teori evolusi. Di planet ini atau planet manapun tidak
ada “sup purba”, dan jika awal kehidupan tidak terjadi secara acak, maka awal
kehidupan itu pasti-lah pastilah dihasilkan suatu kecerdasan yang berkehendak.8
Tentang angka yang
tidak masuk akal ini, Sir Fred Hoyle berkomentar :
Sungguh, teori ini
(bahwa kehidupan dirancang oleh suatu 'kecerdasan') begitu jelas sehingga orang
akan bertanya-tanya mengapa ini tidak diterima secara luas sebagai kenyataan.
Alasannya lebih bersifat psikologis daripada ilmiah.9
Istilah “psikologis”
digunakan Hoyle untuk menggambarkan pengkondisian diri evolusionis untuk tidak
menerima bahwa kehidupan telah diciptakan. Mereka telah bersikeras bahwa
tujuan utama mereka adalah mengingkari keberadaan Allah. Untuk alasan ini saja,
mereka terus-menerus mempertahankan skenario tak masuk akal yang mereka akui
juga kemustahilannya.
Protein Asam Amino Levo
Mari kita amati dengan seksama mengapa skenario evolusionis ten-tang
pembentukan protein mustahil terjadi.
Rangkaian yang benar dari asam-asam amino yang tepat saja tidaklah cukup
untuk pembentukan molekul protein. Di
samping itu, keduapuluh jenis asam amino yang membentuk protein harus merupakan
asam amino Levo. Asam amino terdiri dari dua jenis yang berbeda, yaitu “levo” (kiri) dan
“dextro” (kanan). Perbedaan di antara keduanya adalah simetri cermin antara
struktur tiga dimensi mereka, yang serupa dengan simetri tangan kiri dan kanan
manusia.
Kedua jenis asam amino ini dapat saling terikat dengan mudah. Dari berbagai
penelitian terungkap sebuah fakta yang mengejutkan: semua protein hewan dan
tumbuhan, dari organisme paling sederhana hingga paling kompleks, terdiri dari
asam amino Levo. Jika ada satu saja asam amino Dextro yang terikat pada
struktur sebuah protein, maka protein tersebut menjadi tidak berfungsi. Yang
menarik adalah, dalam beberapa percobaan, bakteri yang diberi asam amino Dextro
segera menghancurkan asam-asam amino Dextro tersebut, dan dalam beberapa kasus,
bakteri membentuk asam amino Levo dari serpihan-serpihan komponen asam amino
Dextro sehingga dapat digunakan.
Mari sesaat kita
umpamakan bahwa kehidupan muncul secara kebetulan seperti yang dinyatakan
evolusionis. Dalam hal ini, asam amino Levo dan asam amino Dextro yang
terbentuk secara kebetulan seharusnya ada dalam jumlah seimbang di alam. Jadi
semua makhluk hidup seharusnya memiliki kedua jenis asam amino, Levo dan
Dextro, dalam tubuh mereka sebab kedua jenis asam amino ini dapat saling
bergabung secara kimiawi. Pada kenyataannya, protein yang terdapat pada semua
makhluk hidup terdiri dari asam-asam amino Levo saja.
Pertanyaan tentang
bagaimana protein dapat memilih asam amino Levo dari seluruh asam amino, dan
mengapa tidak ada satu pun asam amino Dextro terlibat dalam proses kehidupan,
masih menjadi tantangan bagi evolusionis. Mereka tidak memiliki penjelasan atas
pemilahan yang sangat “sadar” dan spesifik ini.
Karakteristik
protein ini membuat teori “kebetulan” evolusi yang sudah buntu menjadi semakin
membingungkan. Agar terbentuk sebuah protein yang berguna, asam-asam amino itu
tidak cukup hanya berada dalam jumlah tertentu, pada urutan tertentu, dan
bergabung dalam struktur tiga dimensi yang tepat. Asam-asam amino ini juga
harus terdiri dari asam amino Levo saja dan tidak boleh ada satu pun asam amino
Dextro. Akan tetapi, tidak ada mekanisme seleksi alam untuk mengidentifikasi
penambahan asam amino Dextro pada sebuah rantai dan membuangnya dari rantai
tersebut. Fakta ini kembali menghapus kemungkinan bahwa awal kehidupan terjadi
“secara kebetulan”.
Dalam Britannica
Science Encyclopaedia, pembela teori evolusi yang terang-terangan, dinyatakan
bahwa asam amino seluruh makhluk hidup di bumi dan molekul pembangun polimer
kompleks seperti protein memiliki asimetri Levo yang sama. Ditambahkan bahwa
ini sama artinya dengan melempar uang logam sejuta kali dan selalu mendapatkan
muka yang sama. Dinyatakan juga bahwa tidak mungkin kita dapat memahami
me-ngapa molekul menjadi bentuk Levo atau Dextro. Pilihan ini berhubungan dengan
sumber kehidupan di bumi secara mengagumkan.10
Jika sebuah uang logam yang dilempar sejuta kali selalu menghasilkan sisi
muka yang sama, mana yang lebih logis: ini merupakan suatu kebetulan, ataukah
ada campur tangan yang disengaja? Jawabannya sudah sangat jelas. Akan tetapi, tidak peduli
dengan kenyataan yang jelas ini, evolusionis berlindung dalam “teori kebetulan”
hanya karena mereka tidak mau menerima eksistensi “campur tangan yang
disengaja”.
Situasi yang serupa dengan asam amino Levo ini berlaku pula pada
nukleotida, unit terkecil dari DNA dan RNA. Bedanya, tidak seperti asam amino
pada makhluk hidup, hanya nukleotida berbentuk Dextro saja yang dipilih. Ini
adalah situasi lain yang tidak pernah dapat dijelaskan oleh teori 'kebetulan'.
Sebagai kesimpulan, melalui perhitungan probabilitas telah terbukti secara
mutlak bahwa sumber kehidupan tidak dapat dijelaskan dengan kebetulan. Jika
kita mencoba menghitung probabilitas sebuah protein berukuran rata-rata yang
terdiri dari 400 asam amino dan dipilih dari asam amino Levo saja, kita akan
mendapatkan probabilitas 1 banding 2400, atau 10120. Sekadar untuk pembanding,
ingatlah bahwa jumlah elektron di seluruh jagat raya diperkirakan 1079, angka
yang jauh lebih kecil. Perhitungan probabilitas asam-asam amino ini tersusun
dalam urutan yang sesuai dan dalam struktur yang fungsional akan menghasilkan
angka yang jauh lebih besar lagi. Jika kita menggabungkan
probabilitas-probabilitas ini dan kita perluas hingga pembentukan protein yang
lebih besar dan beragam, maka perhitungannya menjadi tak terbayangkan.
Ikatan yang Benar Sangat Penting
Uraian panjang di atas bahkan belum selesai menjelaskan kebuntuan teori
evolusi. Asam amino tidak cukup hanya dengan tersusun dalam jumlah, urutan dan
struktur tiga dimensi yang tepat. Pembentukan protein juga mengharuskan molekul-molekul
asam amino yang memiliki lebih dari satu lengan saling berikatan melalui cabang
tertentu saja. Ikatan seperti itu disebut “ikatan peptida”. Asam-asam amino
dapat saling berikatan dengan berbagai cara; tetapi protein hanya terdiri dari
asam-asam amino yang terikat dengan ikatan “peptida”.
Sebuah analogi akan memperjelas masalah ini. Anggaplah semua bagian mobil
telah lengkap dan dipasang pada posisi yang tepat, tetapi salah satu rodanya
tidak dipasang dengan mur dan baut melainkan dengan seutas kawat. Kawat ini
mengikat roda sedemikian rupa sehingga pusat roda menghadap ke tanah. Mustahil
mobil seperti ini bisa bergerak sekalipun hanya satu meter, tak peduli betapa
rumit teknologinya dan betapa kuat motornya. Sekilas semuanya tampak berada
pada tempat yang benar, tetapi kesalahan memasang satu roda saja mengakibatkan
keseluruhan mobil tersebut tidak berguna. Sama halnya pada molekul protein,
jika ada satu saja ikatan antar asam amino yang bukan ikatan peptida, maka
keseluruhan molekul itu tidak akan berguna.
Penelitian menunjukkan bahwa asam amino yang berikatan secara acak hanya
dapat menghasilkan ikatan peptida pada rasio 50% dan sisa-nya berikatan dengan
ikatan lain yang tidak terdapat pada protein. Agar berfungsi dengan baik,
setiap asam amino yang menyusun protein harus berikatan hanya dengan ikatan
peptida, sebagaimana asam amino tersebut harus dipilih dari yang berbentuk Levo
saja.
Probabilitas ini sama dengan probabilitas bahwa setiap protein adalah
berbentuk Levo. Misalnya jika sebuah protein terdiri dari 400 asam amino,
berarti probabilitas seluruh asam amino hanya berikatan dengan ikatan peptida
adalah 1 berbanding 2399.
Probabilitas Nol
Seperti dapat dilihat di bawah ini, probabilitas pembentukan sebuah molekul
protein yang terdiri dari 500 asam amino adalah “1” banding angka 1 yang
diikuti oleh 950 buah angka nol. Sebuah angka yang tidak dapat dipahami
pemikiran manusia. Ini hanya perhitungan teoretis di atas kertas. Dalam
kenyataan, probabilitas seperti itu berpeluang “0” untuk terjadi. Dalam
matematika, probabilitas yang lebih kecil dari 1 banding 1050, secara statistik
dianggap memiliki peluang “0” untuk terjadi. Probabilitas "1 banding
10950" jauh melampaui batas definisi ini.
Meskipun sudah sedemikian jauh kemustahilan pembentukan secara kebetulan
pada sebuah protein yang tersusun dari 500 asam amino, kita masih dapat terus
memaksa batas akal kita dengan kemustahilan yang lebih tinggi lagi. Molekul
“hemoglobin”, sebuah protein yang sangat vital, terdiri dari 574 asam amino —
lebih besar dibandingkan protein yang kita bahas di atas. Sekarang, pikirkan
ini: dalam satu sel darah merah dari miliaran yang ada dalam tubuh kita,
terdapat “280.000.000” (280 juta) molekul hemoglobin!
Perkiraan usia bumi tidak memberi cukup waktu bagi pembentukan secara
“coba-coba” untuk satu protein saja, apalagi satu sel darah merah. Bahkan jika
kita menganggap asam-asam amino telah bergabung dan terurai secara “coba-coba”
untuk membangun sebuah protein tanpa sedikit pun waktu terbuang sejak bumi
terbentuk, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengejar probabilitas 1 banding
10950 adalah lebih panjang daripada usia bumi.
Kesimpulan dari semua ini adalah: evolusi telah jatuh ke dalam jurang
kemustahilan sejak tahap pembentukan sebuah protein.
Adakah Mekanisme Coba-coba di Alam?
Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan yang sangat penting tentang logika
dasar perhitungan probabilitas, seperti dicontohkan tadi. Telah ditunjukkan
bahwa perhitungan-perhitungan probabilitas di atas mencapai batas astronomis
(jumlah yang sangat besar) dan probabilitas astronomis ini hampir mustahil
terjadi. Ini adalah aspek yang jauh lebih penting sekaligus membingungkan bagi
evolusionis. Dalam kondisi alamiah, probabilitas-probabilitas ini bahkan tidak
dapat dimulai sama sekali, karena di alam tidak ada mekanisme coba-coba untuk
menghasilkan protein.
Perhitungan di atas tentang probabilitas pembentukan sebuah molekul protein
yang terdiri dari 500 asam amino, hanya berlaku pada lingkungan coba-coba
ideal, yang tidak ada dalam kehidupan nyata. Artinya, probabilitas mendapatkan
sebuah protein yang berguna adalah “1” banding 10950, hanya jika kita
menganggap ada mekanisme imajiner di mana sebuah tangan gaib menyambungkan 500
asam amino secara acak, ketika rantai yang terbentuk itu salah, menguraikannya
lagi satu persatu dan menyusunnya dengan urutan yang berbeda untuk kedua
kalinya, dan begitu seterusnya.
Dalam setiap percobaan, asam-asam amino harus diuraikan satu per-satu dan
kemudian disusun kembali dengan urutan baru. Sintesis ini harus dihentikan
setelah asam amino ke-500 ditambahkan dan harus dipastikan tidak ada kelebihan
asam amino. Percobaan kemudian dihentikan untuk melihat apakah protein yang
diinginkan sudah terbentuk. Jika gagal, maka seluruhnya harus dibongkar dan
dicoba dengan urutan lain. Harus diingat, tidak boleh ada satu pun bahan
tambahan. Selain itu, penting bahwa selama percobaan, rantai yang terbentuk
tidak boleh putus atau rusak sebelum mencapai ikatan ke-499.
Kondisi ini berarti bahwa probabilitas yang kita bahas di atas hanya dapat
terjadi dalam lingkungan terkontrol. Dalam lingkungan terkontrol itu terdapat
mekanisme sadar yang mengatur permulaan, akhir dan setiap tahap proses, dan
hanya “seleksi asam amino” saja yang terjadi secara untung-untungan. Sudah
pasti, tidak mungkin ada lingkungan seperti ini dalam kondisi alamiah. Jadi
secara logis dan teknis, mustahil terjadi pem-bentukan protein dalam lingkungan
alamiah, terlepas dari aspek 'probabilitas'. Bahkan, membicarakan probabilitas
peristiwa seperti ini saja sudah sangat tidak ilmiah.
Sejumlah evolusionis yang 'kurang terpelajar' tidak mengerti hal ini.
Berdasarkan asumsi bahwa pembentukan sebuah protein hanyalah reaksi kimia
sederhana, mereka membuat kesimpulan yang menggelikan bahwa “asam-asam amino
bergabung melalui sebuah reaksi dan kemudian membentuk protein-protein”. Tetapi
reaksi kimia yang terjadi secara kebetulan dalam sebuah struktur anorganik
hanya dapat menghasilkan perubahan-perubahan sederhana dan primitif. Jumlahnya
pun tertentu dan terbatas. Untuk membuat senyawa kimia yang lebih kompleks,
diperlukan pabrik-pabrik besar, instalasi kimia dan laboratorium. Obat-obatan
dan berbagai bahan kimia yang kita gunakan sehari-hari termasuk dalam jenis
ini. Namun protein memiliki struktur yang jauh lebih kompleks daripada bahan
kimia yang diproduksi industri. Karenanya, protein — yang masing-masingnya
merupakan kehebatan desain dan rekayasa, dengan setiap bagiannya berada pada
posisi dan urutan yang tepat — mustahil bermula dari reaksi kimia acak.
Marilah untuk sesaat kita mengesampingkan segala kemustahilan yang kita
bahas barusan, dan anggaplah sebuah molekul protein yang berguna memang
berevolusi spontan secara “kebetulan”. Pada titik ini pun, evolusi lagi-lagi
tidak mempunyai jawaban, karena untuk mempertahankan keberadaannya, protein ini
harus terisolasi dari lingkungan alamiahnya dan terlindung dalam kondisi yang
sangat khusus. Jika tidak, protein ini akan terurai oleh kondisi alamiah bumi
atau bergabung dengan senyawa-senyawa asam, asam-asam amino ataupun senyawa
kimia lain, sehingga kehilangan sifat-sifatnya dan berubah menjadi senyawa yang
sama sekali berbeda dan tidak berguna.
Pertentangan
Evolusioner tentang Asal Usul Kehidupan
Pertanyaan
“bagaimana makhluk hidup pertama kali muncul” adalah kebuntuan yang kritis bagi
evolusionis, sehingga mereka biasanya meng-hindari masalah ini. Mereka mencoba
berkelit dengan mengatakan bahwa “makhluk-makhluk hidup pertama muncul sebagai
hasil dari kejadian acak di dalam air”. Mereka menghadapi rintangan yang tidak
bisa mereka tembus. Terlepas dari argumen evolusi paleontologis, dalam hal ini,
tidak ada fosil yang dapat didistorsi dan ditafsirkan sesuka hati untuk
mendukung pernyataan mereka. Karena itu, teori evolusi jelas-jelas telah
terbantah sejak awal.
Ada satu hal penting
yang harus diingat: jika satu tahap saja dari proses evolusi terbukti mustahil,
cukup untuk membuktikan kesalahan dan ketidakabsahan teori secara keseluruhan.
Contohnya, karena pembentukan protein secara coba-coba terbukti mustahil, maka
seluruh pernyataan mengenai tahap proses evolusi selanjutnya juga terbantah. Sampai di sini, spekulasi
atas tengkorak manusia dan kera menjadi tidak berarti.
Pertanyaan tentang
bagaimana organisme hidup dapat muncul dari materi anorganik sudah lama dihindari
para evolusionis. Akan tetapi, pertanyaan ini berkembang menjadi masalah yang
tidak bisa dielakkan. Dan mereka berusaha menjawab masalah ini dengan
serangkaian penelitian pada perempat kedua abad ke-20.
Pertanyaan utamanya
adalah: bagaimana sel hidup pertama dapat muncul di atmosfir bumi purba? Dengan
kata lain, penjelasan seperti apa yang akan dikemukakan evolusionis untuk
menjawab pertanyaan ini?
Jawabannya dicari
melalui berbagai eksperimen. Ilmuwan dan peneliti evolusionis melakukan
berbagai eksperimen laboratorium untuk menjawab pertanyaan ini tetapi tidak
menghasilkan apa pun yang menarik. Studi tentang awal kehidupan yang paling
dihargai adalah Eksperimen Miller yang dilakukan oleh peneliti Amerika bernama
Stanley Miller pada tahun 1953. (Eksperimen ini dikenal juga sebagai
“Eksperimen Urey-Miller” karena kontribusi Harold Urey, instruktur Miller dari
Universitas Chicago.)
Eksperimen ini
adalah satu-satunya “bukti” bagi “tesis evolusi molekuler” untuk menerangkan
tahap pertama periode evolusi. Meskipun sudah hampir setengah abad berlalu, dan
teknologi telah berkembang pesat, tak seorang pun berupaya lebih lanjut.
Eksperimen Miller tetap diajarkan dalam buku-buku sebagai penjelasan evolusi
generasi pertama makhluk hidup. Evolusionis sadar bahwa fakta yang dihasilkan
penelitian semacam ini tidak mendukung dan sebaliknya justru membantah
pernyataan mereka, karenanya mereka dengan sengaja menghindari eksperimen
serupa.
Eksperimen Miller
Tujuan Stanley
Miller adalah mengajukan penemuan eksperimental yang menunjukkan bahwa asam
amino, bahan pembangun protein, dapat muncul “secara kebetulan” di bumi yang
tidak berkehidupan miliaran tahun lalu.
Dalam eksperimennya,
Miller menggunakan campuran gas yang diasumsikan terdapat di bumi purba (yang
kelak terbukti tidak realistis) terdiri dari amonia, metan, hidrogen dan uap
air. Karena dalam kondisi alamiah gas-gas ini tidak saling bereaksi, Miller
memberikan stimulasi energi untuk memulai reaksi antara gas-gas tersebut.
Dengan menganggap energi ini bisa berasal dari kilat dalam atmosfir purba, ia
meng-gunakan sumber penghasil listrik buatan untuk menyediakan energi tersebut.
Miller mendidihkan
campuran gas ini pada suhu 100°C selama seminggu, dan sebagai tambahan dia
mengalirkan arus listrik. Di akhir minggu, Miller menganalisis senyawa-senyawa
kimia yang terbentuk di dasar gelas percobaan dan menemukan tiga dari 20 jenis
asam amino, bahan dasar protein telah tersintesis.
Eksperimen ini
membangkitkan semangat evolusionis dan dianggap sebagai sukses besar. Dalam
luapan kegembiraan, berbagai terbitan memasang tajuk utama seperti “Miller
menciptakan kehidupan”. Akan tetapi, molekul-molekul yang berhasil disintesis
Miller ternyata hanya beberapa molekul “tidak hidup”.
Didorong oleh
eksperimen ini, evolusionis segera membuat skenario baru. Hipotesis tahap
lanjutan tentang pembentukan protein segera dirumuskan. Menurut mereka,
asam-asam amino kemudian bergabung dalam urutan yang tepat secara kebetulan
untuk membentuk protein. Sebagian protein-protein yang terbentuk secara
kebetulan ini menempatkan diri mereka dalam struktur seperti membran yang
“entah bagaimana” muncul dan membentuk sel primitif. Sel-sel kemudian bergabung dan
membentuk organisme hidup. Akan tetapi, eksperimen Miller hanya akal-akalan dan
telah terbukti tidak benar dalam segala aspek.
Eksperimen Miller Hanya Akal-Akalan
Eksperimen Miller berusaha membuktikan bahwa asam amino dapat terbentuk
dengan sendirinya dalam kondisi bumi purba. Namun, eksperimen ini tidak
konsisten dalam sejumlah hal:
1. Dengan menggunakan mekanisme cold trap, Miller mengisolasi asam-asam
amino dari lingkungannya segera setelah mereka terbentuk. Jika dia tidak
melakukannya, kondisi lingkungan tempat asam amino terbentuk akan segera
menghancurkan molekul ini.
Tentu saja mekanisme isolasi yang disengaja seperti ini tidak ada dalam
kondisi bumi purba. Tanpa mekanisme seperti ini, kalaupun ada satu asam amino
terbentuk, ia akan segera hancur. Seorang ahli kimia, Richard Bliss,
mengungkapkan kontradiksi ini sebagai berikut: “Benar, tanpa cold trap, senyawa
kimia yang dihasilkan akan dihancurkan oleh aliran listrik.”11
Memang, dalam percobaan sebelumnya dengan bahan-bahan yang sama tetapi
tanpa mekanisme cold trap, Miller tidak dapat membentuk satu pun asam amino.
2. Lingkungan atmosfir purba yang disimulasikan Miller dalam eksperimennya
tidak realistis. Pada tahun 1980-an, para ilmuwan sepakat bahwa yang seharusnya
terdapat pada lingkungan artifisial tersebut adalah nitrogen dan karbon
dioksida, bukannya metan dan amonia. Setelah bungkam cukup lama, Miller sendiri
mengakui pula bahwa kondisi atmosfir dalam eksperimennya tidak realistis.12
Jadi mengapa Miller berkeras menggunakan gas-gas ini? Jawabannya sederhana: tanpa amonia, mustahil
mensintesis asam amino. Kevin McKean mengungkapkan hal ini dalam sebuah artikel
yang dimuat dalam majalah Discover:
Miller dan Urey meniru atmosfir bumi dahulu kala dengan campuran metan dan
amonia. Menurut mereka, bumi merupakan campuran homogen dari logam, batuan dan
es. Namun, dalam penelitian terakhir terungkap bahwa pada saat itu bumi sangat
panas dan terbentuk dari nikel dan besi cair. Jadi, atmosfir kimiawi saat itu
seharusnya didominasi nitrogen (N2), karbon dioksida (CO2) dan uap air (H20). Tetapi gas-gas ini bukan gas-gas yang tepat untuk
mensintesis senyawa organik, seperti metan dan amonia.13
Dua orang ilmuwan
Amerika, J.P. Ferris dan C.T. Chen, mengulang eksperimen Stanley Miller dengan
kondisi atmosfir terdiri dari karbon dioksida, hidrogen, nitrogen dan uap air.
Mereka tidak mampu menghasilkan satu pun molekul asam amino.14
3. Hal penting lain
yang mengugurkan eksperimen Miller adalah bahwa atmosfir bumi mengandung cukup
banyak oksigen untuk menghancurkan semua asam amino yang terbentuk. Fakta yang
diabaikan Miller ini terungkap dari sisa-sisa besi dan uranium yang teroksidasi
dalam batuan yang diperkirakan berumur 3,5 miliar tahun.15
Temuan-temuan lain
menunjukkan bahwa kandungan oksigen pada saat itu jauh lebih besar daripada
yang dinyatakan evolusionis. Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa pada
saat itu bumi teradiasi ultra-violet 10.000 kali lebih besar daripada perkiraan
evolusionis. Radiasi ultra-violet yang intens ini membebaskan oksigen dengan cara
menguraikan uap air dan karbon dioksida dalam atmosfir.
Situasi ini secara telak membantah eksperimen Miller yang sama sekali
mengabaikan oksigen. Jika oksigen digunakan dalam eksperimen tersebut, metan
akan terurai menjadi karbon dioksida dan air, dan amonia menjadi nitrogen dan
air. Selain itu, dalam lingkungan tanpa oksigen, juga tidak akan ada lapisan
ozon. Tanpa perlindungan lapisan ozon,
asam-asam amino akan segera hancur oleh sinar ultraviolet yang sangat intens.
Dapat dikatakan, dengan atau tanpa oksigen di bumi purba, hasilnya sama,
lingkungan yang sangat destruktif bagi asam amino.
4. Pada akhir eksperimen Miller, terbentuk banyak asam organik yang
bersifat merusak struktur dan fungsi makhluk hidup. Jika asam amino tidak
diisolasi dan tetap berada di dalam lingkungan yang sama dengan senyawa-senyawa
ini, reaksi kimia yang terjadi akan menghancurkan atau mengubah asam amino
menjadi senyawa lain.
Selain itu, di akhir eksperimen ini terbentuk sejumlah besar asam amino
Dextro.16 Keberadaan asam amino ini dengan sendirinya menyangkal
teori evolusi, karena asam amino Dextro tidak berfungsi dalam pembentukan sel
makhluk hidup. Kesimpulannya, kondisi-kondisi di mana asam amino terbentuk
dalam eksperimen Miller, tidak cocok bagi kehidupan. Kenyataannya, medium ini
merupakan campuran asam yang meng-hancurkan dan mengoksidasi molekul-molekul
berguna yang diperoleh.
Semua fakta ini menunjukkan satu hal yang jelas: eksperimen Miller tidak
dapat digunakan sebagai bukti bahwa makhluk hidup terbentuk secara kebetulan
dalam kondisi bumi purba. Keseluruhan eksperimen ini tidak lebih dari sebuah
eksperimen laboratorium yang terkontrol dan terarah untuk mensintesis asam
amino. Jumlah dan jenis gas dalam eksperimen ini secara ideal ditentukan agar
asam amino terbentuk. Jumlah energi yang disalurkan ke dalam sistem diatur dengan
tepat agar reaksi yang diperlukan terjadi. Peralatan eksperimen diisolasi
sehingga tidak terkontaminasi unsur-unsur lain yang berbahaya, destruktif, atau
menghalangi pembentukan asam amino. Padahal unsur-unsur seperti ini kemungkinan
besar ada dalam kondisi bumi purba. Unsur-unsur, mineral atau senyawa kimia
yang ada pada kondisi purba dan berkemungkinan mengubah reaksi tidak dimasukkan
dalam eksperimen. Oksigen yang men-cegah pembentukan asam amino dengan oksidasi
hanya salah satu dari unsur-unsur destruktif ini. Bahkan dalam kondisi
laboratorium ideal, mustahil asam amino yang terbentuk bertahan dan terhindar
dari kerusakan tanpa mekanisme cold trap.
Nyatanya, evolusionis sendiri menyangkal teori evolusi, karena yang
dibuktikan oleh eksperimen ini adalah: asam amino hanya dapat dihasilkan dalam
lingkungan laboratorium terkendali di mana semua kondisi dirancang khusus oleh
intervensi yang disengaja. Berarti, kekuatan yang dapat menghasilkan kehidupan
sudah pasti bukan peristiwa kebetulan, tetapi penciptaan yang disengaja.
Evolusionis tidak menerima bukti ini karena ketaatan buta mereka ke-pada
praduga yang benar-benar tidak ilmiah. Yang menarik, Harold Urey, yang
melakukan eksperimen ini bersama mahasiswanya Stanley Miller, membuat pengakuan
sebagai berikut:
Kami semua yang mempelajari asal usul kehidupan mendapati bahwa semakin
kami mengamati, semakin kami merasa bahwa kehidupan terlalu kompleks untuk
berevolusi dari mana pun. Kami semua percaya, sebagai suatu ketaatan, bahwa
kehidupan berevolusi dari benda mati di bumi ini. Hanya saja kompleksitasnya
begitu besar, sehingga sulit bagi kami membayangkan evolusi kehidupan.17
Atmosfir Bumi Purba dan Protein
Dengan mengabaikan semua ketidakkonsistenan di atas, evolusionis masih
merujuk pada eksperimen Miller untuk menghindari pertanyaan bagaimana asam
amino terbentuk dengan sendirinya dalam atmosfir bumi purba. Hingga kini,
mereka terus menipu orang dengan berpura-pura bahwa masalahnya telah
terpecahkan dengan eksperimen keliru ini.
Namun, untuk menjelaskan tahap kedua asal usul kehidupan, evolusionis
menemukan masalah yang jauh lebih besar dari pembentukan asam-asam amino, yaitu
“protein”. Protein merupakan bahan pembangun kehidupan yang tersusun dari
ratusan asam amino berbeda yang bergabung dalam tatanan tertentu.
Pernyataan bahwa protein terbentuk secara spontan dalam kondisi alamiah
lebih tidak realistis dan tidak beralasan dibandingkan dengan pernyataan bahwa
asam amino terbentuk secara kebetulan. Pada bahasan sebelumnya, dengan
perhitungan probabilitas, telah dibuktikan kemustahilan asam amino bergabung
secara acak dalam urutan tertentu untuk membentuk sebuah protein. Sekarang kita
akan melihat kemustahilan protein dihasilkan secara kimiawi dalam kondisi bumi
purba.
Sintesis Protein Tidak Mungkin Terjadi di dalam Air
Asam amino berikatan melalui “ikatan peptida” untuk membentuk protein.
Dalam pembentukan ikatan ini satu molekul air dilepaskan.
Fakta ini menyanggah penjelasan evolusionis bahwa kehidupan purba berawal
di air. Menurut “Prinsip Le Châtelier” dalam kimia, suatu reaksi yang
melepaskan air (reaksi kondensasi) tidak mungkin terjadi dalam lingkungan
berair (hidrat). Reaksi seperti ini dalam lingkungan berair di-katakan
“memiliki probabilitas paling kecil untuk terjadi dibandingkan reaksi-reaksi
kimia lain.
Oleh karena itu, lautan yang dinyatakan sebagai tempat kehidupan berawal
dan asam-asam amino dihasilkan, bukan lingkungan yang tepat bagi asam amino
untuk membentuk protein. Di lain pihak, akan menjadi irasional bila evolusionis
mengubah pikiran dan menyatakan bahwa kehidupan berawal di darat, karena
satu-satunya lingkungan agar asam amino terlindung dari ultraviolet adalah
lautan. Di
darat, asam amino akan hancur oleh sinar ultraviolet. Prinsip Le Châtelier
membantah pernyataan bahwa kehidupan terbentuk di lautan. Satu lagi dilema bagi
teori evolusi.
Usaha Nekat Lainnya: Eksperimen Fox
Tertantang oleh dilema di atas, evolusionis mulai membuat skenario yang
tidak realistis mengenai “masalah air” yang mutlak meruntuhkan teori mereka. Sydney
Fox adalah salah satu ilmuwan terkemuka yang membuat skenario untuk menjawab
masalah ini. Menurutnya, asam amino pertama mestilah terbawa ke karang dekat
gunung berapi segera setelah terbentuk di dalam laut purba. Air dalam campuran
ini pasti telah menguap karena suhu lingkungan mulut kawah meningkat melebihi
suhu didih. Selanjutnya, asam-asam amino “kering” ini dapat membentuk protein.
Akan tetapi, penjelasan “rumit” ini tidak disetujui banyak orang karena
asam amino tidak dapat bertahan pada suhu setinggi itu. Penelitian telah
memastikan bahwa asam amino akan segera hancur pada suhu tinggi.
Fox tidak menyerah begitu saja. Ia menggabungkan asam amino murni di
laboratorium “dalam kondisi sangat khusus” dengan cara memanaskannya dalam
lingkungan kering. Asam amino memang bergabung, tetapi tidak menghasilkan
protein. Yang diperolehnya adalah rantai-rantai asam amino sederhana dan tidak
teratur yang tersusun secara acak, dan rantai-rantai ini sama sekali tidak
menyerupai protein hidup. Bahkan jika Fox menyimpan asam amino ini pada suhu
yang stabil, rantai-rantai tidak berguna ini akan terurai.18 Eksperimen ini juga tidak absah
karena asam amino yang digunakan Fox bukan asam amino produk eksperimen Miller,
tetapi asam amino murni dari organisme hidup. Padahal eksperimen ini
dimaksudkan sebagai lanjutan dari eksperimen Miller, maka seharusnya
menggunakan hasil yang telah didapatkan Miller. Namun, baik Fox maupun peneliti
lain tidak menggunakannya.19
Eksperimen Fox tidak ditanggapi positif bahkan oleh kalangan evolusionis
sendiri, sebab jelas rantai asam amino atau proteinoid yang didapatkannya tidak
mungkin terbentuk dalam kondisi alamiah. Selain itu, protein sebagai unit dasar
kehidupan, tetap tidak dapat diproduksi. Masalah asal mula protein ini tetap
tak terjawab. Sebuah artikel dalam majalah ilmu pengetahuan populer tahun
1970-an, Chemical Engineering News, mengomentari eksperimen Fox sebagai
berikut:
Sydney Fox dan peneliti lain berhasil menggabungkan asam amino dalam bentuk
“proteinoid” dengan menggunakan teknik pemanasan khusus dalam kondisi yang
tidak ada sama sekali pada zaman bumi purba. Hasilnya pun tidak sama dengan
protein biasa pada makhluk hidup. Proteinoid hanyalah rangkaian tak beraturan
yang tidak berguna. Terungkap bahwa walaupun molekul-molekul seperti ini dapat
terbentuk pada masa-masa awal, mereka sudah pasti akan hancur.20
Proteinoid yang didapatkan Fox memang sama sekali berbeda dari protein
sesungguhnya, dalam struktur maupun fungsi. Perbedaan antara protein dan
“proteinoid” sama besarnya dengan perbedaan antara alat berteknologi tinggi dan
setumpuk bahan mentah yang belum diproses.
Lagi pula, rantai asam amino tak beraturan ini tidak memiliki kesempatan
untuk bertahan dalam atmosfir purba. Efek fisika serta kimia yang desktruktif
dan berbahaya karena sinar ultraviolet yang kuat dan kondisi alam yang tidak
stabil akan menguraikan proteinoid. Karena prinsip Le Châtelier, tidak mungkin
asam amino bergabung membentuk protein di dalam air, tempat yang tidak
terjangkau sinar ultraviolet. Dengan pertimbangan ini, akhirnya banyak ilmuwan
menarik dukungan mereka terhadap gagasan tentang proteinoid sebagai dasar
kehidupan.
Molekul Menakjubkan: DNA
Pengujian kita pada tingkat molekuler sejauh ini telah menunjukkan bahwa
pembentukan asam-asam amino masih menjadi masalah bagi evolusionis. Pembentukan
protein pun merupakan misteri tersendiri. Tetapi masalah pada teori evolusi ini
tidak terbatas pada asam amino dan protein saja, keduanya hanya permulaan.
Lebih jauh lagi, struktur sel yang sem-purna membawa evolusionis kepada
kebuntuan, karena sel bukan hanya setumpuk protein yang terbentuk dari asam
amino. Sel merupakan mekanisme hidup dengan ratusan sistem yang telah
berkembang. Sel ini begitu rumit, sehingga manusia tidak dapat mengungkap misterinya.
Jangankan pembentukan sistem yang kompleks, pembentukan unit terkecil dari sel
pun tidak dapat diterangkan oleh evolusionis
Sementara teori evolusi tidak dapat memberikan penjelasan logis atas
keberadaan molekul-molekul dasar struktur sel, perkembangan di bidang genetika
dan penemuan asam nukleat (DNA dan RNA) telah menghasilkan masalah baru bagi
teori evolusi. Pada tahun 1955, penelitian James Watson dan Francis Crick
terhadap DNA membawa era baru dalam biologi. Banyak ilmuwan mengalihkan perhatian
mereka pada ilmu genetika. Sekarang, setelah penelitian bertahun-tahun,
struktur DNA terungkap hingga taraf yang sangat jauh.
Molekul yang disebut DNA, yang ditemukan dalam nukleus pada setiap sel dari
100 trilyun sel di dalam tubuh kita, mengandung rancang bangun lengkap untuk
tubuh manusia. Informasi mengenai seluruh ciri-ciri seseorang, dari penampilan
fisik hingga struktur organ dalam, tercatat dalam DNA dengan sistem pengkodean
khusus. Informasi dalam DNA dikode dalam urutan empat basa khusus yang membangun
molekul ini. Basa ini dinamakan A, T, G, C sesuai dengan huruf awal nama
mereka. Seluruh perbedaan struktural antara manusia tergantung pada variasi
urutan huruf-huruf ini: semacam bank data yang terdiri dari empat huruf.
Urutan huruf dalam DNA menentukan struktur tubuh manusia hingga bagian
terkecil. Selain ciri seperti tinggi, mata, rambut dan warna kulit, DNA dalam
sebuah sel mengandung informasi desain dari 206 tulang, 600 otot, jaringan
10.000 otot pendengaran, jaringan 2 juta saraf penglihatan, 100 milyar sel
saraf, 130 milyar meter pembuluh darah dan 100 trilyun sel di dalam tubuh. Jika
kita menuliskan informasi yang dikode dalam DNA, sama artinya dengan menyusun
sebuah perpustakaan raksasa yang terdiri dari 900 volume ensiklopedia yang masing-masing
setebal 500 halaman. Informasi yang sangat banyak ini dikode dalam komponen DNA
yang disebut “gen”.
Dapatkah DNA
Muncul Secara Kebetulan?
Sampai di sini ada
detail penting yang harus diperhatikan. Kesalahan pada urutan nukleotida yang
menyusun se-buah gen akan membuat gen tersebut sama sekali tidak ber-fungsi.
Dengan mempertimbangkan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat 200 ribu gen,
akan semakin jelas betapa mustahilnya jutaan nukleotida yang membentuk gen-gen
ini tersusun secara kebetulan dalam urutan yang tepat. Seorang ahli biologi
evolusionis, Frank Salisbury, berkomentar tentang kemustahilan ini:
Sebuah protein
berukuran sedang dapat terdiri dari sekitar 300 asam amino. Gen DNA yang
mengatur protein ini bisa memiliki 1.000 nukleotida pada rantainya. Karena ada
empat jenis nukleotida dalam sebuah rantai DNA, satu rantai dengan 1.000
nukleotida dapat tersusun dalam 41000 bentuk. Dengan menggunakan sedikit ilmu
aljabar (logaritma), kita dapat melihat bahwa 41000 = 10600. Sepuluh dikali
sepuluh sebanyak 600 kali menghasilkan angka 1 yang diikuti 600 angka nol!
Suatu angka di luar kemampuan pemahaman kita.21
Angka 41000 ekivalen dengan 10600. Angka ini didapatkan dengan menambahkan
600 angka nol sesudah angka 1. Angka 10 yang diikuti 11 angka nol berarti satu
triliun. Tetapi sebuah angka dengan 600 angka nol sesudahnya, sulit kita
bayangkan. Kemustahilan pembentukan RNA dan DNA oleh akumulasi nukleotida
secara kebetulan diungkapkan seorang ilmuwan Prancis, Paul Auger, sebagai
berikut :
Kita harus memisahkan dengan jelas dua tahap dalam pembentukan secara
untung-untungan molekul kompleks seperti nukleotida melalui peristiwa kimiawi.
Produksi nukleotida satu persatu — yang mungkin saja terjadi — dan penggabungan
nukleotida-nukleotida ini dalam urutan sangat unik. Yang kedua sama sekali
tidak mungkin.22
Bahkan Francis Crick, yang bertahun-tahun mempercayai teori evolusi
molekuler, setelah menemukan DNA mengakui bahwa molekul sekompleks ini tidak
mungkin terbentuk secara kebetulan, sebagai hasil dari proses evolusi:
Seorang jujur yang dibekali ilmu pengetahuan masa kini, hanya dapat
menyatakan bahwa asal usul kehidupan hampir seperti suatu keajaiban.23
Seorang evolusionis Turki, Prof. Ali Demirsoy, terpaksa membuat pengakuan
mengenai hal ini sebagai berikut :
Kenyataannya, probabilitas pembentukan protein dan asam nukleat (DNA-RNA)
adalah probabilitas yang jauh melampaui perkiraan. Lebih jauh, peluang rantai
protein tertentu muncul menjadi luar biasa kecil.24
Sebuah dilema menarik muncul pada tahap ini: sementara DNA hanya dapat
bereplikasi dengan bantuan beberapa enzim yang merupakan protein pula, sintesis
enzim ini hanya dapat berlangsung dengan informasi yang dikode dalam DNA.
Karena saling membutuhkan, keduanya harus ada secara bersamaan untuk replikasi,
atau salah satunya “tercipta” sebelum yang lain. Seorang ahli mikrobiologi
Amerika, Jacobson, berkomentar mengenai hal ini:
Arahan untuk rencana-rencana reproduksi untuk energi dan ekstraksi materi
dari lingkungannya, untuk urutan pertumbuhan, dan untuk mekanisme efektor yang
menerjemahkan perintah ke dalam pertumbuhan — semua harus ada sekaligus pada
saat itu (ketika kehidupan dimulai). Kombinasi semua ini sepertinya tidak
mungkin terjadi secara kebetulan, dan sering dianggap campur tangan ilahiah.25
Kutipan di atas ditulis dua tahun sesudah struktur DNA diungkapkan James
Watson dan Francis Crick. Meskipun ilmu pengetahuan telah maju cukup pesat, pertanyaan
tersebut tetap belum terjawab oleh evolusionis. Dua ilmuwan Jerman, Junker dan
Scherer, menjelaskan bahwa sintesis masing-masing molekul yang diperlukan untuk
evolusi kimiawi, mengharuskan kondisi-kondisi tertentu, dan bahwa probabilitas
bahan-bahan tersebut tersusun melalui metode yang secara teoretis sangat
berbeda adalah nol:
Sampai saat ini, tidak ada eksperimen yang dapat menghasilkan seluruh
molekul yang dibutuhkan untuk evolusi kimiawi. Karenanya, berbagai molekul ini
harus dihasilkan di tem-pat-tempat berbeda pada kondisi sangat sesuai, kemudian
di-bawa ke tempat lain untuk bereaksi dengan melindunginya dari elemen-elemen
berbahaya seperti hidrolisis dan fotolisis.26
Pendeknya, teori evolusi tidak dapat membuktikan satu tahap evolusi pun yang
diduga terjadi pada tingkat molekuler. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak
menyediakan jawaban untuk pertanyaan semacam ini, tetapi justru membuatnya
menjadi lebih kompleks dan sulit dijawab.
Cukup menarik bahwa evolusionis mempercayai seluruh skenario yang mustahil
ini seperti mempercayai fakta ilmiah. Karena mereka telah dikondisikan untuk
tidak mengakui penciptaan, mereka tidak memiliki pilihan selain mempercayai
kemustahilan. Seorang ahli biologi terkenal dari Australia, Michael Denton,
mengungkapkan hal ini dalam bukunya Evolution: A Theory in Crisis:
Program genetis organisme tingkat tinggi hampir sama dengan ribuan juta bit
informasi. Ini ekivalen dengan urutan huruf dalam seribu volume buku yang
memuat beribu-ribu algoritma rumit dalam bentuk kode yang mengendalikan,
menentukan dan mengatur pertumbuhan dan perkembangan bermiliar-miliar sel
organisme kompleks. Pernyataan orang-orang skeptis bahwa semua ini murni
dihasilkan oleh sebuah proses acak, benar-benar melecehkan akal manusia. Akan
tetapi, gagasan tersebut diterima Darwinis tanpa sedikit pun keraguan —
paradigma ini justru diutamakan! 27
Usaha Lain Evolusionis yang Sia-Sia: “Dunia RNA”
Penemuan pada tahun 1970-an bahwa gas-gas di dalam atmosfir primitif tidak
memungkinkan sintesis asam amino, adalah pukulan berat bagi teori evolusi
molekuler. Kemudian diakui bahwa “eksperimen atmosfir primitif” oleh
evolusionis seperti Miller, Fox dan Ponnamperuma, tidak absah. Untuk itu, pada
tahun 1980-an evolusionis mencoba meneruskan usahanya. Hasilnya adalah sebuah
skenario yang dinamai “Dunia RNA” yang menyatakan bahwa molekul pertama
terbentuk bukan protein, melainkan RNA yang mengandung informasi tentang
protein.
Skenario ini diusulkan tahun 1986 oleh Walter Gilbert, seorang ahli kimia
dari Harvard. Menurutnya, miliaran tahun lalu sebuah molekul RNA yang dapat
melakukan replikasi terbentuk secara kebetulan. Diaktifkan oleh pengaruh
lingkungan, RNA ini dapat memproduksi protein. Selanjutnya, diperlukan molekul
kedua untuk menyimpan informasi tersebut, maka dengan suatu cara terbentuklah
molekul DNA.
Skenario yang sukar dibayangkan ini, yang tersusun dari rangkaian
kemustahilan pada setiap tahapnya, tidak memberikan jawaban, justru memperbesar
masalah dan menimbulkan banyak pertanyaan tentang asal usul kehidupan yang
terlalu rumit untuk dijawab:
1. Jika pembentukan secara kebetulan satu nukleotida yang membangun RNA
mustahil diterangkan, bagaimana mungkin nukleotida rekaan ini membentuk RNA
dengan saling bergabung dalam urutan yang benar? John Horgan, ahli biologi
evolusionis, mengakui kemustahilan ini sebagai berikut :
Semakin konsep dunia RNA dikaji oleh para peneliti, semakin banyak masalah
muncul. Bagimana RNA muncul pertama kali? Dalam kondisi terbaik sekali-pun, RNA
dan komponennya sangat sulit disintesis di laboratorium, apalagi dalam kondisi
seadanya. 28
2. Bahkan jika kita menganggap RNA terbentuk secara kebetulan, bagaimana
mungkin RNA yang hanya terdiri dari rantai nukleotida ini “memutuskan” untuk
mereplikasi diri, dan mekanisme apa yang digunakannya untuk proses itu? Dari
mana RNA mendapatkan nukleotida untuk replikasinya? Bahkan, ahli mikrobiologi
evolusionis, Gerald Joyce dan Leslie Orgel mengungkapkan keputusasaan mereka
dalam bukunya yang berjudul “In the RNA World”.
Diskusi ini..., dalam suatu artian, telah berfokus pada sebentuk mitos
tentang molekul RNA yang bereplikasi diri dan muncul dari sup polinukleotida
acak secara mendadak. Hal ini bukan saja tidak realistis dalam pengertian kita
saat ini tentang kimia prebiotik, bahkan seharusnya menyaring kepercayaan yang
terlalu mudah dari pandangan optimis tentang potensi katalitis RNA.”29
3. Bahkan jika kita menganggap bahwa di bumi purba, RNA dapat mereplikasi
diri, seluruh asam amino siap pakai tersedia dan semua yang mustahil ini
terjadi, situasi ini tidak berakhir dengan pembentukan satu molekul protein
pun. Hal ini karena RNA hanya mengandung informasi mengenai struktur protein,
sedangkan asam amino hanya bahan mentah. Lagipula, tidak ada mekanisme untuk
memproduksi protein. Anggapan bahwa kehadiran RNA sudah cukup untuk produksi
protein adalah sama mustahilnya dengan mengharapkan sebuah mobil dapat terakit
sendiri hanya dengan melemparkan secarik kertas yang berisi rancangannya ke
atas tumpukan onderdil mobil. Dalam kasus ini, juga tidak ada produksi karena
tidak ada pabrik atau pekerja yang terlibat dalam proses.
Protein diproduksi oleh ribosom dengan bantuan berbagai enzim, dan
merupakan hasil proses-proses yang sangat kompleks di dalam sel. Ribosom
sendiri adalah organel sel yang kompleks dan terbuat dari protein. Jadi,
situasi ini juga menimbulkan asumsi tidak masuk akal bahwa ribosom pun muncul secara
kebetulan pada saat yang sama. Bahkan pemenang Hadiah Nobel, Jacques Monod,
seorang pembela teori evolusi yang fanatik, menjelaskan bahwa sintesis protein
tidak bisa dianggap proses remeh yang hanya bergantung pada informasi dalam
asam nukleat:
Kode DNA tidak berarti jika tidak diterjemahkan. Perangkat penerjemah
modern sel-sel ini terdiri dari paling sedikit 50 komponen makromolekuler yang
juga dikode dalam DNA: kode-kode ini tidak dapat diterjemahkan kecuali oleh
hasil penerjemahannya sendiri. Ini sesuai dengan ungkapan omne vivum ex ovo
(ayam atau telur yang lebih dulu). Kapan dan bagaimana lingkaran ini berujung?
Suatu hal yang sangat sulit dibayangkan.30
Bagaimana sebuah rantai RNA di bumi purba dapat mengambil keputusan seperti
itu? Dan bagaimana ia merealisasikan produksi protein dengan melakukan sendiri
pekerjaan 50 partikel terspesialisasi? Evolusionis tidak bisa menjawab
pertanyaan ini.
Dr. Leslie Orgel, seorang rekanan Stanley Miller dan Francis Crick dari
Universitas San Diego California, menggunakan istilah “skenario” untuk
kemungkinan “asal usul kehidupan melalui dunia RNA”. Orgel menggambarkan
sifat-sifat yang harus dimiliki RNA berikut kemustahilannya dalam artikelnya
“The Origin of Life” yang dimuat dalam American Scientist pada bulan Oktober
1994 :
Jika kita amati, skenario ini mungkin saja terjadi jika RNA prebiotik
memiliki dua sifat yang tidak dimilikinya sekarang: kemampuan untuk bereplikasi
tanpa bantuan protein dan kemampuan untuk mengkatalisasi setiap tahap sintesis
protein. 31
Jelaslah, mengasumsikan bahwa kedua kemampuan yang sangat kompleks dan
penting di atas dimiliki molekul seperti RNA hanya daya imajinasi dan pandangan
seorang evolusionis. Di lain pihak, fakta-fakta ilmiah konkret menunjukkan
secara eksplisit bahwa tesis “Dunia RNA”, yang diajukan sebagai model baru
pembentukan kehidupan, juga merupakan dongeng yang tidak masuk akal.
Kehidupan, Konsep yang Lebih dari Sekadar Tumpukan Molekul
Marilah sejenak kita lupakan seluruh kemustahilan dan menganggap bahwa
molekul protein terbentuk dalam lingkungan yang paling tidak tepat, tidak
beraturan, seperti kondisi bumi purba. Pembentukan satu protein saja tidak akan
cukup. Protein ini harus sabar menunggu selama ribuan bahkan jutaan tahun dalam
lingkungan yang tidak beraturan tanpa mengalami kerusakan, sampai protein lain
terbentuk secara kebetulan di dekatnya dalam kondisi yang sama. Protein
tersebut harus menunggu hingga jutaan protein yang tepat terbentuk di
sekitarnya dalam kondisi lingkungan yang sama, seluruhnya "secara kebetulan".
Protein-protein yang terbentuk lebih dulu harus cukup sabar menunggu tanpa
dirusak sinar ultraviolet dan efek-efek mekanis yang keras sampai protein lain
muncul di dekat mereka. Kemudian protein-protein ini dalam jumlah memadai, yang
semuanya muncul pada tempat yang sama, akan bergabung menghasilkan kombinasi
fungsional dan membentuk organel-organel sel. Tidak ada senyawa berlebih,
molekul berbahaya atau rantai protein tak berguna yang mengganggu mereka.
Kemudian, bahkan bila organel-organel tersebut bergabung secara harmonis dan
sesuai dengan rancangan dan urutannya, mereka harus dilengkapi enzim-enzim
penting dan menutup diri dengan sebuah membran. Ruangan dalam membran harus
diisi dengan cairan istimewa untuk menyediakan lingkungan ideal bagi organel-organel
tersebut. Sekarang, sekalipun semua kejadian “yang sangat tidak mungkin” ini
secara kebetulan benar-benar terjadi, apakah tumpukan molekul ini akan hidup?
Jawabannya adalah “tidak”, karena penelitian telah mengungkapkan bahwa
kombinasi seluruh bahan penting bagi kehidupan saja tidak cukup untuk memulai
suatu kehidupan. Bahkan bila seluruh protein pen-ting bagi kehidupan
dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, usaha ini tidak akan
menghasilkan satu pun sel hidup. Seluruh eksperimen mengenai hal ini telah
terbukti tidak berhasil. Seluruh observasi dan eksperimen menunjukkan bahwa
kehidupan hanya muncul dari kehidupan. Pernyataan bahwa kehidupan berevolusi
dari benda mati atau “abiogenesis” adalah kisah yang hanya ada dalam mimpi evolusionis,
dan sama sekali berbeda dengan setiap hasil eksperimen dan observasi.
Dalam hal ini, kehidupan pertama di bumi ini harus berasal dari kehidupan
lain. Ini merupakan refleksi asma Allah yaitu “Al Hayyun” (Pemilik Kehidupan).
Kehidupan dapat dimulai, berlanjut dan berakhir hanya dengan kehendak-Nya.
Sedangkan evolusi, selain tidak mampu menjelaskan bagaimana kehidupan dimulai,
juga bagaimana bahan-bahan penting bagi kehidupan dapat terbentuk dan bersatu.
Chandra Wickramasinghe menggambarkan realitas yang dihadapinya sebagai
ilmuwan yang seumur hidup diajari bahwa kehidupan muncul dari
peristiwa-peristiwa kebetulan:
Sejak masa pendidikan untuk menjadi seorang ilmuwan, otak saya benar-benar
dicuci agar percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak sesuai dengan pen-ciptaan yang
'disengaja'. Pemikiran tentang penciptaan ini harus disingkirkan dengan cara
yang menyakitkan. Pada saat ini, saya tidak dapat menemukan argumentasi
rasional untuk mengalahkan ajakan mempercayai Tuhan. Kami biasanya memiliki
pikiran terbuka; dan sekarang, kami sadar bahwa satu-satunya jawaban logis atas
kehidupan ini adalah penciptaan—bukan proses acak dan kebetulan. 32
Footnotes:
1)W. R. Bird, The Origin of Species Revisited.,
Nashville: Thomas Nelson Co., 1991, hlm. 298-299.
2)"Hoyle on Evolution", Nature, Vol 294,
November 12, 1981, hlm. 105.
3)Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Inheritance and
Evolution), Ankara: Meteksan Publishing Co., 1984, hlm. 64.
4)W.R. Bird, The Origin of Species Revisited.
Nashville: Thomas Nelson Co., 1991, hlm. 304
5)Ibid, hlm. 305
6)J. D. Thomas, Evolution and Faith. Abilene, TX, ACU
Press, 1988. hlm. 81-82.
7)Robert Shapiro, Origins: A Sceptis Guide to the
Creation of Life on Earth, New York, Summit Books, 1986. hlm. 127
8)Fred Hoyle, Chandra Wickramasinghe, Evolution from
Space, New York, Simon & Schuster, 1984, hlm. 148.
9)Ibid, hlm. 130.
10)Fabbri Britannica Bilim Ansiklopedisi (Fabbri
Britannica Science Encyclopaedia), Vol 2, No. 22, hlm. 519.
11)Richard B. Bliss & Gary E. Parker, Origin of
Life, California: 1979, hlm. 14.
12)Stanley Miller, Molecular Evolution of Life:
Current Status of the Prebiotic Synthesis of Small Molecules, 1986, hlm. 7
13)Kevin Mc Kean, Bilim
ve Teknik, No. 189, hlm. 7.
14)J. P. Ferris, C. T. Chen, "Photochemistry of Methane,
Nitrogen, and Water Mixture As a Model for the Atmosphere of the
Primitive Earth", Journal of American Chemical Society, Vol. 97:11, 1975,
hlm. 2964.
15)"New Evidence on Evolution of Early Atmosphere
and Life", Buletin American Meteorological Society, Vol. 63, November
1982, hlm. 1328-1330.
16)Richard B. Bliss & Gary E. Parker, Origin of
Life, California, 1979, hlm. 25.
17)W. R. Bird, The Origin of Species Revisited,
Nashville: Thomas Nelson Co., 1991, hlm. 325.
18)Richard B. Bliss & Gary E. Parker, Origin of
Life, California: 1979, hlm. 25.
19)Ibid.
20)S. W. Fox, K. Harada, G. Kramptiz, G. Mueller,
"Chemical Origin of Cells", Chemical Engineering News, 22 Juni 1970,
hlm. 80.
21)Frank B. Salisbury, "Doubts about the Modern
Synthetic Theory of Evolution", American Biology Teacher, September 1971,
hlm. 336.
22)Paul Auger, De La
Physique Theorique a la Biologie, 1970, hlm. 118.
23)Francis Crick, Life Itself: It's Origin and Nature,
New York, Simon & Schuster, 1981, hlm. 88
24)Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Inheritance and
Evolution), Ankara: Meteksan Publishing Co., 1984, hlm. 39.
25)Homer Jacobson, "Information, Reproduction and
the Origin of Life", American Scientist, Januari 1955, hlm. 121.
26)Reinhard Junker &
Siegfried Scherer, "Entstehung Gesiche Der Lebewesen", Weyel, 1986,
hlm. 89.
27)Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis.
London: Burnett Books, 1985, hlm. 351
28)John Horgan, "In the Beginning",
Scientific American, Vol. 264, Februari 1991, hlm. 119
29)G. F. Joyce, L. E. Orgel, "Prospects for
Understanding the Origin of the RNA World", dalam RNA World, New York:
Cold Spring Harbor Laboratory Press, 1993, hlm. 13.
30)Jacques Monod, Chance and Necessity, New York:
1971, hlm. 143.
31)Leslie E. Orgel, "The Origin of Life on the
Earth", Scientific American, Ekim 1994, Vol 271, hlm. 78.
32)Chandra Wickramasinghe, wawancara dalam London
Daily Express, 14 Agustus 1981.
FOKUS: Pengakuan Evolusionis
Tantangan untuk menjelaskan asal usul kehidupan
merupakan sumber krisis terbesar yang dihadapi teori evolusi. Alasannya,
molekul-molekul organik sangat kompleks dan pembentukannya tidak mungkin dapat
diterangkan sebagai suatu kebetulan. Selain itu, telah terbukti bahwa sel
organik mustahil terbentuk secara kebetulan.
Evolusionis dihadapkan pada pertanyaan tentang asal
usul kehidupan pada perempat kedua abad ke-20. Pakar terkemuka teori evolusi
molekuler, evolusionis Rusia, Alexander I. Oparin, menuliskan dalam bukunya
“The Origin of Life” yang terbit pada tahun 1936:
Sayangnya, asal usul sel masih menjadi pertanyaan,
yang merupakan titik tergelap dari teori evolusi yang utuh.1
Sejak Oparin, banyak evolusionis telah melakukan
penelitian dan pengamatan untuk membuktikan bahwa sebuah sel dapat terbentuk
secara ke-betulan. Akan tetapi, setiap upaya hanya memperjelas desain sel yang
kompleks sehingga semakin menggugurkan hipotesis mereka. Profesor Klaus Dose, kepala
Institut Biokimia di Universitas Johannes Gutenberg, menyatakan:
Percobaan tentang asal
usul kehidupan di bidang kimia dan evolusi molekuler selama lebih dari 30
tahun, menghasilkan persepsi yang lebih baik tentang kompleksitas asal usul
kehidupan di bumi ini, dan bukannya memberikan jawaban yang mereka harapkan.
Saat ini, semua diskusi mengenai teori-teori dasar dan penelitian di bidang ini
berakhir dengan kebuntuan atau pengakuan atas ketidaktahuan. 2
Jeffrey Bada dari
Institut San Diego Scripps memperjelas ketidakberdayaan evolusionis terhadap
kebuntuan ini :
Kini, saat meninggalkan
abad ke-20, kita masih menghadapi masalah terbesar yang belum terpecahkan sejak
awal abad ke-20: Bagaimana kehidupan muncul di muka bumi? 3
Alexander Oparin:
"Asal-usul sel masih menjadi teka-teki."
Jeffrey Bada:
"Kemunculan kehidupan di bumi adalah masalah terbesar yang belum terpecahkan."
1)Alexander Oparin, Origin of life (1936). New York :
Dover Publications, 1953 (cetakan ulang). hlm 196.
2)Klaus Dose, “The Origin of Life : More Questions
Than Answer”, Interdisciplinary Science Reviews, Vol. 13, No. 4, 1988, hlm. 348
3)Jeffrey Bada, Earth, Februari 1998, hlm. 40
Kompleksitas Sel
Sel adalah suatu sistem dengan desain paling rumit dan
paling indah yang pernah disaksikan manusia. Michael Denton, seorang profesor
biologi, dalam bukunya yang berjudul Evolution: Theory in Crisis, menggambarkan
kompleksitas sel dengan sebuah contoh:
“Untuk memahami
realitas kehidupan seperti yang telah diungkapkan oleh biologi molekuler, kita
harus memperbesar sebuah sel ribuan juta kali sampai diameternya mencapai dua
puluh kilometer dan menyerupai pesawat raksasa, cukup untuk menutup kota besar
seperti London atau New York. Yang akan kita lihat adalah sebuah objek dengan
kerumitan tak tertandingi dan desain adaptif. Pada permukaan sel kita akan
melihat jutaan lubang, seperti rongga pelabuhan pada sebuah pesawat induk
antariksa, membuka dan menutup untuk menjaga kontinuitas keluar-masuk aliran
materi. Bila kita memasuki salah satu lubang ini, kita akan mendapati diri kita
berada di dalam dunia dengan teknologi unggul dan kompleksitas
mencengangkan.... Inilah sebuah kompleksitas di luar jangkauan kreativitas
kita, suatu realitas yang merupakan lawan dari kebetulan, yang dalam segala hal
melampaui semua yang dihasilkan kecerdasan manusia...”
Probabilitas Protein Terbentuk Secara Kebetulan Adalah Nol
Ada 3 syarat utama dalam pembentukan protein yang berguna:
Syarat pertama : semua
asam amino pada rantai protein harus dari jenis yang benar
dan berada pada urutan yang benar.
Syarat kedua : semua
asam amino pada rantai tersebut berbentuk Levo.
Syarat ketiga : semua
asam amino saling berikatan dengan membentuk ikatan peptida.
Agar sebuah protein
terbentuk secara kebetulan, ketiga syarat utama di atas harus dipenuhi secara
bersamaan. Probabilitas pembentukan protein secara kebetulan adalah sama dengan
mengalikan probabilitas pemenuhan masing-masing syarat tersebut.
Misalnya untuk sebuah
molekul berukuran rata-rata yang terdiri dari 500 asam amino :
1.Probabilitas asam amino
berada dalam urutan yang benar
Ada 20 jenis asam amino yang
digunakan dalam penyusunan sebuah protein. Berarti:
- Probabilitas setiap asam amino yang terpilih
dengan tepat dari 20 jenis =
1/20
- Probabilitas 500 asam
amino tersebut terpilih dengan tepat =
1/20500 = 1/10650
= 1 peluang dalam 10650
2.Probabilitas asam amino
berbentuk Levo
- Probabilitas satu asam amino Levo terpilih =
1/2
Probabilitas 500 asam
amino yang terpilih seluruhnya berbentuk asam amino Levo
= 1/2500 = 1/10150
= 1 peluang dalam 10150
3.Probabilitas asam-asam amino bergabung dengan ikatan peptida:
Asam amino dapat saling berikatan dengan beragam ikatan kimia. Agar
terbentuk protein yang berguna, seluruh asam amino pada rantai harus berikatan
dengan ikatan khusus yang disebut “ikatan peptida”. Telah dihitung bahwa
probabilitas asam-asam amino berikatan dengan ikatan peptida dan bukan dengan
ikatan yang lain adalah 50%. Berdasarkan hal ini:
- Probabilitas dua asam amino berikatan dengan “ikatan peptida” = 1/2
- Probabilitas 500 asam amino berikatan dengan “ikatan peptida” = 1/2499= 1/10150
= 1 peluang dalam 10150
PROBABILITAS TOTAL = 1/10650 X 1/10150 X
1/10150
= 1/10950 = 1 peluang dalam 10950
Probabilitas sebuah molekul protein berukuran rata-rata yang terdiri dari
500 asam amino tersusun dalam jumlah dan urutan yang tepat, dan hanya terdiri
dari asam amino Levo, dengan rantai hanya terbentuk dari ikatan peptida adalah
“1” banding 10950. Kita dapat menuliskan angka ini dengan meletakkan 950 angka
nol sesudah angka 1 sebagai berikut :
10950=
100.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000
FOKUS :
Sumber-Sumber Evolusionis
Mutakhir Membantah Eksperimen Miller
Dewasa ini, eksperimen Miller telah menjadi hal yang benar-benar diabaikan
bahkan oleh kalangan ilmuwan evolusionis. Majalah
sains evolusionis terkemuka Earth edisi Februari 1998 menuliskan hal berikut
ini dalam artikel yang berjudul “Life's Crucible”:
Kini ahli geologi berpendapat bahwa sebagian
besar atmosfir purba terdiri dari karbon dioksida dan nitrogen, gas-gas yang
kurang reaktif dibandingkan gas-gas yang digunakan dalam eksperimen tahun 1953.
Bahkan, bila atmosfir yang diajukan Miller benar ada, bagaimana anda membuat
molekul sederhana seperti asam amino mengalami perubahan kimiawi yang
dibutuhkan sehingga berubah menjadi senyawa yang lebih rumit, atau polimer
seperti protein? Miller sendiri angkat tangan pada bagian teka-teki ini. “Ini
adalah masalah,” ia mengeluh dengan gusar. "Bagaimana Anda membuat
polimer? Itu bukan hal yang mudah.” 1
Kenyataannya, bahkan kini
Miller pun telah menerima bahwa percobaannya tidak akan menghasilkan sebuah
kesimpulan yang dapat menjelaskan asal usul kehidupan. Bahwa ilmuwan
evolusionis sangat mempercayai percobaan ini hanya menunjukkan kesengsaraan
evolusi dan keputusasaan para pengajurnya.
Artikel berjudul “The
Emergence of Life on Earth” (Kemunculan Kehidupan di Muka Bumi) dalam National
Geographic edisi Maret 1998 mengungkapkan hal berikut ini:
Sekarang banyak ilmuwan
menduga bahwa atmosfir purba itu berbeda dari yang pertama kali diandaikan
Miller. Mereka
berpikir bahwa atmosfir tersebut terdiri dari karbon dioksida dan nitrogen,
bukan hidrogen, metan dan amoniak.
Ini adalah berita buruk bagi
ahli kimia. Ketika mereka mencoba mereaksikan karbon dioksida dan nitrogen,
mereka mendapatkan sejumlah molekul organik yang tak berharga — ini sama saja
dengan melarutkan setetes pewarna makanan ke dalam air kolam renang. Para
ilmuwan menemukan kesulitan besar untuk membayangkan bahwa kehidupan muncul
dari sup encer seperti itu.2
Singkatnya, baik eksperimen
Miller maupun evolusionis yang lain tidak dapat menjawab pertanyaan bagaimana
kehidupan muncul di muka bumi. Semua penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa kehidupan tidak mungkin muncul secara kebetulan dan karenanya
mempertegas bahwa kehidupan memang diciptakan.
1. Earth. “Life's Crucible”
Februari 1998, hlm.34
2. National Geographic, “The
Rise of Life on Earth”, Maret 1998, hlm. 68
Benda Tak Bernyawa Tidak
Bisa Menghasilkan Kehidupan
Sejumlah percobaan
evolusionis seperti Eksperimen Miller dan Eksperimen Fox telah direncanakan
untuk membuktikan pernyataan bahwa benda tak bernyawa dapat mengatur dirinya
sendiri dan menghasilkan makhluk hidup yang kompleks. Ini merupakan pernyataan
yang benar-benar tidak ilmiah: setiap pengamatan dan eksperimen, sudah tidak
dapat dibantah lagi, membuktikan bahwa materi tidak memiliki kemampuan seperti
itu. Astronom dan ahli matematika Inggris terkenal Sir Fred Hoyle menyatakan
bahwa materi tidak dapat menghasilkan kehidupan dengan sendirinya, tanpa adanya
campur tangan yang disengaja:
Bila memang ada sebuah
prinsip dasar materi sedemikian yang dapat menggerakkan sistem-sistem organik
menuju kehidupan, tentu saja keberadaannya dengan mudah dapat ditunjukkan di
laboratorium. Contohnya, seseorang dapat mengumpamakan kolam pemandian sebagai
sup purba. Ke dalam kolam ini dimasukkan senyawa-senyawa kimia non-biologis
sesukanya. Gas apa pun yang diinginkan dapat diembuskan di atasnya, atau ke
dalamnya. Kolam ini pun disinari dengan bentuk radiasi apa pun yang diinginkan.
Biarkan eksperimen in berjalan selama setahun, lalu lihatlah berapa banyak dari
2000 enzim (protein yang dihasilkan oleh sel hidup) yang muncul di dalam kolam.
Untuk menghemat waktu dan uang serta agar tidak mengalami kesulitan bila
benar-benar mengerjakan hal tersebut, saya akan menjawabnya. Anda tidak akan
menemukan apa-apa, selain mungkin tumpukan lumpur yang terdiri dari asam amino
dan senyawa organik sederhana lainnya.
Seorang ahli biologi evolusionis
Andrew Scott mengakui fakta yang sama:
Ambillah sekumpulan
materi, panaskanlah sambil diaduk dan tunggulah. Ini adalah versi modern
Genesis (Asal Usul Terbentuknya Kehidupan). Gaya-gaya fundamental seperti
gravitasi, elektromagnetisme dan daya nuklir baik yang kuat maupun yang lemah,
dianggap telah melakukan sisanya….
Seberapa besarkah dongeng
apik ini benar-benar terjadi, dan seberapa besarkah tetap merupakan spekulasi?
Sejujurnya, hampir seluruh mekanisme tiap tahapan besar, mulai dari bahan kimia
awal (precursor) hingga sel pertama, adalah hal kontroversi atau kekaguman
sepenuhnya.
1)Fred Hoyle, The Intelligent Universe, New York,
Holt, Rinheard & Winston, 1983, hlm..256
2) Andrew Scott, “Update on Genesis”, News Scientist,
Vol. 106, 2 Mei 1985, hlm.30
Pengakuan evolusionis
Perhitungan probabilitas
menunjukkan dengan jelas bahwa molekul kompleks seperti protein dan asam
nukleat (RNA dan DNA) tidak pernah dapat terbentuk secara kebetulan, secara
independen satu terhadap yang lain. Walaupun demikian, evolusionis harus
menghadapi masalah yang lebih besar bahwa semua molekul kompleks tersebut harus
muncul secara bersamaan agar kehidupan dapat muncul. Teori evolusi benar-benar
dipusingkan oleh syarat tersebut. Ini adalah titik di mana sebagian evolusionis
terkemuka terpaksa mengaku. Sebagai contoh, seorang kerabat dekat Stanley
Miller dan Francis Crick dari University of San Diego California, evolusionis
terkenal Dr. Leslie Orgel menyatakan:
Protein dan asam nukleat,
masing-masing memiliki struktur yang kompleks, tidak mungkin muncul secara
spontan pada tempat yang sama secara bersamaan. Tetapi tidak mungkin pula ada
salah satu tanpa yang lainnya. Karena itu, pada sekilas pandangan pertama,
seseorang mungkin harus menyatakan bahwa sesungguhnya kehidupan tidak dapat
berasal dari senyawa kimiawi.1
Fakta yang sama diakui pula
oleh ilmuwan yang lain:
DNA tidak dapat melakukan
pekerjaannya, termasuk menghasilkan lebih banyak DNA, tanpa bantuan protein
katalitis atau enzim. Singkatnya, protein tidak dapat terbentuk tanpa DNA,
sebagaimana pula DNA tidak dapat terbentuk tanpa protein.2
Bagaimana Kode Genetis, termasuk mekanisme translasinya (ribosom dan
molekul RNA), berawal? Untuk saat ini, kita terpaksa harus puas dengan
keterpesonaan dan ketakjuban, dan bukan dengan sebuah jawaban. 3
Leslie E. Orgel, “The Origin
of Life on Earth”, ScientificAmerican, vol.271, Oktober 1994, hlm. 78
John Horgan, “In the
Beginning”, Scientific American, vol. 264, Februari 1991, hlm. 119
Douglas R. Hofstadter,
Godel, Escher, Bach: An eternal Golden Braid, New York, Vintage Books, 1980,
hlm. 548
BAB 11
Ilmu
Termodinamika Menyanggah Evolusi
Hukum II Termodinamika, yang dianggap sebagai salah satu hukum dasar ilmu
fisika, menyatakan bahwa pada kondisi normal semua sistem yang dibiarkan tanpa
gangguan cenderung menjadi tak teratur, terurai, dan rusak sejalan dengan
waktu. Seluruh benda, hidup atau mati, akan aus, rusak, lapuk, terurai dan
hancur. Akhir seperti ini mutlak akan dihadapi semua makhluk dengan caranya
masing-masing dan menurut hukum ini, proses yang tak terelakkan ini tidak dapat
dibalikkan.
Kita semua mengamati hal ini. Sebagai contoh, jika Anda meninggalkan sebuah
mobil di padang pasir, Anda tidak akan menemukannya dalam keadaan lebih baik
ketika Anda menengoknya beberapa tahun kemudian. Sebaliknya, Anda akan melihat
bannya kempes, kaca jendelanya pecah, sasisnya berkarat, dan mesinnya rusak.
Proses yang sama berlaku pula pada makhluk hidup, bahkan lebih cepat.
Hukum II Termodinamika adalah cara mendefinisikan proses alam ini dengan
persamaan dan perhitungan fisika.
Hukum ini juga dikenal sebagai “Hukum Entropi”. Entropi adalah selang
ketidakteraturan dalam suatu sistem. Entropi sistem meningkat ketika suatu
keadaan yang teratur, tersusun dan terencana menjadi lebih tidak teratur,
tersebar dan tidak terencana. Semakin tidak teratur, semakin tinggi pula
entropinya. Hukum Entropi menyatakan bahwa seluruh alam semesta bergerak menuju
keadaan yang semakin tidak teratur, tidak terencana, dan tidak terorganisir.
Keabsahan Hukum II Termodinamika atau Hukum Entropi ini telah terbukti,
baik secara eksperimen maupun teoretis. Albert Einstein menyatakan bahwa Hukum
Entropi akan menjadi paradigma yang sangat berpengaruh di periode sejarah
mendatang. Ilmuwan terbesar di masa kita ini mengakuinya sebagai “hukum utama
dari semua ilmu pengetahuan”. Sir Arthur Eddington juga menyebutnya sebagai
“hukum metafisika tertinggi di seluruh jagat”.1
Teori evolusi adalah klaim yang diajukan dengan sepenuhnya mengabaikan Hukum
Entropi. Mekanisme yang diajukannya benar-benar bertentangan dengan hukum dasar
fisika ini. Teori evolusi menyatakan bahwa atom-atom dan molekul-molekul tidak
hidup yang tak teratur dan tersebar, sejalan dengan waktu menyatu dengan
spontan dalam urutan dan rencana tertentu membentuk molekul-molekul kompleks
seperti protein, DNA dan RNA. Molekul-molekul ini lambat laun kemudian
menghasilkan jutaan spesies makhluk hidup, bahkan dengan struktur yang lebih
kompleks lagi. Menurut teori evolusi, pada kondisi normal, proses yang
menghasilkan struktur yang lebih terencana, lebih teratur, lebih kompleks dan
lebih terorganisir ini terbentuk dengan sendirinya pada tiap tahapnya dalam
kondisi alamiah. Proses yang disebut alami ini jelas bertentangan dengan Hukum
Entropi.
Ilmuwan evolusionis juga menyadari fakta ini. J. H. Rush menyatakan:
Dalam perjalanan evolusinya yang kompleks, kehidupan menunjukkan perbedaan
yang jauh dengan kecenderungan yang dinyatakan Hukum II Termodinamika.
Sementara Hukum II menyatakan pergerakan irreversibel ke arah entropi yang
lebih tinggi dan tak teratur, evolusi kehidupan berkembang terus ke tingkat
yang lebih teratur.2
Dalam sebuah artikel di majalah Science, ilmuwan evolusionis, Roger Lewin,
menyatakan kebuntuan termodinamis dari evolusi.
Masalah yang dihadapi para ahli biologi adalah pertentangan nyata antara
evolusi dan Hukum II Termodinamika merupakan. Sejalan dengan waktu, semua
sistem akan rusak, semakin tidak teratur bukan sebaliknya.3
Ilmuwan evolusionis lainnya, George Stravropoulos, menyatakan kemustahilan
termodinamis pembentukan kehidupan secara spontan dan ketidaklayakan penjelasan
adanya mekanisme-mekanisme makhluk hi-dup yang kompleks melalui hukum-hukum
alam. Ini dinyatakannya dalam majalah evolusionis terkenal, American Scientist:
Namun sesuai dengan Hukum Termodinamika II, dalam kondisi biasa tidak ada
molekul organik kompleks dapat terbentuk secara spontan. Sebaliknya, molekul
kompleks akan hancur. Memang, semakin kompleks sebuah molekul, semakin tidak
stabil keadaannya dan semakin pasti kehancurannya, cepat atau lambat.
Kendatipun melalui pembahasaan yang membingungkan atau sengaja dibuat
membingungkan, fotosintesis dan semua proses kehidupan, serta kehidupan itu
sendiri, tidak dapat dipahami berdasarkan ilmu termodinamika ataupun ilmu pasti
lainnya.4
Seperti telah diakui, Hukum II Termodinamika merupakan rintangan yang tak
dapat diatasi oleh skenario evolusi, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun
logika. Karena tidak mampu mengajukan penjelasan ilmiah dan konsisten, evolusionis
hanya dapat mengatasi rintangan ini dalam khayalan mereka. Sebagai contoh,
evolusionis terkenal, Jeremy Rifkin, menuliskan keyakinannya bahwa evolusi
mengungguli hukum fisika dengan suatu “kekuatan ajaib”:
Hukum Entropi mengatakan bahwa evolusi menghabiskan energi keseluruhan yang
tersedia bagi kehidupan di planet ini. Konsep evolusi kami adalah sebaliknya.
Kami yakin bahwa evolusi secara ajaib menghasilkan nilai energi keseluruhan
yang lebih besar dan keteraturan di bumi ini.5
Kata-kata ini jelas menunjukkan bahwa evolusi sepenuhnya merupakan sebuah
keyakinan dogmatis.
Mitos "Sistem Terbuka"
Dihadapkan pada semua kebenaran ini, evolusionis terpaksa berlindung dengan
menyimpangkan Hukum II Termodinamika, dengan mengatakan bahwa hukum ini berlaku
hanya untuk “sistem tertutup”, dan tidak dapat menjangkau “sistem terbuka”.
Suatu “sistem terbuka” merupakan sistem termodinamis di mana materi dan
energi dapat keluar-masuk. Sedangkan dalam “sistem tertutup”, materi dan energi
tetap konstan. Evolusionis menyatakan bahwa bumi merupakan sebuah sistem
terbuka. Bumi terus menerima energi dari matahari, sehingga hukum entropi tidak
berlaku pada bumi secara keseluruhan; dan makhluk hidup yang kompleks dan
teratur dapat terbentuk dari struktur-struktur mati yang sederhana dan tidak
teratur.
Namun ada
penyimpangan nyata dalam pernyataan ini. Fakta bahwa sistem memperoleh aliran energi
tidaklah cukup untuk menjadikan sistem ini teratur. Diperlukan mekanisme khusus
untuk membuat energi berfungsi. Sebagai contoh, mobil memerlukan mesin, sistem
transmisi, dan mekanisme kendali untuk mengubah bahan bakar menjadi energi
un-tuk menggerakkan mobil. Tanpa sistem konversi energi seperti itu, mobil
tidak dapat menggunakan energi dari bahan bakar.
Hal yang sama berlaku juga dalam kehidupan. Kehidupan memang mendapatkan
energi dari matahari, namun energi matahari hanya dapat diubah menjadi energi
kimia melalui sistem konversi energi yang sangat kompleks pada makhluk hidup
(seperti fotosintesis pada tumbuhan dan sistem pencernaan pada manusia dan
hewan). Tidak ada makhluk hidup yang dapat hidup tanpa sistem konversi energi
semacam itu. Tanpa sistem konversi energi, matahari hanyalah sumber energi
destruktif yang membakar, menyengat dan melelehkan.
Dapat dilihat, suatu sistem termodinamika, baik terbuka maupun tertutup,
tidak menguntungkan bagi evolusi tanpa mekanisme konversi energi. Tidak ada
seorang pun menyatakan bahwa mekanisme sadar dan kompleks semacam itu muncul di
alam dalam kondisi bumi purba. Memang, masalah nyata yang dihadapi evolusionis
adalah bagaimana mekanisme konversi energi yang kompleks ini — seperti
fotosintesis tumbuhan yang tidak dapat ditiru, bahkan dengan teknologi modern —
dapat muncul dengan sendirinya.
Aliran energi matahari ke bumi tidak dapat menciptakan keteraturan dengan
sendirinya. Setinggi apa pun suhunya, asam-asam amino tidak akan membentuk
ikatan dengan urutan teratur. Energi saja tidak cukup untuk pembentukan
struktur lebih kompleks dan teratur, seperti asam amino membentuk protein atau
protein membentuk struktur terorganisir yang lebih kompleks pada
organel-organel sel. Sumber nyata dan penting dari keteraturan pada semua
tingkat adalah rancangan sadar, dengan kata lain, penciptaan.
Mitos “Pengorganisasian Mandiri oleh Materi”
Menyadari bahwa Hukum II Termodinamika membuat evolusi tidak mungkin
terjadi, beberapa ilmuwan evolusionis berspekulasi untuk menjembatani jurang di
antara keduanya agar evolusi menjadi mungkin. Seperti biasa, usaha-usaha ini
pun menunjukkan bahwa teori evolusi ber-akhir dengan kebuntuan.
Seorang yang terkenal dengan usahanya untuk mengawinkan termodinamika
dengan evolusi adalah ilmuwan Belgia bernama Ilya Prigogine. Beranjak dari
Teori Kekacauan (Chaos Theory), Prigogine mengajukan sejumlah hipotesis di mana
keteraturan terbentuk dari ketidakteraturan (chaos). Dia berargumen bahwa
sebagian sistem terbuka dapat mengalami penurunan entropi disebabkan aliran
energi dari luar. “Keteraturan” yang dihasilkan merupakan bukti bahwa “materi
dapat mengorganisir diri sendiri”. Sejak saat itu, konsep “pengorganisasian
mandiri oleh materi” menjadi sangat populer di kalangan evolusionis dan
materialis. Mereka bersikap seolah-olah telah menemukan asal usul materialistis
bagi kompleksitas kehidupan dan solusi materialistis bagi masalah asal usul
kehidupan.
Namun jika dicermati, argumen ini benar-benar abstrak dan hanya
angan-angan. Lebih dari itu, argumen tersebut mengandung penipuan yang sangat
naif, yang sengaja mengacaukan dua konsep berbeda, yaitu “pengorganisasian
mandiri” (self-organization) dan “pengaturan mandiri” (self-ordering).6
Ini dapat diterangkan dengan contoh berikut. Bayangkan sebuah pan-tai
dengan campuran berbagai jenis batuan. Ada batu-batu besar, batu-batu lebih kecil, dan
batu-batu sangat kecil. Jika sebuah ombak besar menerpa pantai, mungkin muncul
“keteraturan” di antara batu-batu tersebut. Air akan menggeser batu-batu dengan
berat sama pada posisi yang sama. Ketika ombak surut, batu-batu tersebut
mungkin tersusun dari yang terkecil hingga yang terbesar ke arah laut.
Ini merupakan proses “pengaturan mandiri”: pantai adalah sistem terbuka dan
aliran energi (ombak) dapat menyebabkan suatu “keteraturan”. Namun ingat bahwa
proses yang sama tidak dapat membentuk istana pasir di pantai. Jika kita
melihat istana pasir, kita yakin bahwa seseorang telah membuatnya. Perbedaan
antara keduanya adalah bahwa istana pasir mengandung kompleksitas sangat unik,
sedangkan batu-batu yang “teratur” hanya memiliki keteraturan saja. Ini seperti
mesin tik yang mencetak “aaaaaaaaaaaaaaaa” beratus-ratus kali, karena sebuah
benda (aliran energi) jatuh menimpa huruf “a” pada papan ketik. Tentu saja
pengulangan huruf “a” tersebut tidak mengandung informasi apa pun, apalagi
sebuah kompleksitas. Dibutuhkan pikiran sadar untuk menghasilkan rangkaian
kompleks huruf-huruf yang mengandung informasi.
Hal yang sama berlaku jika angin berhembus ke dalam sebuah kamar penuh
debu. Sebelum angin mengalir, debu-debu mungkin tersebar di sekitar kamar.
Ketika angin berhembus, debu-debu bisa jadi terkumpul di sudut ruangan. Ini adalah “pengaturan
mandiri”. Namun debu tidak pernah “mengorganisir diri” dan menciptakan gambar
manusia pada lantai kamar tersebut.
Contoh-contoh di atas serupa benar dengan skenario “pengorganisasian
mandiri” dari evolusionis. Mereka berargumen bahwa materi memiliki
kecenderungan untuk mengorganisir diri, lalu memberikan contoh-contoh
pengaturan mandiri dan selanjutnya mencoba mengacaukan kedua konsep tersebut.
Prigogine sendiri memberikan contoh-contoh pengaturan mandiri molekul karena
aliran energi. Ilmuwan Amerika, Thaxton,
Bradley dan Olsen, menerangkan fakta ini dalam buku mereka, The Mistery of
Life's Origin, sebagai berikut:
… Pada masing-masing kasus, gerakan acak molekul dalam cairan secara
spontan digantikan oleh perilaku yang sangat teratur. Prigogine, Eigen dan
lainnya menganggap bahwa pengorganisasian mandiri serupa merupakan sifat
intrinsik dalam kimia organik, dan menjadi penyebab terbentuknya makromolekul
kompleks yang penting bagi sistem kehidupan. Akan tetapi, analogi seperti itu
tidak relevan dengan pertanyaan asal usul kehidupan. Alasan utamanya adalah
kegagalan mereka dalam membedakan antara keteraturan dan kompleksitas…. Keteraturan
tidak dapat menyimpan informasi yang sangat besar yang diperlukan sistem
kehidupan. Bukan struktur teratur yang diperlukan, namun struktur yang sangat
tidak teratur tetapi spesifik. Ini adalah kesalahan serius dalam analogi yang diajukan.
Tidak ada hubungan nyata antara pengaturan spontan yang terjadi karena aliran
energi ke dalam sistem, dengan kerja yang diperlukan untuk membentuk
makromolekul sarat-informasi seperti DNA dan protein.7
Bahkan Prigogine sendiri terpaksa menerima bahwa argumennya tidak berlaku
bagi asal usul kehidupan. Dia mengatakan:
Masalah keteraturan biologis melibatkan transisi dari aktivitas molekuler
ke keteraturan supermolekuler dalam sel. Hal ini belum terpecahkan sama sekali.8
Lalu, mengapa evolusionis masih berusaha meyakini skenario-skenario tak
ilmiah seperti “pengorganisasian materi secara mandiri”? Mengapa mereka
berkeras menolak pewujudan kecerdasan dalam sistem kehidupan? Jawabannya adalah
bahwa mereka memiliki keyakinan dogmatis pada materialisme, dan keyakinan bahwa
materi memiliki kekuatan misterius untuk menciptakan kehidupan. Profesor Robert
Shapiro, pakar kimia dan DNA dari Universitas New York menjelaskan keyakinan
evolusionis dan landasan dogmatisnya sebagai berikut:
Maka diperlukan prinsip evolusi lain untuk menjembatani antara
campuran-campuran kimia alami sederhana dengan replikator efektif pertama.*)
Prinsip ini belum dijelaskan secara terperinci ataupun ditunjukkan, namun telah
diantisipasi, dan diberi nama evolusi kimia dan pengorganisasian materi secara
mandiri. Keberadaan prinsip ini diterima sebagai keyakinan dalam filsafat
materialisme dialektis **), sebagaimana diterapkan pada asal usul kehidupan
oleh Alexander Oparin.9
Situasi ini menjelaskan bahwa evolusi adalah sebuah dogma yang bertentangan
dengan ilmu pengetahuan empiris. Asal usul kehidupan hanya dapat dijelaskan
dengan campur tangan sebuah kekuatan supranatural. Kekuatan supranatural
tersebut adalah penciptaan Allah, yang mencipta-kan seluruh jagat raya dari
ketiadaan. Dari sisi termodinamika, ilmu pengetahuan membuktikan bahwa evolusi
adalah mustahil, dan keberadaan kehidupan hanya dapat dijelaskan dengan
Penciptaan.
1)Jeremy Rifkin, Entropy: A
New World View, New York, Viking Press, 1980, hlm. 6
2)J. H. Rush, The Dawn of
Life, New York, Signet, 1962, hlm. 35.
3)Roger Lewin, "A
Downward Slope to Greater Diversity", Science, Vol. 217, 24.9.1982, hlm.
1239.
4)George P. Stravropoulos,
"The Frontiers and Limits of Science", American Scientist, Vol 65,
November-Desember 1977, hlm. 674.
5)Jeremy Rifkin, Entropy: A
New World View, hlm. 55
6)Untuk keterangan lebih
jauh, lihat: Stephen C. Meyer, "The Origin of Life and the Death of
Materialism", The Intercollegiate Review, 32, No. 2, Spring 1996.
7)Charles B. Thaxton, Walter
L. Bradley & Roger L. Olsen, The Mystery of Life's Origin: Reassessing
Current Theorities, edisi IV, Dallas, 1992. bab 9, hlm. 134.
8)Ilya Prigogine, Isabelle
Stengers, Order Out of Chaos, New York, Bantam Books, 1984, hlm. 175.
*)replikator efektif pertama adalah asam
nukleat/DNA pertama yang berhasil memperbanyak diri
**)materialisme dialektis =
Interpretasi Marxis terhadap realitas yang memandang materi sebagai
satu-satunya subjek perubahan dan semua perubahan merupakan hasil dari pertentangan
terus-menerus antara oposisi yang muncul dari kontradiksi internal dalam semua
peristiwa, ide dan gerakan.
9)Robert Shapiro, Origins: A
Sceptics Guide to the Creation of Life on Earth. Summit Books, New York: 1986,
s. 207.
BAB 12
Antara
Rancangan dan Kebetulan
Pada bab sebelumnya, kita telah mengkaji kemustahilan kehidupan terbentuk
secara kebetulan. Untuk sementara, marilah hal yang mustahil ini kita terima
lagi. Anggaplah bahwa jutaan tahun yang lalu sebuah sel terbentuk lengkap
dengan segala sesuatu yang diperlukannya untuk hidup dan bahwa sel tersebut
“hidup”. Sampai
di sini, lagi-lagi evolusi runtuh. Karena sekalipun sel tersebut hidup untuk
sementara waktu, ia akan mati dan tidak menyisakan apa pun, segalanya akan
kembali seperti semula. Tanpa informasi genetis, sel pertama ini tidak mampu
bereproduksi dan memulai generasi baru. Kehidupan akan berakhir dengan
kematiannya.
Sistem genetis tidak hanya terdiri dari DNA, tetapi harus ada pula: enzim
untuk membaca kode DNA, yaitu mRNA (messenger RNA) yang dibuat setelah kode DNA
dibaca, ribosom di mana mRNA akan menempel sesuai kode ini untuk produksi, RNA
transfer yang membawa asam amino ke ribosom untuk digunakan dalam produksi, dan
enzim-enzim yang sangat kompleks untuk melaksanakan beragam proses antara.
Perangkat tersebut hanya terdapat dalam lingkungan yang sepenuhnya terisolasi
dan terkendali seperti sel—tempat semua bahan mentah penting dan sumber energi
berada.
Karenanya, materi organik dapat bereproduksi hanya jika materi ini
berbentuk sel yang telah berkembang penuh, lengkap dengan seluruh organelnya
dan dalam lingkungan yang sesuai untuk hidup, bertukar material, dan
mendapatkan energi dari sekelilingnya. Ini berarti bahwa sel pertama di bumi
terbentuk “secara tiba-tiba” lengkap dengan strukturnya yang sangat kompleks.
Jadi, apa artinya jika sebuah struktur kompleks muncul tiba-tiba?
Pertanyaan ini akan diajukan dengan sebuah contoh. Umpamakan sel tersebut
sebuah mobil berteknologi tinggi dengan segala kompleksitasnya. (Sebenarnya sel
terdiri dari sistem yang jauh lebih kompleks dan lebih berkembang dibandingkan
mobil beserta mesin dan seluruh onderdilnya.) Sekarang ditanyakan: apa yang
terlintas dalam pikiran jika Anda menjelajahi pedalaman hutan lebat dan
menemukan mobil model terbaru di antara pepohonan? Akankah Anda berpikir bahwa
beragam elemen dalam hutan telah menyatu secara kebetulan selama berjuta-juta
tahun dan menghasilkan sebuah kendaraan semacam itu? Seluruh bahan mentah untuk
membentuk mobil tersebut diperoleh dari besi, plastik, karet, tanah atau produk
sampingnya. Tetapi apakah fakta ini akan membuat Anda berpikir bahwa
bahan-bahan ini tersintesis “secara kebetulan” lalu menyatu dan menghasilkan
mobil tersebut?
Tentu saja, setiap orang yang berakal sehat akan tahu bahwa mobil itu
adalah hasil rancangan yang disengaja, yakni pabrik, dan akan heran mengapa
mobil tersebut bisa berada di tengah-tengah hutan. Pemunculan tiba-tiba suatu
struktur kompleks dalam bentuk lengkap menunjukkan bahwa struktur tersebut
diciptakan oleh suatu kekuatan berkesadaran. Tidak diragukan lagi bahwa sistem
kompleks seperti sel diciptakan oleh sebuah kehendak dan kebijakan agung. Dengan kata lain, sel
terjadi karena diciptakan Allah.
Dengan keyakinan bahwa kebetulan murni dapat membentuk rancangan sempurna,
evolusionis telah melanggar batas-batas akal sehat dan ilmu pengetahuan. Pakar
terkemuka yang membahas persoalan ini adalah ahli zoologi Perancis, Pierre
Grassé, mantan ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Prancis. Meskipun seorang
materialis, Grassé mengakui bahwa teori Darwin tidak dapat menjelaskan
kehidupan. Dia juga mengemukakan pendapatnya tentang logika konsep “kebetulan”
yang merupakan pilar utama Darwinisme:
Kemunculan mutasi-mutasi secara tepat, yang memungkinkan hewan dan tumbuhan
memenuhi kebutuhan, merupakan hal yang sukar dipercaya. Namun, teori Darwin
menyatakan lebih dari itu: sebatang pohon atau seekor hewan memerlukan
beribu-ribu peristiwa kebetulan pada saat yang tepat. Jadi, keajaiban akan
berperan di sini: peristiwa-peristiwa dengan peluang mendekati nol tidak boleh
gagal untuk terjadi.... Tak ada larangan untuk berkhayal, tapi ilmu pengetahuan
tidak boleh terjerumus ke dalamnya.1
Grassé merangkum arti konsep “kebetulan” bagi evolusionis dengan kalimat “…
Peluang
menjadi semacam tuhan. Meskipun tidak dinamai, di balik kedok ateisme, ia
disembah secara sembunyi-sembunyi.”2
Kegagalan logis evolusi adalah akibat pemujaan mereka akan konsep
kebetulan. Dalam Al Quran disebutkan bahwa mereka yang menyembah selain Allah
sama sekali tidak berakal:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah, dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk (mendengar
ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A'raf, 7: 179)
Formula Darwin!
Selain bukti teknis yang telah kita bicarakan sejauh ini, mitos evolusionis
dapat diuji dengan sebuah contoh yang sangat sederhana dan bahkan dapat
dimengerti oleh anak kecil.
Teori evolusi menyatakan bahwa kehidupan terbentuk secara kebetulan.
Berdasarkan teori ini, atom-atom tidak hidup, yang tidak memiliki kesadaran,
berkumpul dan membentuk sel. Entah bagaimana caranya, sel-sel ini kemudian
membentuk makhluk-makhluk hidup lainnya, termasuk manusia. Mari kita pikirkan.
Jika kita kumpulkan unsur-unsur penyusun kehidupan seperti karbon, fosfor,
nitrogen dan natrium, maka yang terbentuk hanya tumpukan bahan-bahan. Perlakuan
apa pun kepadanya tidak akan mengubah tumpukan bahan tersebut menjadi makhluk
hidup. Jika Anda berminat, mari kita lakukan sebuah "eksperimen" atas
nama evolusionis untuk menguji pernyataan mereka yang disebut "Formula
Darwin" :
Misalkan evolusionis memasukkan bahan-bahan penyusun kehidupan seperti
fosfor, nitrogen, karbon, oksigen, besi dan magnesium ke dalam sebuah tangki
besar. Mereka juga dapat menambahkan bahan lain yang tidak ada pada kondisi
normal, tetapi mereka anggap perlu. Mereka dapat menambahkan sebanyak mungkin
asam amino — yang tidak mungkin terbentuk pada kondisi normal — dan sebanyak
mungkin protein — dengan peluang pembentukan 10-950 per protein. Kemudian
mereka dapat memanaskan dan mengatur kelembaban campuran serta mengaduknya
dengan alat tercanggih sesuka mereka. Biarkan mereka menyuruh para ilmuwan
terkemuka menungguinya secara bergiliran selama miliaran, dan bahkan triliunan
tahun. Mereka bebas mengupayakan segala kondisi yang mereka yakini perlu untuk
pembentukan manusia. Apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak bisa
menghasilkan seorang manusia dari campuran ini, misalnya seorang profesor yang
memeriksa struktur selnya di bawah mikroskop elektron. Mereka tidak bisa
membuat jerapah, singa, lebah, burung kenari, kuda, lumba-lumba, mawar,
anggrek, lili, anyelir, pisang, jeruk, apel, kurma, tomat, melon, semangka,
ara, zaitun, anggur, persik, merak, ayam, kupu-kupu berwarna-warni atau jutaan
makhluk hidup lainnya. Sungguh, bahkan mereka tidak dapat menghasilkan satu sel
pun dari organisme-organisme tersebut.
Ringkasnya, atom-atom tidak berkesadaran tidak dapat membentuk sel hanya
dengan bergabung. Mereka tidak dapat mengambil keputusan baru dan membelah sel
ini menjadi dua, lalu mengambil keputusan-keputusan lain dan menciptakan
profesor-profesor yang menemukan mikroskop elektron, dan kemudian memeriksa
struktur selnya sendiri di bawah mikroskop tersebut. Materi adalah tumpukan
benda mati yang tidak ber-kesadaran, dan menjadi hidup karena penciptaan Allah.
Teori evolusi yang menyatakan sebaliknya sangat keliru dan benar-benar
bertentangan dengan akal sehat. Menelaah sedikit saja pernyataan-pernyataan
evolusionis, akan mengungkapkan kebenaran, seperti dalam contoh di atas.
Teknologi Pada Mata dan Telinga
Persoalan lain yang belum terjawab oleh teori evolusi adalah kemampuan
pengindraan mata dan telinga yang luar biasa.
Sebelum membahas mata, akan dijawab dulu secara singkat pertanyaan
“bagaimana kita bisa melihat”. Cahaya yang datang dari sebuah benda jatuh
terbalik pada retina mata. Di sini, cahaya diubah menjadi sinyal-sinyal
elektris oleh sel-sel dan sinyal ini diteruskan ke bintik kecil di belakang
otak yang disebut pusat penglihatan. Dalam pusat penglihatan, sinyal-sinyal
elektris ini ditangkap sebagai bayangan benda setelah melalui serangkaian
proses. Dengan latar belakang teknis ini, mari kita membahasnya lebih lanjut.
Otak terisolasi dari cahaya. Berarti di dalamnya gelap gulita dan cahaya
tidak menjangkaunya. Daerah yang disebut pusat penglihatan adalah tempat yang
gelap yang tidak pernah terjangkau cahaya, bahkan mungkin merupakan tempat
tergelap yang pernah kita ketahui. Namun dari kegelapan ini, kita dapat melihat
dunia yang terang dan berkilauan.
Ketajaman dan kejelasan gambar yang terbentuk pada mata tidak dapat
diperoleh bahkan oleh teknologi abad ke-20. Sebagai contoh, lihatlah buku yang
Anda baca, tangan Anda yang memegangnya, kemudian angkat kepala Anda dan
pandanglah sekeliling Anda. Pernahkah Anda melihat gambar setajam dan sejelas
ini di tempat lain? Bahkan layar televisi tercanggih yang dibuat pabrik terbaik
pun tidak dapat memberikan gambar setajam ini. Ini adalah gambar tiga dimensi,
berwarna dan sangat tajam. Lebih dari 100 tahun para insinyur berusaha mencapai
ketajaman ini. Pabrik-pabrik dan instalasi besar dibangun, berbagai riset
dilakukan, rencana dan rancangan telah diusahakan untuk tujuan ini. Sekali
lagi, lihatlah layar TV dan buku yang Anda pegang. Akan Anda lihat perbedaan besar
dalam ketajaman dan kejelasannya. Lebih dari itu, layar TV hanya memberikan
gambar dua dimensi, sedangkan mata Anda memberikan perspektif tiga dimensi,
yang memiliki kedalaman. Jika Anda lihat dengan cermat, Anda akan mengamati
gambar yang kabur pada televisi. Apakah terdapat gambar kabur pada penglihatan
Anda? Tentu tidak.
Telah bertahun-tahun puluhan ribu insinyur berusaha membuat TV tiga dimensi
untuk mencapai kualitas gambar seperti yang dilihat mata. Memang mereka telah
menghasilkan TV tiga dimensi, tetapi untuk menontonnya masih harus dibantu
kacamata khusus. Ini pun hanya tiga dimensi buatan. Latar belakangnya kabur, sedangkan
bagian depannya seperti pemandangan di atas kertas. Manusia tidak pernah
menghasilkan gambar setajam dan sejelas mata. Baik pada kamera maupun televisi,
ada penurunan kualitas gambar.
Evolusionis menyatakan bahwa mekanisme yang menghasilkan gambar tajam dan
jelas ini terbentuk secara kebetulan. Sekarang, jika seseorang mengatakan
kepada Anda bahwa televisi di kamar Anda terbentuk secara kebetulan, bahwa
atom-atom penyusunnya kebetulan bersatu dan membentuk TV yang menghasilkan
gambar, apa pendapat Anda? Bagaimana atom-atom dapat melakukan sesuatu yang
tidak dapat dilakukan oleh ribuan orang?
Hampir seabad puluhan ribu insinyur bekerja keras meneliti di berbagai
laboratorium dan kompleks industri berteknologi tinggi dengan menggunakan
peralatan canggih, namun mereka tidak dapat melakukan lebih dari yang Anda
lihat di layar TV Anda.
Jika alat yang menghasilkan gambar lebih primitif daripada mata saja
mustahil terbentuk secara kebetulan, maka mata dan gambar yang dilihat mata
lebih mustahil terbentuk secara kebetulan. Dibutuhkan rencana dan desain yang
lebih terperinci dan lebih bijak daripada rencana dan desain untuk membuat TV.
Rencana dan desain yang menghasilkan gambar sangat tajam dan jelas ini milik
Allah, Penguasa seluruh alam semesta.
Situasi serupa berlaku pada telinga. Daun telinga menangkap bunyi dan
menyalurkannya ke telinga bagian tengah; telinga bagian tengah menyalurkan
getaran bunyi sekaligus memperkuatnya; telinga bagian dalam mengubah getaran
ini menjadi sinyal-sinyal elektris yang kemudian disampaikan ke otak. Seperti
halnya mata, tahap pendengaran berakhir di pusat pendengaran dalam otak.
Otak terisolasi dari suara, seperti juga dari cahaya. Tidak ada bunyi yang
dapat langsung masuk ke otak. Bagaimanapun bisingnya di luar, di dalam otak
sama sekali sunyi. Walau demikian, otak menangkap bunyi paling tajam. Di dalam
otak Anda yang terisolasi dari bunyi, Anda dapat mendengar simfoni orkestra dan
mendengar kebisingan di tempat ramai. Namun, jika pada saat itu tingkat bunyi
di dalam otak Anda diukur dengan alat paling sensitif, yang terbaca adalah
kesunyian total.
Mari kita bandingkan lagi kualitas teknologi telinga dan otak dengan
teknologi yang dihasilkan manusia. Sebagaimana masalah penangkapan gambar,
usaha selama beberapa dekade telah dilakukan untuk menghasilkan dan meniru
suara sesuai dengan aslinya. Hasilnya berupa alat perekam, sistem high
fidelity, dan sistem-sistem sensor atau pemindai. Kendatipun dikerahkan teknologi
tercanggih dan ribuan insinyur dan ahli dalam kerja keras tersebut, belum
diperoleh suara setajam dan sejelas yang ditangkap oleh telinga. Bahkan dalam
sistem-sistem hi-fi produksi perusahaan terbesar dalam industri musik, ada
penurunan kualitas bunyi yang direkam, atau Anda akan mendengar desis sebelum
musik dimulai. Sebaliknya, suara yang dihasilkan teknologi tubuh manusia
terdengar sangat tajam dan jelas. Telinga manusia menangkap bunyi tanpa
disertai desis atau nuansa bunyi samping lainnya seperti sistem hi-fi. Telinga
menangkap bunyi apa adanya, tajam dan jelas. Memang demikian sejak manusia
diciptakan.
Ringkasnya, teknologi dalam tubuh kita jauh lebih unggul dibandingkan
teknologi buatan manusia yang menggunakan akumulasi informasi, pengalaman dan
peluang. Tak seorang pun akan mengatakan bahwa hi-fi atau kamera muncul secara
kebetulan. Lalu mengapa teknologi dalam tubuh manusia yang jauh lebih unggul
dikatakan muncul sebagai hasil serangkaian peristiwa kebetulan yang disebut
evolusi?
Terbukti bahwa mata, telinga, dan seluruh bagian tubuh manusia adalah hasil
ciptaan yang sangat unggul. Ini merupakan indikasi sangat jelas dari ciptaan
Allah yang unik dan tidak tertandingi, dari ilmu dan kekuasaan-Nya yang kekal.
Sengaja diuraikan pengindraan mata dan telinga ini secara spesifik untuk
menunjukkan ketidakmampuan evolusionis memahami bukti penciptaan yang demikian
jelas. Jika suatu hari Anda meminta seorang evolusionis menjelaskan bagaimana
rancangan dan teknologi yang sempurna pada mata dan telinga ini dapat
dihasilkan secara kebetulan, Anda akan melihat bahwa ia tidak dapat menjawab
dengan logis. Bahkan Darwin sendiri, dalam suratnya kepada Asa Gray pada
tanggal 3 April 1860, mengatakan bahwa pemikiran tentang mata membuat sekujur
tubuhnya demam, dan ia mengakui ketidakberdayaan evolusionis menghadapi
rancangan sempurna makhluk hidup.3
1)Pierre-P Grassé, Evolution
of Living Organisms, New York: Academic Press, 1977, hlm. 103.
2)Ibid, hlm. 107
3)Norman Macbeth, Darwin
Retried: An Appeal to Reason. Boston: Gambit, 1971, hlm. 101.
BAB 13
Pernyataan-Pernyataan
Evolusionis dan Fakta
Pada bab-bab sebelumnya telah dikaji ketidakabsahan teori evolusi
berdasarkan bukti-bukti fosil dan acuan biologi molekuler. Dalam bab ini, kita
akan membahas beberapa fenomena dan konsep biologi yang diajukan evolusionis
sebagai bukti teoretis. Topik-topik ini penting karena menunjukkan ketiadaan
temuan ilmiah yang mendukung evolusi, sebaliknya justru menyingkap betapa jauh
penyimpangan dan penipuan yang dilakukan evolusionis.
Variasi dan Spesies
Variasi, istilah yang digunakan dalam ilmu genetika, merujuk pada peristiwa
genetis yang menyebabkan individu atau kelompok spesies tertentu memiliki
karakteristik berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, pada dasarnya semua orang
di bumi membawa informasi genetis sama. Namun ada yang bermata sipit, berambut
merah, berhidung mancung, atau ber-tubuh pendek, tergantung pada potensi
variasi informasi genetisnya.
Evolusionis menyebut variasi dalam suatu spesies sebagai bukti kebenaran
teorinya. Namun, variasi bukanlah bukti evolusi, karena variasi hanya hasil
aneka kombinasi informasi genetis yang sudah ada, dan tidak menambahkan
karakteristik baru pada informasi genetis.
Variasi selalu terjadi dalam batasan informasi genetis yang ada. Dalam ilmu
genetika, batas-batas ini disebut “kelompok gen” (gene pool). Variasi
menyebabkan semua karakteristik yang ada di dalam kelompok gen suatu spesies
bisa muncul dengan beragam cara. Misalnya pada suatu spesies reptil, variasi
menyebabkan kemunculan varietas yang relatif berekor panjang atau berkaki
pendek, karena baik informasi tentang kaki pendek maupun panjang terdapat dalam
kantung gen. Namun, variasi tidak mengubah reptil menjadi burung dengan
menambahkan sayap atau bulu-bulu, atau dengan mengubah metabolisme mereka.
Perubahan demikian memerlukan penambahan informasi genetis pada makhluk hidup,
yang tidak mungkin terjadi dalam variasi.
Darwin tidak mengetahui fakta ini ketika merumuskan teorinya. Ia mengira tidak ada
batas dalam variasi. Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada tahun 1844, ia
menyatakan: “Banyak ahli yang menganggap bahwa ada batas dalam variasi di alam,
namun saya belum menemukan satu bukti pun yang melandasi keyakinan ini”.1
Dalam The Origin of
Species, ia menyebutkan beragam contoh variasi sebagai bukti terpenting bagi
teorinya. Misalnya, menurut Darwin, para peternak yang mengawinkan beragam
varietas sapi untuk menghasilkan varietas baru yang menghasilkan susu lebih
banyak, akhirnya akan mengubah ternak itu menjadi spesies berbeda. Gagasan
Darwin tentang “variasi tanpa batas” jelas terungkap dalam kalimat dari The
Origin of Species:
Saya tidak melihat
kesulitan bagi suatu ras beruang, melalui seleksi alam, menjadi semakin terbiasa
dengan lingkungan akuatis, dengan mulut semakin lebar, sampai akhirnya menjadi
makhluk sebesar paus.2
Darwin mengemukakan
contoh yang berlebihan ini karena pemahaman yang primitif akan ilmu pengetahuan
di zamannya. Pada abad ke-20, ilmu pengetahuan telah menetapkan prinsip
“stabilitas genetis” (homeostasis genetis) berdasarkan hasil-hasil eksperimen
yang dilakukan pada makhluk-makhluk hidup. Prinsip ini menyatakan bahwa semua
usaha pengawinan untuk menghasilkan variasi-variasi baru tidak meyakinkan, dan
ada batasan-batasan ketat di antara spesies-spesies makhluk hidup yang berbeda.
Artinya, sangat mustahil para peternak dapat mengubah sapi menjadi spesies
berbeda dengan cara mengawinkan varietas-varietasnya, seperti dinyatakan
Darwin.
Norman Macbeth membantah
Darwinisme dalam bukunya Darwin Retried:
Inti masalahnya
adalah, kalaupun benar makhluk hidup dapat bervariasi tan-pa batas…
Spesies-spesies selalu stabil. Kita semua pernah mendengar bagaimana peternak
dan hortikulturis yang sudah berusaha sedemikian keras menjadi kecewa mendapati
hewan atau tumbuhan yang mereka kembangkan kembali ke varietas asal. Sekalipun
usaha keras dilakukan selama dua atau tiga abad, tidak mungkin dihasilkan mawar
biru atau tulip hitam.3
Luther Burbank*)
yang dianggap sebagai hortikulturis paling berhasil, mengungkap fakta ini saat
mengatakan “ada batas-batas dalam pengembangan yang mungkin terjadi, dan
batas-batas ini mengikuti suatu aturan”.4 Tentang hal ini, ilmuwan
Denmark, W.L. Johannsen berkomentar:
Variasi-variasi yang menjadi titik tekan Darwin dan Wallace tidak dapat
dipaksakan melampaui tahap tertentu. Variabilitas
seperti ini tidak me-miliki rahasia 'perubahan tanpa batas'.5
Pernyataan Evolusi
tentang Resistensi Antibiotis dan Kekebalan
Evolusionis mengajukan resistensi bakteri terhadap antibiotik dan kekebalan
beberapa jenis serangga terhadap DDT sebagai bukti evolusi. Mereka menyatakan
ini sebagai contoh resistensi dan kekebalan yang diperoleh akibat mutasi pada
makhluk hidup akibat bahan-bahan kimia tersebut.
Resistensi dan kekebalan yang muncul pada bakteri dan serangga ini bukan
sifat yang diperoleh akibat mutasi. Sebagian varietas dari makhluk hidup ini
memiliki karakteristik tersebut sebelum seluruh populasinya terkena antibiotik
atau DDT. Meski merupakan jurnal
evolusionis, Scientific American mengakui hal ini dalam edisi Maret 1998:
Banyak bakteri yang memiliki gen-gen resistensi, bahkan sebelum antibiotik
komersial digunakan. Para ilmuwan tidak tahu pasti mengapa gen-gen ini
berkembang dan dipertahankan.6
Tampaknya, informasi genetis yang mengandung resistensi dan sudah ada
sebelum penggunaan antibiotik ini tidak dapat dijelaskan oleh evolusionis. Ini
membuktikan kekeliruan teori mereka.
Fakta bahwa bakteri resisten ini sudah ada bertahun-tahun sebelum penemuan
antibiotik, diungkapkan dalam Medical Tribune, sebuah terbitan ilmiah
terkemuka, pada edisi 29 Desember 1998. Di situ diulas sebuah kejadian menarik:
dalam sebuah penelitian tahun 1986, ditemukan beberapa mayat yang terawetkan
dalam es. Mereka adalah pelaut yang sebelum-nya sakit dan meninggal ketika
melakukan ekspedisi kutub pada tahun 1845. Pada mayat-mayat tersebut ditemukan
jenis-jenis bakteri yang umum didapati pada abad ke-19. Ketika diuji, para
peneliti terkejut karena bakteri-bakteri ini resisten terhadap beragam
antibiotik modern yang baru dikembangkan pada abad ke-20.7
Adanya resistensi semacam ini pada banyak populasi bakteri sebelum
penisilin ditemukan merupakan fakta yang diketahui luas dalam lingkungan medis.
Karenanya, mendalilkan resistensi bakteri sebagai perkembangan evolusi adalah
bentuk penipuan. Lalu, bagaimana terjadinya proses “bakteri memperoleh
kekebalan”?
Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik
Dalam satu jenis bakteri terdapat variasi yang sangat beragam. Beberapa
memiliki informasi genetis untuk resisten terhadap obat-obatan, bahan kimia
atau zat-zat lain. Jika sekelompok bakteri terkena obat tertentu, yang tidak
resisten terhadap obat tersebut akan mati, sedangkan yang resisten akan tetap
hidup dan memiliki kesempatan berkembang biak. Bakteri tidak resisten
selanjutnya akan musnah dari populasi dan digantikan oleh bakteri resisten,
yang lalu berkembang pesat. Akhirnya koloni bakteri yang tertinggal hanya
terdiri dari individu-individu resisten terhadap antibiotik tersebut. Sejak itu
pula, antibiotik tersebut menjadi tidak efektif lagi terhadap bakteri jenis
ini. Hal penting yang harus diingat adalah bah-wa bakteri tersebut masih
bakteri yang sama dan begitu pula spesiesnya.
Penting untuk dicatat, bertentangan dengan pernyataan evolusionis, tidak
terjadi proses evolusi pada bakteri tersebut. Antibiotik tidak menyebabkan
bakteri tidak resisten bermutasi dan berubah menjadi jenis bakteri resisten,
dan karenanya memperoleh informasi genetis baru. Yang terjadi hanya kepunahan
variasi bakteri tidak resisten pada sebuah populasi yang terdiri dari variasi
bakteri resisten dan tidak resisten, yang hidup bersama sejak awal. Ini tidak
menandai kemunculan spesies bakteri baru. Ini bukan “evolusi”. Sebaliknya,
satu variasi atau lebih menjadi punah, menyebabkan hilangnya sebagian informasi
genetis; sebuah proses kebalikan dari evolusi.
Kekebalan Serangga terhadap DDT
Persoalan lain yang didistorsi evolusionis dan diajukan sebagai bukti
evolusi adalah kekebalan terhadap DDT yang tampaknya “diperoleh” serangga. Kekebalan ini berkembang
seperti resistensi bakteri terhadap antibiotik. Kekebalan serangga terhadap DDT
sama sekali tidak dapat dikatakan “diperoleh” oleh individu-individu di dalam
populasi. Beberapa serangga telah kebal terhadap DDT. Setelah DDT ditemukan,
serangga yang tidak memiliki kekebalan bawaan dan terkena zat kimia ini akan
punah dari populasinya. Sejalan dengan waktu, serangga kebal yang sebelumnya
sedikit menjadi bertambah banyak. Akhirnya, seluruh spesies tersebut menjadi
populasi dengan anggota-anggota kebal terhadap DDT. Ketika ini terjadi, DDT
menjadi tidak efektif lagi terhadap spesies serangga tersebut. Untuk
menyesatkan, fenomena ini biasa dirujuk sebagai “perolehan kekebalan serangga
terhadap DDT”.
Ahli biologi evolusionis, Francisco Ayala, mengakui fakta ini dengan
mengatakan, “Varian-varian genetis yang dibutuhkan agar resisten terhadap jenis
pestisida yang sangat beraneka tampaknya telah ada pada setiap anggota populasi
yang terkena senyawa buatan manusia ini”.8
Karena menyadari bahwa kebanyakan orang tidak berkesempatan mempelajari
atau melakukan riset mikrobiologi, evolusionis membuat kebohongan
terang-terangan berkaitan dengan resistensi dan kekebalan. Mereka sering
mengemukakan contoh-contoh tadi sebagai bukti penting bagi evolusi. Kini sudah
jelas bahwa resistensi bakteri terhadap antibiotik dan kekebalan serangga
terhadap DDT tidak memberikan bukti apa pun bagi evolusi. Yang justru terungkap
adalah contoh nyata penyimpangan dan kebohongan yang dilakukan evolusionis
untuk membenarkan teori mereka.
Kekeliruan tentang Organ-Organ Peninggalan
Sejak lama, konsep “organ vestigial”*) atau “organ peninggalan” sering
muncul dalam literatur evolusionis sebagai “bukti” evolusi. Pada akhirnya
konsep ini diam-diam tidak digunakan lagi ketika terbukti tidak absah. Namun
beberapa evolusionis masih meyakininya dan kadang-kadang masih ada saja yang
mencoba mengajukannya sebagai bukti penting evolusi.
Gagasan “organ peninggalan” pertama kali dikemukakan seabad lalu. Menurut
evolusionis, di dalam tubuh beberapa jenis makhluk hidup terdapat sejumlah
organ-organ tubuh yang tidak fungsional. Organ-organ ini diwarisi dari nenek moyang mereka
dan perlahan-lahan menjadi peninggalan karena tidak digunakan.
Semua asumsi ini sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan pada
pengetahuan yang tidak memadai. “Organ-organ
tidak fungsional” ini pada kenyataannya adalah organ-organ yang “fungsinya
belum diketahui”. Ini ditunjukkan dengan berkurangnya organ peninggalan sedikit
demi sedikit tetapi pasti dari daftar panjang evolusionis. Seorang evolusionis
bernama S.R. Scadding, dalam tulisannya untuk majalah Evolutionary Theory yang
berjudul “Can Vestigial Organs Constitute Evidence for Evolution?” (“Dapatkan
Organ Peninggalan Menjadi Bukti Evolusi?”), menyetujui fakta ini:
Karena tidak mungkin
mengidentifikasi secara pasti struktur-struktur tidak berguna, dan karena
struktur argumen yang digunakan tidak absah secara keilmuan, saya menyimpulkan
bahwa “organ-organ peninggalan” tidak memberikan bukti khusus bagi teori
evolusi.9
Daftar organ
peninggalan yang dibuat ahli anatomi Jerman R. Wiedersheim pada tahun 1895
terdiri dari sekitar 100 organ, termasuk usus buntu dan tulang ekor. Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, ternyata semua organ dalam daftar ini diketahui
berfungsi penting dalam tubuh. Misalnya, usus buntu yang semula dianggap
sebagai organ peninggalan ternyata merupakan organ limfoid *) yang memerangi
infeksi dalam tubuh. Fakta ini menjadi jelas pada tahun 1997: “Organ-organ dan
jaringan tubuh lainnya — kelenjar timus, hati, limpa, usus buntu, sumsum
tulang, sejumlah jaringan limfatis seperti amandel dan lempeng Peyer pada usus
kecil — juga merupakan bagian dari sistem limfatis. Semuanya membantu tubuh
memerangi infeksi.”10
Ditemukan bahwa
amandel, yang juga digolongkan organ peninggalan, berperan penting dalam
melindungi kerongkongan dari infeksi, khususnya sampai usia dewasa. Tulang ekor
pada bagian bawah tulang belakang ternyata menyokong tulang-tulang di sekitar
panggul dan merupakan titik temu dari beberapa otot kecil. Tahun-tahun
berikutnya diketahui bahwa kelenjar timus memicu sistem kekebalan tubuh dengan
mengaktifkan sel-sel T; kelenjar pineal berperan dalam sekresi beberapa hormon
penting; kelenjar gondok menunjang pertumbuhan yang baik pada bayi dan
anak-anak; dan kelenjar pituitari mengendalikan banyak kelenjar-kelenjar hormon
agar berfungsi dengan benar. Sebelumnya, semua organ ini dianggap sebagai
“organ peninggalan”. Lipatan cekung di ujung mata yang diajukan Darwin sebagai
organ peninggalan ternyata berperan membersihkan dan melumasi bola mata.
Ada kesalahan logika
yang sangat penting dalam pernyataan evolusionis tentang organ peninggalan.
Evolusionis menyatakan bahwa organ-organ peninggalan suatu individu diwarisi
dari nenek moyangnya. Namun, beberapa organ yang disebut sebagai “peninggalan”
tidak ditemui pada spesies hidup yang dinyatakan sebagai nenek moyang manusia!
Contoh-nya, usus buntu tidak dimiliki beberapa spesies kera yang disebut
sebagai nenek moyang manusia. Ahli biologi terkenal, H. Enoch, penentang teori organ
peninggalan, menyatakan kesalahan logika ini sebagai berikut:
Kera memiliki usus buntu, sedangkan kerabat terdekat di bawahnya tidak;
usus buntu ini muncul lagi pada hewan mamalia lain yaitu opossum. Bagaimana
evolusionis dapat menjelaskan kenyataan ini?11
Singkatnya, skenario organ peninggalan yang dikemukakan evolusionis
mengandung sejumlah cacat logika serius dan secara ilmiah telah terbukti
keliru. Dalam tubuh manusia tidak ada
organ peninggalan yang diwariskan karena manusia tidak berevolusi dari makhluk
lain secara kebetulan. Manusia diciptakan dalam bentuknya seperti sekarang,
lengkap dan sempurna.
Mitos Homologi
Dalam ilmu biologi,
kemiripan struktural di antara spesies yang berbeda disebut “homologi”.
Evolusionis mencoba mengajukan kemiripan tersebut sebagai bukti evolusi.
Darwin mengira bahwa
makhluk-makhluk dengan organ yang mirip (homolog) memiliki hubungan evolusi di
antara mereka, dan organ-organ ini diwarisi dari nenek moyang yang sama.
Menurut asumsinya, merpati dan elang memiliki sayap; karena itu merpati, elang
dan bahkan semua unggas bersayap berevolusi dari nenek moyang yang sama.
Homologi merupakan argumen menyesatkan yang dikemukakan hanya berdasarkan
kemiripan fisik. Sejak zaman Darwin hingga sekarang, argumen ini belum pernah dibuktikan
oleh satu temuan konkret pun. Tidak pernah ditemukan satu pun fosil nenek
moyang imajiner yang memiliki struktur-struktur homolog. Lagi pula, hal-hal
berikut ini memperjelas bahwa homologi tidak membuktikan bahwa evolusi telah
terjadi:
1. Organ-organ homolog ditemukan pula pada spesies-spesies yang sangat
berbeda, yang bahkan evolusionis pun tidak dapat menunjukkan hubungan evolusi
di antara spesies-spesies tersebut.
2. Kode-kode genetis beberapa makhluk yang memiliki organ-organ homolog
sama sekali berbeda satu sama lain.
3. Perkembangan embriologis organ-organ homolog benar-benar berbeda pada
makhluk-makhluk yang berbeda.
Mari kita lihat
hal-hal ini satu per satu.
Organ-organ Serupa pada Spesies yang Berbeda
Ada sejumlah organ
homolog yang sama-sama dimiliki berbagai spesies berbeda, namun evolusionis
tidak mampu menunjukkan hubungan evolusi di antara mereka. Misalnya sayap.
Selain pada burung, sayap terdapat pula pada hewan mamalia (seperti kelelawar),
pada serangga, bahkan pada jenis reptil yang telah punah (beberapa dinosaurus).
Tetapi evolusionis tidak menyatakan hubungan evolusi atau kekerabatan di antara
keempat kelompok hewan ini.
Contoh mencolok
lainnya adalah kemiripan yang menakjubkan pada struktur mata berbagai jenis
makhluk. Misalnya, walau gurita dan manusia adalah dua spesies yang jauh
berbeda, struktur dan fungsi keduanya sangat mirip. Namun evolusionis tidak
menyatakan bahwa mereka mempunyai nenek moyang yang sama karena kemiripan mata.
Contoh-contoh ini, dan banyak lagi lainnya, memastikan bahwa pernyataan
“organ-organ homolog membuktikan spesies makhluk hidup berevolusi dari satu
nenek moyang yang sama” tidak memiliki landasan ilmiah.
Konsep organ-organ
homolog justru sangat mempermalukan evolusionis. Pengakuan evolusionis
terkenal, Frank Salisbury, tentang kemiripan mata berbagai spesies yang sangat
berbeda menegaskan kebuntuan konsep homologi:
Bahkan struktur
sekompleks mata telah muncul beberapa kali; misalnya pada cumi-cumi, vertebrata
dan artropoda. Menjelaskan salah satu asal usul struktur tersebut saja sudah
sangat sulit, memikirkan produksi struktur tersebut berulang-ulang sesuai
dengan teori sintetis modern membuat kepala saya pusing.12
Kebuntuan Genetis dan Embriologis pada Homologi
Agar konsep “homologi” evolusionis bisa diakui, organ-organ serupa
(homolog) pada makhluk yang berbeda harus dikode oleh kode-kode DNA yang juga
serupa (homolog). Namun kenyataannya tidak demikian. Dalam kebanyakan kasus, kode
genetis mereka sangat berbeda. Justru, kode-kode genetis serupa pada berbagai
makhluk sering terkait dengan organ-organ yang sama sekali berbeda.
Michael Denton, profesor biokimia Australia, dalam bukunya Evolution: A
Theory in Crisis, menjelaskan kebuntuan evolusionis menafsirkan homologi dari
sudut genetika: “Struktur-struktur homolog sering ditentukan oleh sistem
genetis yang tidak homolog, dan konsep homologi jarang bisa dirunut ke dalam
embriologi.”13
Agar konsep homologi dianggap sah, perkembangan embriologis (tahap-tahap
perkembangan pada telur atau rahim induk) pada spesies-spesies dengan
organ-organ homolog seharusnya memiliki kecenderungan atau arah yang sama.
Nyatanya, perkembangan embriologis organ-organ tersebut sangat berbeda pada
setiap makhluk hidup.
Sebagai kesimpulan, dapat kita katakan bahwa riset genetis dan embriologis
telah membuktikan bahwa konsep homologi yang dinyatakan Darwin sebagai “bukti
evolusi makhluk-makhluk hidup dari nenek mo-yang yang sama” tidak dapat
dianggap sebagai bukti sama sekali. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan telah
berkali-kali membuktikan bahwa tesis Darwin salah.
Ketidakabsahan Pernyataan Homologi Molekuler
Pengajuan homologi sebagai bukti evolusi tidak saja gagal pada tingkat
organ tetapi juga pada tingkat molekuler. Evolusionis mengatakan bahwa ada
kemiripan antara kode-kode DNA atau struktur-struktur protein pada
spesies-spesies berbeda, dan kemiripan ini membuktikan makhluk-makhluk hidup
ini telah berevolusi dari nenek moyang yang sama atau dari satu sama lain.
Sebagai contoh, media evolusionis senantiasa menyatakan bahwa “ada kemiripan
besar antara DNA manusia dan DNA kera”. Kemiripan ini dikemukakan sebagai bukti
hubungan evolusi antara manusia dan kera.
Contoh paling berlebihan dari argumen ini mengacu pada terdapatnya 46
kromosom pada manusia dan 48 pada beberapa jenis kera seperti simpanse.
Evolusionis menganggap kedekatan jumlah kromosom antara spesies yang berbeda
merupakan bukti hubungan evolusi. Namun, jika hal ini benar, maka manusia
memiliki kerabat lebih dekat: kentang. Dibandingkan dengan kera atau simpanse,
kentang memiliki jumlah kromosom lebih dekat dengan jumlah kromosom manusia,
yaitu 46! Dengan kata lain, manusia dan kentang memiliki jumlah kromosom yang
sama! Contoh nyata tetapi menggelikan ini menunjukkan bah-wa kemiripan DNA
tidak dapat dijadikan bukti hubungan evolusi.
Di sisi lain, terdapat perbedaan molekuler yang sangat besar di antara
makhluk-makhluk yang tampaknya mirip dan berkerabat. Sebagai contoh, struktur
Sitokrom-C, salah satu protein penting bagi pernapasan, sangat berbeda pada
makhluk-makhluk hidup dalam kelas yang sama.
Menurut hasil riset, perbedaan antara dua spesies reptil lebih besar
dibandingkan perbedaan antara burung dan ikan atau antara ikan dan mamalia.
Studi lain menunjukkan bahwa perbedaan molekuler antara beberapa burung lebih
besar dibandingkan perbedaan molekuler antara burung-burung tersebut dengan
mamalia. Telah ditemukan pula bahwa antara bakteri-bakteri yang tampaknya sama
ternyata ada perbedaan molekuler lebih besar dibandingkan perbedaan molekular
antara mamalia dan amfibi atau serangga.14 Perbandingan serupa telah
dilakukan pada hemoglobin, mioglobin, hormon-hormon dan gen-gen dengan
kesimpulan yang sama.15
Berkenaan dengan temuan ini dan temuan terkait lainnya, Dr. Michael Denton
berkomentar:
Masing-masing kelas pada tingkat molekuler adalah unik, terisolasi dan
tidak dihubungkan oleh bentuk antara. Jadi, molekul-molekul, seperti halnya
fosil-fosil, telah gagal menyediakan bentuk antara yang selama ini dicari oleh
biologi evolusioner… Pada tingkat molekuler, tidak ada organisme “nenek moyang”
atau “lebih primitif” atau “lebih maju” di-bandingkan kerabatnya... Apabila
bukti molekuler ini diketahui satu abad yang lalu... gagasan evolusi organis
ini mungkin tidak akan pernah diterima.16
Mitos Rekapitulasi Embriologis
Meskipun telah disingkirkan dari literatur ilmiah, beberapa terbitan
evolusionis masih sering mengajukan “teori rekapitulasi” sebagai realitas
ilmiah. Istilah “rekapitulasi” adalah peringkasan dari ungkapan “Ontogeni
merekapitulasi filogeni” yang dikemukakan ahli biologi evolusionis, Ernst
Haeckel, pada akhir abad ke-19.
Teori yang diajukan Haeckel ini menyatakan bahwa embrio-embrio mengulangi
proses evolusi yang telah dialami nenek-nenek moyangnya. Haeckel berteori bahwa
selama masa perkembangan di dalam rahim ibu, embrio manusia menunjukkan
karakteristik ikan, kemudian karakteristik reptil, dan akhirnya karakteristik
manusia.
Tahun-tahun selanjutnya, terbukti bahwa teori ini sama sekali keliru. Yang
dianggap “insang” pada tahap awal embrio ternyata adalah fase awal saluran
telinga bagian tengah, kelenjar paratiroid dan kelenjar timus. Bagian embrio
yang menyerupai “kantung kuning telur” ternyata adalah kantung yang
menghasilkan darah bagi bayi. Bagian yang dianggap “ekor” oleh Haeckel dan
pengikutnya ternyata adalah tulang punggung yang menyerupai ekor hanya karena
terbentuk lebih dulu daripada kaki.
Ini adalah fakta-fakta yang telah diakui luas dalam dunia ilmiah, bahkan
diterima oleh evolusionis sendiri. Salah satu pendiri neo-Darwinisme, George
Gaylord Simpson, menulis:
Haeckel keliru menggunakan prinsip evolusi. Kini telah diketahui pasti
bahwa ontogeni tidak mengulangi filogeni.17
Dalam sebuah artikel American Scientist dinyatakan:
Tentu saja hukum biogenetis benar-benar telah mati. Hukum ini akhirnya
disingkirkan dari buku-buku pelajaran biologi pada tahun lima puluhan. Sebagai
sebuah topik penelitian teoretis yang serius, hukum ini telah punah pada tahun
dua puluhan…18
Aspek lain yang menarik dari “rekapitulasi” adalah Ernst Haeckel sendiri,
yang membuat ilustrasi palsu untuk mendukung teorinya. Haeckel menggambarkan
seolah-olah embrio ikan dan embrio manusia mirip satu sama lain. Ketika hal ini
diketahui, ia hanya bisa berdalih bahwa evolusionis lain telah melakukan hal
yang sama:
Setelah setuju membuat pengakuan tentang “pemalsuan” ini, saya seharusnya
merasa terhukum dan hancur, kalau saja tidak terhibur dengan melihat di samping
saya ada ratusan rekan terhukum dalam kerangkeng tawanan. Banyak di antara mereka
yang merupakan peneliti terpercaya dan ahli biologi terhormat. Sebagian besar
diagram dalam buku-buku pelajaran, risalah-risalah dan jurnal-jurnal biologi
terbaik, akan menerima tuduhan “pemalsuan” dalam kadar yang sama, karena
semuanya tidak pasti dan sedikit banyak telah ditambah, dikurangi dan
direkayasa.19
Memang benar “ada ratusan rekan terhukum, banyak di antara mereka adalah
peneliti terpercaya dan ahli biologi terhormat” yang memberikan kajian-kajian
penuh dengan kesimpulan berpraduga, distorsi, dan bahkan pemalsuan. Ini terjadi
karena mereka mengondisikan dirinya untuk memperjuangkan teori evolusi meski
tak ada secuil bukti ilmiah pun yang mendukungnya.
1) Loren C. Eiseley, The Immense Journey, Vintage
Books, 1958, hlm. 186.
2) Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile
of the First Edition, Harvard University Press, 1964, hlm. 184
3) Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to
Reason, Harvard Common Press, New York: 1971, hlm. 33.
*) Hortikulturis Amerika
yang telah mengembangkan banyak varietas baru buah-buahan, sayur-sayuran dan
bunga, termasuk kentang Burbank dan bunga aster Shasta
4) Ibid, hlm. 36.
5) Loren Eiseley, The Immense Journey, Vintage Books,
1958. hlm. 227.
6) Stuart B. Levy, "The Challenge of Antibiotic
Resistance", Scientific American, Maret 1998, hlm. 35.
7) Medical Tribune, 29 Desember 1988, hlm. 1, 23.
8) Francisco J. Ayala, "The Mechanisms of
Evolution", Scientific American, Vol. 239, September 1978, hlm. 64.
*) dari bahasa Latin vestigium, artinya jejak
9) S. R.
Scadding, "Do 'Vestigial Organs' Provide Evidence for Evolution?",
Evolutionary Theory, Vol 5, Mei 1981, hlm. 173.
*) penghasil
limfa / getah bening
10) The Merck Manual of Medical Information, Home
edition, New Jersey: Merck & Co., Inc. The Merck Publishing Group, Rahway,
1997.
11) H. Enoch, Creation and Evolution, New York: 1966,
hlm. 18-19.
12) Frank Salisbury, "Doubts About the Modern
Synthetic Theory of Evolution", American Biology Teacher, September 1971,
hlm. 338.
13) Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis.
London, Burnett Books, 1985, hlm. 145.
14) W. R. Bird, The Origin of Species Revisited,
Thomas Nelson Co., Nashville: 1991, hlm. 98-99; Percival Davis, Dean Kenyon, Of
Pandas and People, Haughton Publishing Co., 1990, hlm. 35-38.
15) W. R. Bird, The Origin of Species Revisited, hlm.
98-99, 199-202.
16) Michael Denton, Evolution: A Theory in Crisis.
London, Burnett Books, 1985, hlm. 290-291.
17) G. G. Simpson, W. Beck, An Introduction to
Biology, New York, Harcourt Brace and World, 1965, hlm. 241.
18) Keith S. Thompson, "Ontogeny and Phylogeny
Recapitulated", American Scientist, Vol 76, Mei/Juni 1988, hlm. 273.
19) Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where
Darwin Went Wrong, New York: Ticknor and Fields 1982, hlm. 204.
Variasi dalam Spesies Bukanlah Evolusi
Dalam buku Origins, Darwin mengacaukan dua konsep: variasi dalam spesies
dan kemunculan spesies baru. Berdasarkan pengamatannya atas varietas-varietas
anjing, Darwin mengira bahwa suatu saat berbagai varietas ini akan berubah
menjadi spesies baru. Sampai sekarang, evolusionis berusaha menunjukkan variasi
dalam spesies sebagai bentuk evolusi. Padahal fakta ilmiah membuktikan bahwa
variasi dalam sebuah spesies bukanlah evolusi. Misalnya, sebanyak apa pun
varietas dalam spesies anjing di alam, atau yang dibiakkan oleh manusia, mereka
tetap anjing. Tidak akan ada peralihan dari satu spesies ke spesies lainnya.
APAKAH IKAN PAUS BEREVOLUSI DARI BERUANG?
Dalam buku The Origin of Species, Darwin menyatakan bahwa paus berevolusi
dari beruang yang berusaha berenang! Darwin telah keliru menganggap bahwa
kemungkinan variasi dalam spesies tidak terbatas. Ilmu pengetahuan abad ke-20
telah menunjukkan bahwa skenario evolusi ini hanya khayalan.
Manusia Tidak Memiliki Insang
Setelah dianggap sebagai warisan dari nenek moyang, lipatan-lipatan pada
embrio manusia kini didefinisikan kembali. Telah terbukti bahwa embrio manusia
tidak merekapitulasi sejarah evolusi manusia.
BAB 14
Teori Evolusi: Kewajiban
Materialistis
Informasi yang telah disampaikan sejauh ini menunjukkan bahwa teori evolusi
tidak memiliki dasar ilmiah; dan sebaliknya, pernyataan-pernyataan evolusi
bertentangan dengan temuan-temuan ilmiah. Dengan kata lain, kekuatan yang
menyokong evolusi bukanlah ilmu pengetahuan. Evolusi memang dibela oleh
beberapa "ilmuwan", tetapi pasti ada kekuatan lain yang berperan.
Kekuatan ini adalah filsafat materialis.
filsafat materialis merupakan salah satu sistem pemikiran tertua dalam
sejarah manusia. Karakteristiknya yang paling mendasar adalah anggapan bahwa
materi itu absolut. Menurut filsafat ini, materi tidak terbatas (infinite), dan segala sesuatu
terdiri dari materi, dan hanya materi. Pendekatan ini menutup kemungkinan
terhadap kepercayaan kepada Pencipta. Oleh sebab itu, materialisme sejak lama
memusuhi agama-agama yang memiliki keyakinan terhadap Allah.
Jadi, pertanyaannya sekarang: apakah cara pandang materialis itu benar?
Untuk mengujinya, kita harus menyelidiki pernyataan-pernyataan filsafat
tersebut yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. Misalnya, seorang filsuf abad ke-10 dapat mengatakan
bahwa ada pohon keramat di permukaan bulan, dan semua makhluk hidup tumbuh
seperti buah pada cabang-cabangnya lalu jatuh ke bumi. Sebagian orang mungkin
menganggap filsafat ini menarik dan mempercayainya. Namun pada abad ke-20,
ketika manusia telah sampai ke bulan, filsafat semacam ini tidak mungkin
dikemukakan. Ada atau tidaknya pohon semacam itu di sana dapat ditentukan
dengan metode-metode ilmiah, yaitu dengan pengamatan dan eksperimen.
Dengan metode ilmiah, kita dapat menyelidiki pernyataan materialis bahwa
materi itu abadi, dan materi ini dapat mengorganisir diri tanpa memerlukan
Pencipta serta mampu memunculkan kehidupan. Namun sejak awal, kita melihat
bahwa materialisme telah runtuh karena gagasan ten-tang kekekalan materi telah
dihancurkan oleh teori Dentuman Besar (Big Bang), yang menunjukkan bahwa jagat
raya diciptakan dari ketiadaan. Pernyataan bahwa materi dapat mengorganisir diri
dan memunculkan kehidupan adalah pernyataan “teori evolusi” — teori yang telah
dibahas oleh buku ini dan ditunjukkan keruntuhannya.
Akan tetapi, jika seseorang berkeras mempercayai materialisme dan
mendahulukan kesetiaan pada paham ini daripada hal-hal lainnya, maka ia tidak
akan menggunakan metode ilmiah. Jika orang tersebut “mendahulukan
materialismenya daripada keilmuwanannya”, maka ia tidak akan meninggalkan
materialisme sekali pun tahu bahwa konsep evolusi tidak diakui ilmu
pengetahuan. Sebaliknya, ia berusaha menegakkan dan menyelamatkan paham ini
dengan mendukung konsep evolusi apa pun yang terjadi. Inilah keadaan sulit yang
dihadapi evolusionis.
Yang menarik, ternyata mereka pun mengakui fakta ini dari waktu ke waktu. Ahli genetika evolusionis
terkenal dari Universitas Harvard, Richard C. Lewontin, mengakui bahwa dia
“materialis dulu baru ilmuwan” dengan kata-kata berikut:
Bukan metode dan penemuan-penemuan ilmiah yang mendorong kami menerima
penjelasan material tentang dunia yang fenomenal ini. Sebaliknya, kami dipaksa
oleh keyakinan apriori kami terhadap prinsip-prinsip material untuk menciptakan
perangkat penyelidikan dan serangkaian konsep yang menghasilkan penjelasan
material, betapa pun bertentangan dengan intuisi, atau membingungkan
orang-orang yang tidak berpengetahuan. Lagi-pula, materialisme itu absolut,
jadi kami tidak bisa membiarkan Kaki Tuhan masuk.1
Istilah “apriori” yang digunakan Lewontin ini sangat penting. Istilah
filosofis ini merujuk pada praduga tanpa dasar pengetahuan eksperimental.
Sebuah pemikiran dikatakan “apriori” jika Anda menganggapnya benar dan
menerimanya, meskipun tidak ada informasi tentang kebenaran pemikiran tersebut.
Seperti yang diungkapkan Lewontin secara jujur, materialisme adalah sebuah
“apriori” yang memang disediakan bagi evolusionis dan mereka mencoba
menyesuaikan ilmu pengetahuan dengannya. Karena materialisme mengharuskan
pengingkaran akan keberadaan Pencipta, mereka memilih satu-satunya alternatif
yang mereka miliki, yaitu teori evolusi. Mereka tidak peduli jika evolusi telah
menyimpang dari fakta-fakta ilmiah. Ilmuwan seperti mereka telah menerima
“apriori” sebagai kebenaran.
Sikap berprasangka ini membawa evolusionis kepada keyakinan bah-wa “materi
yang tak berkesadaran telah membentuk diri sendiri”, yang bertentangan dengan
ilmu pengetahuan juga akal sehat. Profesor kimia yang juga pakar DNA dari
Universitas New York, Robert Shapiro, seperti telah dikutip sebelumnya,
menjelaskan keyakinan evolusionis dan dogma materialis ini sebagai berikut:
Maka diperlukan prinsip evolusi lain untuk menjembatani antara
campuran-campuran kimia alami sederhana dengan replikator efektif pertama.
Prinsip ini belum dijelaskan secara teperinci ataupun didemonstrasikan, namun
telah diantisipasi dan diberi nama evolusi kimia dan pengorganisasian materi
secara mandiri. Keberadaan prinsip ini diterima sebagai keyakinan dalam
filsafat materialisme dialektis, sebagaimana diterapkan pada asal-usul
kehidupan oleh Alexander Oparin.2
Propaganda evolusionis yang selalu kita temui dalam media terkemuka di
Barat serta majalah-majalah ilmu pengetahuan terkenal dan bergengsi, muncul
dari keharusan ideologis ini. Karena dirasa sangat diperlukan, evolusi
dikeramatkan oleh kalangan yang menetapkan standar-standar ilmu pengetahuan.
Demi menjaga reputasi, beberapa ilmuwan terpaksa mempertahankan teori yang
berlebihan ini, atau setidaknya berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang
bertentangan dengannya. Akademisi di negara-negara Barat diharuskan menerbitkan
artikel mereka di majalah-majalah ilmu pengetahuan tertentu untuk mendapatkan
dan mempertahankan posisi “keprofesoran”. Semua majalah yang berhubungan dengan
biologi dikendalikan oleh evolusionis, dan mereka tidak mengizinkan artikel
anti evolusi muncul di majalah mereka. Karenanya, setiap ahli biologi harus
melakukan studinya di bawah dominasi teori evolusi. Mereka juga bagian dari
tatanan mapan yang memandang evolusi sebagai keharusan ideologis. Itulah
sebabnya mereka secara buta membela “kebetulan-kebetulan mustahil” yang telah
kita bicarakan sejauh ini.
Pengakuan-pengakuan Materialis
Pernyataan ahli biologi evolusionis terkenal dari Jerman, Hoimar Von
Dithfurt, merupakan contoh nyata pemahaman materialis yang fanatik. Setelah
mengutarakan contoh susunan kehidupan yang sangat kompleks, selanjutnya ia
mengungkapkan kemungkinan kehidupan muncul secara kebetulan:
Mungkinkah keserasian seperti itu terjadi secara kebetulan? Inilah
pertanyaan mendasar dari keseluruhan evolusi biologis. Menjawabnya dengan “Ya,
mungkin” berarti membuktikan kesetiaan pada ilmu alam modern. Secara kritis
dapat dikatakan, mereka yang menerima ilmu alam modern tidak punya pilihan
selain mengatakan “ya”, karena dengan ini dia akan dapat menjelas-kan fenomena
alam melalui cara-cara yang mudah dipahami dan merujuk pada hukum-hukum alam
tanpa menyertakan campur tangan metafisis. Bagaimanapun, menjelaskan segala
sesuatu dengan hukum alam, yakni konsep kebetulan, merupakan pertanda bahwa
tidak ada lagi jalan baginya. Karena, apa yang dapat dilakukannya selain
mempercayai konsep kebetulan? 3
Memang, seperti yang dikatakan Dithfurt, penyangkalan “campur tangan
supranatural” dipilih sebagai prinsip dasar pendekatan ilmiah materialis untuk
menjelaskan kehidupan. Begitu prinsip ini dipilih, kemungkinan paling mustahil
pun dapat diterima. Contoh-contoh mentalitas dogmatis ini dapat kita temui
dalam semua literatur evolusionis. Pendukung teori evolusi terkenal dari Turki,
Profesor Ali Demirsoy, hanyalah salah satu dari mereka. Seperti dijelaskan pada
bagian terdahulu, menurut Demirsoy: probabilitas pembentukan secara kebetulan
Sitokrom-C, protein penting untuk kelanjutan hidup, adalah “sama dengan
kemungkinan seekor monyet menulis sejarah manusia dengan mesin tik tanpa
membuat kesalahan sedikit pun”.4
Tidak diragukan lagi, menyetujui kemungkinan semacam itu bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar nalar dan akal sehat. Satu huruf saja di atas
kertas sudah pasti ditulis manusia, apalagi buku sejarah dunia. Tak ada orang
waras yang akan setuju bahwa huruf-huruf dalam buku tebal tersebut tersusun
“secara kebetulan”.
Akan tetapi, sangat menarik untuk mengetahui bagaimana “ilmuwan
evolusionis” seperti Profesor Ali Dermisoy menerima pernyataan tidak masuk akal
semacam ini:
Pada dasarnya, kemungkinan pembentukan rangkaian sitokrom-C mendekati nol.
Jadi, jika kehidupan memerlukan sebuah rangkaian, dapat dikatakan bahwa
probabilitasnya kejadiannya hanya satu kali di seluruh alam semesta. Lebih dari
itu, suatu kekuatan metafisis di luar definisi kita pasti telah melakukan
pembentukan tersebut. Menerima pernyataan terakhir berarti tidak sesuai dengan
tujuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu kita harus meng-ambil hipotesis
pertama. 5
Selanjutnya Demirsoy menyatakan bahwa ia menerima kemustahilan ini agar
“tidak usah menerima kekuatan-kekuatan metafisis”, artinya agar tidak mengakui
penciptaan oleh Allah. Sangat jelas, pendekatan seperti ini tidak memiliki
hubungan apa pun dengan ilmu pengetahuan. Karenanya tidak mengherankan jika saat
Demirsoy berbicara mengenai asal usul mitokondria dalam sel, ia mengakui secara
terbuka bahwa ia menerima penjelasan konsep kebetulan ini meskipun sebenarnya
"sangat bertentangan dengan pemikiran ilmiah".
Inti permasalahannya adalah bagaimana mitokondria mendapatkan sifat ini,
karena untuk mendapatkannya secara kebetulan, bahkan oleh satu individu pun,
memerlukan probabilitas yang sulit diterima akal…. Sebagai alat respirasi dan
katalis pada setiap langkah dalam bentuk berbeda, enzim ini membentuk inti dari
mekanisme. Sebuah sel harus mengandung rangkaian enzim ini secara lengkap. Jika
tidak, sel tersebut tidak akan berarti. Di sini, meskipun bertentangan dengan
pemikiran biologis, untuk menghindari penjelasan yang lebih dogmatis atau
spekulasi, mau tidak mau kita harus menerima bahwa semua enzim respirasi telah
tersedia lengkap di dalam sel sebelum sel pertama menggunakan oksigen.6
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa evolusi sama sekali bukan
teori yang dihasilkan melalui penelitian ilmiah. Sebaliknya, bentuk dan
substansi teori ini ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan filsafat materialistis.
Selanjutnya teori ini menjadi kepercayaan atau dogma, walau-pun bertentangan
dengan fakta-fakta ilmiah konkret. Lagi-lagi kita dapat melihat dengan jelas dari
literatur evolusionis bahwa semua usaha ini benar-benar memiliki “tujuan”.
Tujuannya adalah menghalangi setiap kepercayaan bahwa semua makhluk hidup
diciptakan oleh Sang Pencipta.
Oleh evolusionis
tujuan ini didefinisikan sebagai “ilmiah”. Namun, rujukannya bukan ilmu
pengetahuan melainkan filsafat materialis. Materialisme secara mutlak menolak
keberadaan apa pun “di luar“ materi (atau apa pun yang supranatural). Ilmu
pengetahuan sendiri tidak diharuskan menerima dogma semacam itu. Ilmu
pengetahuan berarti menyelidiki alam dan membuat kesimpulan-kesimpulan
berdasarkan apa-apa yang ditemukan. Jika penemuan-penemuan ini menyimpulkan
bahwa alam ini diciptakan, ilmu pengetahuan harus menerimanya. Demikianlah
tugas seorang ilmuwan sejati; dan bukan mempertahankan skenario mustahil dengan
berpegang teguh pada dogma-dogma materialis kuno abad ke-19.
Materialis, Agama
Palsu dan Agama Sejati
Sejauh ini, kita
telah membahas bagaimana kelompok yang setia kepada filsafat materialis
mengacaukan ilmu pengetahuan, menipu orang un-tuk kepentingan dongeng
evolusionis yang mereka yakini secara buta, dan bagaimana mereka menutupi
kenyataan. Namun di samping itu, kita juga harus mengakui bahwa kelompok
materialis ini memberikan “layanan” berarti, walaupun tanpa disengaja.
Mereka melakukan
“layanan” ini dalam usaha membenarkan pemikiran-pemikiran mereka yang
menyimpang dan ateis, dengan cara memaparkan semua kejanggalan dan
ketidakkonsistenan tradisionalis dan pemikiran fanatik yang mengatasnamakan
Islam. Serangan-serangan kelompok ateis-materialis membantu mengungkap agama
palsu yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan Al Quran atau Islam. Agama palsu ini biasanya
berdasarkan pada kabar angin, takhayul, dan omong kosong, dan tidak memiliki
argumen konsisten untuk dikemukakan. Agama palsu ini dibela oleh
kelompok-kelompok yang tidak memiliki kesungguhan dalam keyakinannya dan dengan
seenaknya bertindak atas nama Islam tanpa bukti-bukti yang benar. Berkat
kelompok ateis-materialis, ketidakkonsistenan, penyimpangan dan ketidaklogisan
agama palsu terungkap.
Jadi, materialis membantu masyarakat menyadari kesuraman mentalitas
tradisional fanatik, dan mendorong mereka mencari inti dan sumber agama
sesungguhnya dengan merujuk dan mematuhi Al Quran. Tanpa sengaja, mereka
mematuhi perintah Allah dan menegakkan agama-Nya. Lebih jauh lagi, mereka
menyingkapkan semua kekerdilan mentalitas yang mendirikan agama palsu atas nama
Allah dan menawarkannya sebagai Islam kepada semua orang. Mereka juga membantu
melemahkan gerakan sistem fanatik yang mengancam masyarakat luas.
Jadi mau tak mau dan sesuai dengan takdir, mereka menjadi alat untuk
mewujudkan firman Allah bahwa Dia menegakkan agama sejati-Nya melalui
pertentangan orang-orang yang mengatasnamakan agama. Hukum Allah ini dinyatakan dalam
Quran sebagai berikut:
Dan seandainya Allah tidak menolak sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai
karunia atas semesta alam. (QS. Al
Baqarah, 2: 251)
Sampai di sini, kita
perlu membuka pintu bagi sebagian pendukung pemikiran materialis evolusionis.
Orang-orang ini mungkin pernah memulai pencarian yang jujur, namun terseret
jauh dari agama sejati karena pengaruh omong kosong yang dibuat dengan
mengatasnamakan Islam, kebohongan yang dibuat dengan mengatasnamakan Rasulullah
saw, dan dongeng-dongeng yang mereka dengar sejak masa kanak-kanak, sehingga
mereka tidak pernah berkesempatan menemukan kebenaran. Mungkin mereka pernah
mempelajari agama dari buku-buku yang ditulis oleh para lawan agama, yang
mencoba menggambarkan Islam dengan kebohongan dan kekeliruan yang tidak ada
dalam Al Quran, disertai tradisionalisme atau fanatisme. Inti dan asal usul Islam sama
sekali berbeda dengan apa yang telah diajarkan kepada mereka. Berdasarkan
alasan ini, kami meng-anjurkan mereka segera mengambil Al Quran dan membaca
kitab Allah ini dengan hati terbuka dan pandangan cermat, tanpa prasangka, dan
mempelajari agama asli dari sumber yang benar. Jika membutuhkan bantuan, mereka
dapat merujuk kepada buku-buku yang ditulis pengarang buku ini, Harun Yahya,
mengenai konsep-konsep dasar dalam Quran.
1)Richard Lewontin,
"The Demon-Haunted World", The New York Review of Books, 9 Januari,
1997, hlm. 28.
2)Robert Shapiro, Origins: A
Sceptics Guide to the Creation of Life on Earth. Summit Books, New York: 1986,
hlm. 207
3)Hoimar Von Dithfurt, Im Anfang War Der Wasserstoff (Malam Rahasia
Dinosaurus), Vol 2, hlm. 64.
4)Ali Demirsoy, Kalitim ve
Evrim (Pewarisan sifat dan Evolusi), Ankara: Meteksan Publishing Co., 1984,
hlm. 61.
5)Ibid, hlm. 61.
6)Ibid, hlm. 94.
Darwinisme dan Materialisme
Walau nyata-nyata ditolak ilmu pengetahuan, teori Darwin masih
dipertahankan. Satu-satunya alasan untuk ini adalah hubungan erat antara teori
ini dengan materialisme. Darwin menerapkan filsafat materialis pada ilmu alam.
Pendukung filsafat ini, terutama penganut Marxisme, terus-menerus membela
Darwinisme tidak peduli apa pun yang terjadi.
Pembela teori evolusi terkenal dewasa ini, ahli biologi Douglas Futuyma,
menuliskan: “Bersamaan de-ngan teori sejarah materialistis Marx... teori
evolusi Darwin merupakan penopang mekanisme dan materialisme.” Inilah pengakuan
yang sangat jelas mengapa teori evolusi begitu penting bagi para pembelanya.1
Evolusionis terkenal lainnya, ahli paleontologi Stephen J Gould mengatakan:
“Darwin menerapkan filsafat materialisme yang konsisten pada interpretasi-nya
tentang alam”.2 Leon Trotsky, salah satu pencetus Revolusi Komunis
Rusia bersama Lenin, berkomentar: “Penemuan Darwin merupakan kemenangan
terbesar konsep dialektika dalam keseluruhan bidang materi organik.”3
Namun, ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa Darwinisme bukan kemenangan
bagi materialisme, melainkan pertanda keruntuhan filsafat tersebut.
1 Douglas Futuyma,
Evolutionary Biology, edisi ke-2. Sunderland, MA: Sinauer, 1986. hal. 3.
2 Alan Woods dan Ted Grant,
“Marxism and Darwinism”, Reason in Revolt: Marxism and Modern Science, London,
1993.
3 Alan Woods dan Ted Grant. “Marxism
and Darwinism”, London, 1993.
FOKUS : Kematian
Materialisme
Materialisme abad ke-19 menyatakan bahwa keberadaan alam semesta tidak
berawal dan tidak diciptakan, dan dunia organik dapat dijelaskan sebagai
interaksi antar materi. Inilah yang men-jadi dasar pijakan teori evolusi.
Namun, penemuan-penemuan ilmiah abad ke-20 jelas-jelas menggugurkan hipotesis
ini.
Anggapan bahwa keberadaan alam semesta tidak berawal, telah dipupus habis
oleh temuan bahwa alam semesta dimulai dengan sebuah ledakan besar (peristiwa
yang disebut “Big Bang”) yang terjadi sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Teori
ini menunjukkan bahwa semua materi fisik di alam semesta muncul dari ketiadaan:
dengan kata lain, diciptakan. Salah seorang filsuf ateis pembela utama
materialisme, Anthony Flew, mengakui:
Banyak orang mengatakan bahwa pengakuan itu baik bagi jiwa. Karenanya saya
akan memulainya dengan mengakui bahwa ateis Stratonisian dipermalukan oleh
konsensus kosmologis jaman sekarang (Big Bang). Tampaknya para ahli kosmologi
telah memberikan suatu bukti ilmiah… bahwa jagat raya memiliki permulaan.1
Teori Big Bang juga menunjukkan bahwa pada masing-masing tahap, alam
semesta terbentuk melalui penciptaan yang terkendali. Ini jelas dibuktikan oleh
keteraturan yang muncul setelah Big Bang, yang terlalu sempurna jika terbentuk
dari sebuah ledakan tak terkendali. Seorang dokter terkenal, Paul Davies, menjelaskan keadaan
ini:
Sulit menolak kesan bahwa struktur alam semesta sekarang ini, yang
tampaknya begitu sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil dalam angka, telah
dipikirkan dengan cermat…. Kesesuaian menakjubkan nilai-nilai numerik yang
menjadi dasar konstanta-konstanta di alam, tetap merupakan bukti kuat suatu
desain kosmik.2
Kenyataan yang sama membuat profesor astronomi Amerika, George Greenstein,
berkata:
Setelah mengkaji semua bukti, terus-menerus muncul pemikiran bahwa suatu
kekuatan (atau Kekuatan) supranatural pasti terlibat di dalamnya.3
Jadi, hipotesis materialistis yang me-nyatakan bahwa kehidupan dapat
di-jelaskan hanya dari interaksi materi, juga gugur menghadapi temuan-temuan
ilmu pengetahuan ini. Khususnya, asal usul informasi genetis yang menentukan
semua makhluk hidup, sama sekali tidak dapat dijelaskan dengan kekuatan
material murni. Fakta ini diakui salah se-orang pembela teori evolusi terkemuka,
George C. Williams, dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1995:
Para ahli biologi evolusionis tidak menyadari bahwa mereka bekerja dengan
dua bidang yang tidak dapat dibandingkan: bidang informasi dan bidang materi…
gen adalah paket informasi, bukan sebuah materi… Pemisah ini menjadikan materi
dan informasi dua bidang berbeda, dan karenanya harus dibahas secara terpisah
dalam bidang masing-masing.4
Situasi ini merupakan bukti keberadaan Kebijakan Supramaterial yang
menciptakan informasi genetis. Tidak mungkin materi menghasilkan informasi di
dalam dirinya. Direktur Institut Fisika dan Teknologi Federal Jerman, Profesor
Werner Gitt, mengatakan:
Seluruh pengalaman menunjukkan bahwa diperlukan sebuah pemikiran yang bebas
menjalankan kehendak, kesadaran dan kreativitasnya sendiri. Tak mungkin ada
hukum alam, proses atau urutan kejadian yang menyebabkan informasi muncul
dengan sendirinya di dalam materi. 5
Seluruh fakta ilmiah ini menjelaskan bahwa alam semesta beserta seluruh
makhluk hidup diciptakan oleh Sang Pencipta yang memiliki kekuatan dan
pengetahuan, yakni Allah. Sedangkan materialisme, seperti diungkapkan seorang
filsuf terkenal abad ini, Arthur Koestler: “Tidak dapat lagi dinyatakan sebagai
filsafat ilmiah”.6
1) Henry Margenau, Roy A.
Vargesse. Cosmos, Bios, Theos. La Salle IL: Open Court Publishing, 1992, hlm.
241.
2) Paul Davies. God and the
New Physics. New York: Simon & Schuster, 1983, hlm. 189.
3) Hugh Ross. The Creator
and the Cosmos. Colorado Springs, CO: Nav-Press, 1993, hlm. 114-115.
4) George C. Williams. The
Third Culture: Beyond the Scientific Revolution, New York, Simon &
Schuster, 1995, hlm. 42-43.
5) Werner Gitt. In the
Beginning Was Information. CLV, Bielefeld, Germany, hlm. 107, 141.
6) Arthur Koestler, Janus: A
Summing Up, New York, Vintage Books, 1978, hlm. 250.
BAB 15
Media: Lahan Subur bagi Evolusi
Seperti yang telah
diuji dan ditunjukkan sejauh ini, teori evolusi tidak mempunyai dasar ilmiah.
Namun kebanyakan orang di dunia tidak menyadarinya, dan menganggap evolusi
sebagai fakta ilmiah. Indoktrinasi dan propaganda sistematis melalui media adalah kunci
keberhasilan penipuan ini. Karena itu, kami perlu mengulas ciri-ciri khusus
indoktrinasi dan propaganda ini.
Jika mencermati media-media Barat, kita akan sering men-jumpai
berita-berita yang membahas teori evolusi. Organisasi media terkemuka dan
majalah-majalah tekenal dan “terhormat” mengangkat topik ini secara berkala. Dari
pendekatan mereka, orang akan mendapatkan kesan bahwa teori ini benar-benar
fakta yang telah terbukti mutlak tanpa peluang untuk diskusi. Pembaca awam
biasanya mulai berpikir bahwa teori evolusi adalah fakta yang sama pastinya
dengan hukum matematika.
Berita seperti ini di media-media terkemuka akan dikutip pula oleh media
lokal. Mereka mencetak dengan headline besar: “Menurut majalah Time, fosil baru
mata rantai yang hilang telah ditemukan”; atau “Nature menyatakan bahwa para
ilmuwan telah menemukan titik terang dalam persoalan terakhir teori evolusi”.
Padahal, penemuan “mata rantai terakhir yang hilang dari rantai evolusi” tidak
berarti apa-apa, karena tidak ada bukti sama sekali tentang evolusi. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, segala sesuatu yang ditunjukkan sebagai bukti
hanyalah kebohongan. Di samping media, hal serupa terjadi pula pada
sumber-sumber ilmiah, ensiklopedia, dan buku-buku biologi.
Singkatnya, media dan kalangan akademisi yang menjadi pusat-pusat kekuatan
anti agama, mempertahankan pandangan evolusionis dan memaksakannya kepada
masyarakat. Pemaksaan ini begitu efektif sehingga akhirnya evolusi menjadi
sebuah gagasan yang tidak pernah ditolak. Penolakan terhadap teori evolusi
dianggap bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan mengabaikan realitas-realitas
mendasar. Karenanya, meski banyak kelemahan telah tersingkap (terutama sejak
1950-an), dan kenyataan ini diakui ilmuwan evolusionis sendiri, mustahil
menemukan kritik terhadap evolusi dalam lingkungan ilmiah atau dalam media.
Majalah-majalah yang diterima luas sebagai penerbitan paling bergengsi
dalam bidang biologi dan ilmu alam di Barat seperti Scientific American,
Nature, Focus, dan National Geographic, mengambil teori evolusi sebagai
ideologi resmi dan berusaha menyajikan teori ini sebagai fakta yang telah
dibuktikan kebenarannya.
Kebohongan yang Terbungkus Rapi
Kaum evolusionis mendapat banyak keuntungan dari program “cuci otak” media.
Banyak orang percaya begitu saja pada evolusi tanpa merasa perlu bertanya
“bagaimana” dan “mengapa”. Ini berarti evolusionis dapat mengemas
kebohongan-kebohongan mereka sedemikian rupa sehingga mampu meyakinkan orang
dengan mudah.
Sebagai contoh, bahkan dalam buku evolusionis paling “ilmiah”, “transisi
dari air ke darat” yang merupakan fenomena terbesar evolusi tanpa bukti,
“dijelaskan” dengan kesederhanaan yang konyol. Menurut teori evolusi, kehidupan
berawal di air dan hewan yang pertama berkembang adalah ikan. Teori ini
mengatakan bahwa pada suatu masa ikan-ikan ini meloncat ke darat karena suatu
alasan (acap kali, kemarau dijadikan ala-san), dan ikan-ikan yang memutuskan
untuk hidup di darat kemudian memiliki kaki dan paru-paru, bukan sirip dan insang.
Kebanyakan buku evolusionis tidak menjawab pertanyaan “bagaimana” dalam
suatu pokok bahasan. Bahkan dalam sumber paling “ilmiah” pun, kejanggalan
pernyataan mereka ditutupi dengan kalimat seperti “peralihan dari air ke darat
akhirnya terjadi”.
Bagaimana “peralihan” ini terjadi? Kita tahu bahwa ikan tidak dapat
bertahan hidup di darat lebih dari beberapa menit. Jika kita asumsikan musim kering
terjadi dan ikan harus pindah ke darat, apa yang akan terjadi pada ikan
tersebut? Jawabannya sudah jelas. Semua ikan akan mati satu per satu dalam
beberapa menit. Meskipun proses ini berlangsung dalam periode puluhan juta
tahun, jawabannya tetap sama: ikan akan mati satu per satu. Alasannya, organ
sekompleks paru-paru tidak akan sekonyong-konyong muncul secara “kebetulan”
melalui mutasi; tetapi di lain pihak, setengah paru-paru pun tidak berguna sama
sekali.
Akan tetapi, persis seperti inilah yang diajukan evolusionis. “Peralihan
dari air ke darat”, “peralihan dari darat ke udara” dan banyak lagi
lompatan-lompatan lain “dijelaskan” dalam istilah-istilah yang tidak logis ini.
Sementara tentang pembentukan organ-organ sekompleks mata dan telinga,
evolusionis lebih memilih diam.
Sangat mudah mempengaruhi orang di jalan dengan paket “ilmu pengetahuan”
ini. Anda tinggal membuat gambar khayal yang menunjukkan peralihan dari darat
ke air, mengarang nama Latin untuk hewan di air, “keturunannya” di darat, dan
“bentuk transisi” (yang merupakan hewan rekaan), kemudian menyusun kebohongan
besar: “Dalam proses evolusi yang panjang, Eusthenopteron mula-mula berubah
menjadi Rhiptistian Crossopterian, kemudian menjadi Ichthyostega”. Anda akan
berhasil meyakinkan banyak orang jika kata-kata ini disampaikan oleh seorang
ilmuwan berkacamata tebal dan berjas putih. Ini karena media yang membaktikan
diri untuk mempromosikan evolusi akan membantu Anda mengumumkan berita baik ini
ke seluruh dunia dengan antusiasme tinggi.
Dongeng Evolusionis
Seperti dikatakan seorang
ilmuwan terkemuka, teori evolusi adalah dongeng untuk orang dewasa. Evolusi
adalah skenario yang sangat tidak masuk akal dan tidak ilmiah, yang menganggap
benda mati memiliki kekuatan dan kecerdasan ajaib untuk menciptakan
bentuk-bentuk kehidupan yang kompleks. Kisah panjang ini mengandung fabel menarik tentang
beberapa subjek. Salah satu fabelnya yang aneh adalah tentang “evolusi ikan
paus” yang diterbitkan National Geographic, salah satu majalah yang dianggap
sebagai publikasi paling ilmiah dan serius di dunia:
Keuntungan paus
memperoleh tubuh besar tampaknya bermula pada 60 juta tahun yang lalu, ketika
mamalia berambut dan berkaki empat yang mencari makan atau perlindungan masuk
ke dalam air. Masa demi masa berlalu, perubahan sedikit demi sedikit terjadi. Kaki
belakang lenyap, kaki depan menjadi sirip, bulu-bulu rontok menyisakan lapisan
lemak yang tebal dan licin, hidung pindah ke bagian atas kepala, ekor melebar
menjadi sirip belakang dan di dunia air tubuhnya menjadi sangat besar.1
Selain tidak mempunyai
landasan ilmiah, kejadian seperti ini bertentangan dengan prinsip-prinsip alam.
Fabel yang diterbitkan dalam National Geo-graphic ini patut dicatat sebagai
indikasi besarnya kebohongan dalam terbitan-terbitan evolusionis yang tampak
serius.
Dongeng lain yang patut mendapat perhatian adalah
mengenai asal usul mamalia. Kaum evolusionis berargumen bahwa nenek moyang mamalia
adalah reptil. Namun ketika harus menjelaskan peralihan bentuk secara
terperinci, muncul cerita menarik. Berikut adalah contohnya:
Sebagian reptil di
wilayah dingin mulai mengembangkan cara untuk menjaga tubuh mereka agar tetap
hangat. Panas yang dikeluarkan tubuh meningkat ketika cuaca dingin, dan panas
yang hilang semakin berkurang ketika sisik mengecil and meruncing, dan akhirnya
menjadi bulu. Berkeringat pun merupakan adaptasi untuk mengatur suhu tubuh, suatu
cara untuk menyejukkan tubuh saat diperlukan, dengan menguapkan air. Namun
secara kebetulan, reptil muda mulai menjilati keringat induknya sebagai
makanan. Kelenjar keringat tertentu mulai mengeluarkan keringat yang semakin
lama semakin bergizi sehingga akhirnya menjadi susu. Maka, mamalia muda pertama
ini memulai kehidupan dengan lebih baik.2
Gagasan bahwa makanan
yang terpola dengan baik seperti susu berasal dari kelenjar keringat, serta
semua perincian di atas hanyalah buah imajinasi evolusioner yang aneh dan tanpa
dasar ilmiah.
1)Victor B. Scheffer, “Exploring the Lives of Whales”,
National Geographic, Vol. 50, Desember 1976, hlm. 752
2)George Gamow, Martynas Ycas, Mr. Tompkins Inside
Himself, London: Allen & Unwin, 1968, hlm. 149
BAB 16
Kesimpulan: Evolusi Adalah Sebuah Kebohongan
Masih banyak bukti
dan hukum-hukum ilmiah lain yang menggugurkan teori evolusi. Namun dalam buku
ini kita hanya membahas beberapa di antara-nya. Itu pun seharusnya sudah cukup
untuk menyingkap se-buah kebenaran terpenting. Meskipun ditutup-tutupi dengan
kedok ilmu pengetahuan, teori evolusi hanyalah sebuah kebohongan; kebohongan
yang dipertahankan hanya untuk kepentingan filsafat materialistis. Kebohongan
yang tidak berdasarkan pada ilmu pengetahuan tetapi pada pencucian otak,
propaganda dan penipuan.
Berikut ini adalah
rangkuman dari pembahasan sejauh ini:
Teori Evolusi
Telah Runtuh
Sejak langkah
pertamanya, teori evolusi telah gagal. Buktinya, evolusionis tidak mampu
menjelaskan proses pembentukan satu protein pun. Baik hukum probabilitas maupun
hukum fisika dan kimia tidak memberikan peluang sama sekali bagi pembentukan
kehidupan secara kebetulan.
Bila satu protein
saja tidak dapat terbentuk secara kebetulan, apakah masuk akal jika jutaan
protein menyatukan diri membentuk sel, lalu milyaran sel secara kebetulan pula
menyatukan diri membentuk organ-organ hidup, lalu membentuk ikan, kemudian ikan
beralih ke darat, menjadi reptil, dan akhirnya menjadi burung? Begitukah cara jutaan
spesies di bumi terbentuk?
Meskipun tidak masuk akal bagi Anda, evolusionis benar-benar meyakini
dongeng ini.
Evolusi lebih merupakan sebuah kepercayaan — atau tepatnya keyakinan —
karena mereka tidak mempunyai bukti satu pun untuk cerita mereka. Mereka tidak
pernah menemukan satu pun bentuk peralihan seperti makhluk setengah
ikan-setengah reptil, atau makhluk setengah reptil-setengah burung. Mereka pun
tidak mampu membuktikan bahwa satu protein, atau bahkan satu molekul asam amino
penyusun protein dapat terbentuk dalam kondisi yang mereka sebut sebagai
kondisi bumi purba. Bahkan dalam laboratorium yang canggih, mereka tidak
berhasil membentuk protein. Sebaliknya, melalui seluruh upaya mereka,
evolusionis sendiri malah menunjukkan bahwa proses evolusi tidak dapat dan
tidak pernah terjadi di bumi ini.
Di Masa Mendatang pun Evolusi
Tidak Dapat Dibuktikan
Menghadapi kenyataan ini, evolusionis hanya dapat menghibur diri dengan
khayalan bahwa suatu saat nanti, entah bagaimana caranya, ilmu pengetahuan akan
menjawab semua dilema ini. Mengharapkan ilmu pengetahuan akan membenarkan semua
pernyataan tidak berdasar dan tidak masuk akal ini adalah hal yang mustahil,
sampai kapan pun. Sebaliknya, sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan,
kemustahilan pernyataan evolusionis akan semakin terbuka dan semakin jelas.
Begitulah yang terjadi sejauh ini. Semakin terperinci struktur dan fungsi
sel diketahui, semakin jelas bahwa sel bukan susunan sederhana yang terbentuk
secara acak, seperti pemahaman biologis primitif masa Darwin.
Rasa percaya diri berlebihan dalam menolak fakta penciptaan dan menyatakan
bahwa kehidupan berasal dari kebetulan-kebetulan yang mustahil, lalu berkeras
mempertahankannya, kelak akan berbalik menjadi sumber penghinaan. Ketika wajah
asli dari teori evolusi semakin tersingkap dan opini publik mulai melihat
kebenaran, para pendukung evolusi yang fanatik buta ini tidak akan berani lagi
memperlihatkan wajah mereka.
Rintangan Terbesar bagi Evolusi: Jiwa
Banyak spesies di bumi ini yang mirip satu sama lain. Misalnya, banyak
makhluk hidup yang mirip dengan kuda atau kucing, dan banyak serangga mirip
satu dengan lainnya. Kemiripan seperti ini tidak membuat orang heran.
Sedikit kemiripan antara manusia dan kera, entah bagaimana terlalu banyak
menarik perhatian. Ketertarikan ini kadang menjadi sangat ekstrem sehingga
membuat beberapa orang mempercayai tesis palsu evolusi. Sebenarnya, kemiripan
tampilan antara manusia dan kera tidak memberikan arti apa-apa. Kumbang tanduk
dan badak juga memiliki kemiripan tampilan, namun menggelikan sekali jika
mencari mata rantai evolusi di antara keduanya hanya berdasarkan kemiripan
tampilan saja; yang satu adalah serangga dan yang lainnya mamalia.
Selain kemiripan tampilan, kera tidak bisa dikatakan berkerabat lebih dekat
dengan manusia dibandingkan dengan hewan lain. Jika tingkat kecerdasan
dipertimbangkan, maka lebah madu dan laba-laba dapat dikatakan berkerabat lebih
dekat dengan manusia karena keduanya dapat membuat struktur sarang yang
menakjubkan. Dalam beberapa aspek, mereka bahkan lebih unggul.
Terlepas dari kemiripan tampilan ini, ada perbedaan sangat besar an-tara
manusia dan kera. Berdasarkan tingkat kesadarannya, kera adalah hewan yang
tidak berbeda dengan kuda atau anjing. Sedangkan manusia adalah makhluk sadar,
berkeinginan kuat dan dapat berpikir, berbicara, mengerti, memutuskan, dan
menilai. Semua sifat ini merupakan fungsi jiwa yang dimiliki manusia. Jiwa
merupakan perbedaan paling penting yang jauh memisahkan manusia dari
makhluk-makhluk lain. Tak ada satu pun kemiripan fisik yang dapat menutup
jurang lebar di antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Di alam ini,
satu-satunya makhluk hidup yang mempunyai jiwa adalah manusia.
Allah Mencipta Menurut Kehendak-Nya
Apakah akan menjadi masalah jika skenario yang diajukan evolusionis benar-benar
telah terjadi? Sedikit pun tidak, karena setiap tahapan yang diajukan teori
evolusioner dan berdasarkan konsep kebetulan, hanya dapat terjadi karena suatu
keajaiban. Bahkan jika kehidupan benar-benar muncul secara berangsur-angsur
melalui tahapan-tahapan demikian, masing-masing tahap hanya dapat dimunculkan
oleh suatu keinginan sadar. Kejadian kebetulan bukan hanya tidak masuk akal,
melainkan juga mustahil.
Jika dikatakan bahwa sebuah molekul protein telah terbentuk pada kondisi
atmosfir primitif, harus diingat bahwa hukum-hukum probabilitas, biologi dan
kimia telah menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi secara kebetulan.
Namun jika kita terpaksa menerima bahwa hal tersebut memang terjadi, maka tidak
ada pilihan lain kecuali mengakui bahwa keberadaannya karena kehendak Sang
Pencipta.
Logika serupa berlaku juga pada seluruh hipotesis yang diusulkan oleh
evolusionis. Misalnya, tidak ada bukti paleontologis maupun secara pembenaran
fisika, kimia, biologi atau logika yang membuktikan bahwa ikan beralih dari air
ke darat dan menjadi hewan darat. Akan tetapi, jika seseorang membuat
pernyataan bahwa ikan merangkak ke darat dan berubah menjadi reptil, maka dia
pun harus menerima keberadaan Pencipta yang mampu membuat apa pun yang
dikehendaki-Nya dengan hanya mengatakan “jadilah”. Penjelasan lain untuk
keajaiban semacam itu berarti penyangkalan diri dan pelanggaran atas
prinsip-prinsip akal sehat.
Kenyataannya telah jelas dan terbukti. Seluruh kehidupan merupakan karya
agung yang dirancang sempurna. Ini selanjutnya memberikan bukti lengkap bagi
keberadaan Pencipta, Pemilik kekuatan, pengetahuan, dan kecerdasan yang tak
terhingga.
Pencipta itu adalah Allah, Tuhan langit dan bumi, dan segala sesuatu di
antaranya.
BAB 17
Fakta
Penciptaan
Pada bagian-bagian sebelumnya, kita telah membahas mengapa teori evolusi
menyatakan bahwa kehidupan tidak diciptakan, adalah kebohongan yang
bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah. Ilmu pengetahuan modern telah
mengungkap fakta yang sangat jelas melalui cabang-cabang ilmunya, seperti
paleontologi, biokimia dan ilmu anatomi. Fakta ini adalah: semua makhluk hidup
diciptakan oleh Allah.
Sebenarnya, untuk melihat fakta ini orang tidak perlu merujuk pada
hasil-hasil penelitian yang rumit dari laboratorium biokimia ataupun penggalian
geologis. Tanda-tanda kebijaksanaan yang luar biasa tampak pada setiap makhluk
hidup yang kita lihat. Ada teknologi dan rancangan hebat pada seekor serangga,
atau pada seekor ikan kecil di kedalaman laut yang tidak pernah dicapai
manusia. Bahkan beberapa makhluk hidup tak berakal dapat melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumit yang tidak dapat dikerjakan manusia.
Kebijaksanaan, rancangan dan perencanaan agung yang berlaku pada seluruh
alam ini merupakan bukti kuat keberadaan Sang Pencipta yang menguasai seluruh
alam, yakni Allah. Allah telah menyempurnakan semua makhluk dengan keistimewaan
luar biasa dan menunjukkannya kepada manusia sebagai bukti keberadaan dan
kekuasaan-Nya.
Selanjutnya akan kami bahas sebagian bukti penciptaan-Nya di alam.
Lebah Madu dan Keajaiban Arsitektural Sarang Madu
Lebah menghasilkan madu lebih banyak daripada yang dibutuhkannya dan
menyimpannya di sarang. Semua orang sangat mengenal struktur heksagonal sarang
lebah. Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa sarang lebah berbentuk heksagonal,
bukan oktagonal atau pentagonal?
Para ahli matematika yang mencari jawaban pertanyaan itu mencapai
kesimpulan menarik: “Heksagon adalah bentuk geometri paling tepat untuk
penggunaan maksimum suatu ruang.”
Sel berbentuk heksagonal membutuhkan jumlah lilin minimum, tetapi mampu
menyimpan madu dalam jumlah maksimum. Jadi, lebah menggunakan struktur sarang
yang paling tepat.
Metode yang digunakan untuk membangunnya pun sangat menakjubkan:
lebah-lebah memulainya dari dua atau tiga tempat berbeda dan menjalin
sarang-nya secara serentak dengan dua atau tiga deretan. Meskipun memulai dari
tempat yang berbeda-beda, lebah yang jumlahnya banyak ini membuat
heksagon-heksagon identik, kemudian menjalinnya jadi satu dan bertemu di
tengah-tengah. Titik-titik sambungnya dipasang dengan begitu terampil sehingga
tidak ada tanda-tanda telah digabungkan.
Melihat kinerja luar biasa ini, kita harus benar-benar mengakui kehendak
agung yang mengatur makhluk-makhluk ini. Tetapi evolusionis menjelaskan
prestasi ini dengan konsep “insting” dan mencoba mengajukannya sebagai sifat
sederhana pada lebah. Namun, jika ada insting yang ber-peran mengendalikan
semua lebah dan kalaupun semua lebah bekerja dengan harmonis walau tanpa saling
bertukar informasi, berarti ada suatu Kebijakan Agung yang meng-atur seluruh
makhluk kecil ini.
Tegasnya, Allah, pencipta makhluk-makhluk kecil ini, “mengilhami” mereka
dengan apa yang harus mereka kerjakan. Fakta ini dinyatakan dalam Al Quran 14
abad yang lalu:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang
dibuat manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu
keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS.
An-Nahl, 16:68-69)
Arsitek Yang Menakjubkan: Rayap
Setiap orang pasti terkagum-kagum melihat sarang ra-yap yang dibangun di
atas tanah. Sarang rayap merupakan keajaiban arsitektural yang menjulang
setinggi 5-6 meter. Di dalam sarang ini terdapat sistem-sistem canggih untuk
memenuhi seluruh kebutuhan rayap yang tidak boleh terkena sinar matahari karena
struktur tubuhnya. Di dalamnya ada sistem ventilasi, saluran-saluran, ruang
larva, koridor-koridor, la-dang pembuatan jamur khusus, pintu ke-luar darurat,
ruang untuk musim panas dan musim dingin. Singkatnya, semua ada. Yang lebih
menakjubkan lagi, rayap yang membangun sa-rang ajaib ini ternyata buta.1
Meskipun buta, rayap berhasil mengerjakan proyek arsitektural yang
berukuran lebih dari 300 kali ukuran tubuhnya.
Ada karakteristik lain yang menakjubkan: jika sebuah sarang rayap kita bagi
menjadi dua pada tahap awal konstruksinya, dan kemudian menyatukannya kembali
setelah beberapa saat, akan kita lihat bahwa semua lorong, saluran dan jalannya
menyambung kembali. Rayap meneruskan pekerjaan seolah-seolah tidak pernah
terjadi pemisahan.
Burung Pelatuk
Setiap orang tahu bahwa burung pelatuk membuat sarangnya dengan mematuki
batang pohon. Hal yang tidak terpikirkan oleh kebanyakan orang adalah mengapa
burung ini tidak mengalami pendarahan otak, padahal mereka menggunakan kepala
untuk memalu dengan keras. Yang dikerjakan burung pelatuk bisa disamakan dengan
orang yang menancapkan paku ke tembok dengan kepalanya. Jika manusia mencoba
melakukannya, ia akan mengalami gegar otak yang diikuti pendarahan. Namun, burung
pelatuk dapat mematuki batang pohon yang keras 38-43 kali dalam 2,10 hingga
2,69 detik tanpa terjadi apa pun pada kepalanya.
Burung pelatuk tidak mengalami kerusakan di kepala karena struktur
kepalanya diciptakan sesuai dengan pekerjaan tersebut. Tengkorak burung pelatuk
mempunyai sistem “peredam” yang mengurangi dan menyerap getaran akibat gerakan
mematuk. Pe-redam tersebut adalah jaringan pelembut khusus di antara
tulang-tulang tengkoraknya.2
Sistem Sonar Kelelawar
Kelelawar dapat terbang di kegelapan tanpa masalah. Mereka memiliki sistem
navigasi yang sangat menarik untuk itu. Melalui sistem yang disebut “sistem
sonar”, kelelawar dapat memastikan bentuk objek di sekitarnya berdasar-kan
pantulan gelombang suara.
Manusia tidak dapat menangkap suara berfrekuensi 20.000 getaran per detik.
Sedangkan kelelawar yang dilengkapi sistem sonar yang dirancang khusus,
mengguna-kan suara berfrekuensi antara 50.000 dan 200.000 getaran per detik.
Seekor kelelawar mengirim suara ini ke segala arah, 20 atau 30 kali setiap
detiknya. Pantulan suara yang dihasilkan begitu kuat sehingga kelelawar mampu
mengetahui keberadaan objek di sepanjang jalur terbangnya, juga mendeteksi
lokasi mangsanya yang sedang terbang cepat. 3
Paus
Mamalia perlu bernapas dengan teratur, karenanya air bukan lingkungan yang
tepat bagi mereka. Namun sebagai mamalia laut, paus mengatasi masalah ini
dengan sistem pernapasan yang jauh lebih efisien dibandingkan kebanyakan hewan
darat. Paus mengembuskan napas dengan mengeluarkan 90% udara yang dipakainya.
Jadi paus hanya perlu bernapas sekali-sekali. Pada saat yang sama, zat pekat
yang dimilikinya yang disebut “mioglobin” membantunya menyimpan oksigen dalam
otot. Dengan bantuan sistem ini, paus gin-back, misalnya, dapat menyelam hingga
kedalaman 500 meter dan berenang selama 40 menit tanpa bernapas sama sekali.4
Tidak seperti mamalia darat, lubang hidung paus terletak di punggungnya agar ia
mudah bernapas.
Rancangan pada Nyamuk
Kita selalu beranggapan bahwa nyamuk adalah hewan terbang. Sebetulnya,
nyamuk menghabiskan tahap perkembangannya di dalam air dan keluar dari air
melalui sebuah “rancangan” luar biasa, lengkap dengan seluruh organ yang
diperlukan.
Nyamuk terbang dengan sistem-sistem pengindraan khusus yang mendeteksi
tem-pat mangsanya. Dengan sistem-sistem ini, nyamuk menyerupai pesawat tempur
yang dipersenjatai alat pelacak panas, gas, kelembaban dan bau. Ia bahkan mampu
“melihat sesuai dengan suhu”, yang membantunya menemukan mangsa dalam kegelapan.
Teknik “pengisapan darah” pada nyamuk menggunakan sistem yang sangat
kompleks. Dengan sistem enam pisaunya, nyamuk memotong kulit seperti gergaji.
Saat pemotongan kulit berlangsung, dikeluarkannya cairan pada luka yang membuat
jaringan mati rasa, sehingga orang yang digigit tidak menyadari bahwa darahnya
sedang diisap. Cairan ini juga mencegah pembekuan darah dan menjamin
kelangsungan proses pengisapan.
Satu saja dari unsur ini hilang, nyamuk tidak akan dapat mencari makan dan
berkembang biak. Dengan desain luar biasa, makhluk kecil ini dengan sendirinya
menjadi bukti keberadaan Sang Pencipta. Di dalam Al Quran, agas ditonjolkan
sebagai contoh yang menunjukkan keberadaan Allah bagi orang-orang yang
berpikir:
“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan
berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman,
maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, te-tapi mereka
yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan
perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang
disesatkan Allah kecuali orang-orang fasik.” (QS. Al Baqarah, 2:26)
Burung Pemburu Bermata Tajam
Burung-burung pemburu memiliki mata tajam yang memungkinkan mereka mengatur
jarak dengan sempurna saat menyerang mangsa. Matanya yang besar juga mengandung
sel-sel penglihatan lebih banyak sehingga mampu melihat dengan lebih baik. Mata
seekor burung pemburu mempunyai lebih dari satu juta sel penglihatan.
Elang memiliki mata begitu tajam sehingga ketika terbang ribuan meter di
udara, ia dapat mengamati keadaan di permukaan tanah dengan sempurna. Seperti
pesawat tempur yang mendeteksi sasaran dari jarak ribuan meter, begitulah elang
melihat mangsa. Ia mampu menangkap perubahan warna dan pergerakan yang sangat
kecil di bawahnya. Mata elang memiliki sudut penglihatan 300 derajat dan dapat
memperbesar bayangan sekitar enam hingga delapan kali. Elang dapat melihat
tanah seluas 30.000 hektar ketika terbang pada ketinggian 4.500 meter. Ia juga
dapat dengan mudah melihat seekor kelinci yang bersembunyi di antara sela-sela
rumput pada ketinggian 1.500 meter. Nyata sekali bahwa struktur mata yang luar
biasa ini dirancang khusus untuknya.
Benang Laba-laba
Laba-laba Dinopsis mempunyai keahlian hebat dalam berburu. Bukannya membuat
sarang statis dan menunggu mangsa, Dinopsis membuat jaring kecil istimewa yang
di-lemparkan kepada mangsanya. Setelah itu, ia membungkus erat mangsanya dengan
jaring ini. Serangga yang terperangkap tidak mampu melepaskan diri. Jaringnya
terbuat sempurna sehingga serangga yang terperangkap akan semakin terjerat jika
semakin banyak bergerak. Untuk menyimpan makanannya, Dinopsis membungkus
mangsanya dengan benang tambahan, seakan-akan mengepaknya.
Bagaimana laba-laba tersebut membuat jaring begitu bagus dalam desain
mekanis dan struktur kimianya? Mustahil laba-laba mendapatkan keahlian tersebut
secara kebetulan, seperti yang dikatakan evolusionis. Laba-laba tidak memiliki
kemampuan belajar dan mengingat, bah-kan tidak memiliki otak untuk
melakukannya. Jelas sekali bahwa keahlian ini dianugerahkan kepada laba-laba
oleh penciptanya, Allah Yang Mahaagung.
Ada keajaiban yang
sangat penting tersembunyi dalam benang laba-laba. Benang berdiameter kecil dari
1/1000 milimeter ini lima kali lebih kuat daripada kawat baja dengan ketebalan
yang sama. Benang ini juga sa-ngat ringan. Untuk melingkari bumi, hanya
diperlukan benang laba-laba seberat 320 gram saja.5 Baja merupakan
bahan terkuat yang dibuat secara khusus oleh manusia melalui pabrik-pabrik
industri. Namun, di dalam tubuhnya, laba-laba dapat membuat benang yang jauh
lebih kokoh dari-pada baja. Untuk membuat baja, manusia menggunakan pengetahuan
dan teknologi yang dipelajarinya berabad-abad; akan tetapi, pengetahuan dan
teknologi mana yang digunakan laba-laba untuk membuat benangnya?
Seperti kita lihat, seluruh bentuk teknologi dan alat teknis yang dimiliki
manusia tertinggal jauh dibandingkan teknologi laba-laba.
Hewan-Hewan yang Tidur di Musim Dingin
Hewan-hewan yang melakukan hibernasi (tidur di musim dingin) dapat terus
hidup meskipun suhu tubuh mereka turun hingga menyamai suhu luar yang dingin.
Bagaimana hewan-hewan ini melakukannya?
Mamalia berdarah panas. Ini berarti bahwa pada kondisi normal suhu tubuhnya
selalu konstan, karena termostat alami di dalam tubuh terus mengatur suhu
tubuh. Namun saat hibernasi, suhu tubuh mamalia kecil seperti tupai, dari suhu
normal 40 derajat turun sampai sedikit saja di atas titik beku, seolah-olah
diatur oleh sebuah kunci. Metabolisme tubuhnya menjadi sangat lambat. Hewan ini
bernapas sangat lambat, dan denyut jantungnya turun dari kondisi normal 300
kali per menit menjadi 7-10 kali per menit. Refleks tubuhnya berhenti dan aktivitas
listrik dalam otaknya melambat hampir tidak terdeteksi.
Salah satu bahaya dari ketiadaan gerak pada suhu sangat dingin adalah
pembekuan jaringan tubuh serta perusakan jaringan ini oleh kristal-kristal es.
Namun, hewan yang sedang dalam hibernasi terlindung dari bahaya ini berkat
sifat khusus yang mereka miliki. Cairan-cairan tubuh mereka dipertahankan oleh
bahan-bahan kimia dengan massa molekul besar. Jadi, titik beku mereka turun dan
mereka terlindung dari bahaya.6
Ikan Listrik
Untuk melindungi diri dari musuh atau untuk menyerang mangsanya, spesies
ikan tertentu seperti belut dan pari punggung duri menggunakan listrik yang
dihasilkan tubuhnya. Dalam tubuh setiap
makhluk hidup — termasuk manusia — terdapat sejumlah kecil listrik. Manusia
tidak mampu mengatur atau menguasai listrik tersebut untuk keperluannya.
Sebaliknya, kedua makhluk di atas memiliki tegangan listrik setinggi 500-600
volt dalam tubuh mereka dan mampu menggunakannya untuk melawan musuh. Lebih
jauh lagi, mereka tidak terpengaruh oleh listrik tersebut.
Layaknya pengisian
baterai, energi listrik yang digunakan kedua jenis hewan ini untuk
mempertahankan diri dapat pulih setelah beberapa saat dan siap digunakan
kembali. Listrik
bertegangan tinggi ini tidak hanya digunakan untuk mempertahankan diri. Selain
digunakan untuk menemukan jalan di kegelapan laut dalam, listrik juga membantu
mereka mengindra objek tanpa harus melihatnya. Ikan dapat mengirim
sinyal-sinyal dengan menggunakan listrik dalam tubuhnya. Dari sinyal-sinyal
yang dipantulkan objek, ikan dapat menentukan jarak dan ukuran objek.7
Taktik Cerdas pada Hewan: Kamuflase
Salah satu keistimewaan hewan untuk dapat bertahan hidup adalah seni
menyembunyikan diri yaitu “kamuflase”.
Hewan menyembunyikan diri dengan dua alasan utama: untuk berburu dan
melindungi diri dari pemangsa. Metode penyamaran berbeda dari metode lainnya
karena diperlukan kecerdasan, keterampilan, estetika dan keserasian tinggi.
Teknik-teknik kamuflase hewan sungguh menakjubkan. Hampir mustahil
mengenali seekor serangga yang bersembunyi di batang pohon, atau makhluk lain
di balik daun.
Kutu daun mencari makan dengan mengisap getah tumbuhan sambil menyamar
sebagai duri. Dengan cara ini, mereka mengelabui burung, musuh utamanya, dan
memastikan burung tidak akan bertengger pada tumbuhan tersebut.
Cumi-cumi
Di bawah kulit cumi-cumi, tersusun lapisan padat dari kantung-kantung
pigmen elastis yang disebut kromatofora. Warna utamanya adalah kuning, merah,
hitam dan coklat. Dengan sebuah sinyal, sel-sel tersebut mengembang dan memberi
warna tertentu pada kulit. Demikian cara cumi-cumi meniru warna batu yang
ditempatinya untuk penyamaran sempurna.
Sistem ini bekerja begitu efektif sehingga cumi-cumi juga dapat membuat
belang-belang kompleks seperti zebra.8
Aneka Sistem Penglihatan
Bagi kebanyakan hewan laut, penglihatan sangat penting untuk berburu dan
mempertahankan diri. Karenanya, kebanyakan hewan laut dilengkapi dengan mata
yang dirancang sempurna untuk di dalam air.
Semakin dalam laut, kemampuan melihat menjadi semakin terbatas, terutama
setelah 30 meter di bawah permukaan. Namun organisme yang hidup pada kedalaman
ini memiliki mata yang diciptakan sesuai dengan kondisi-kondisi sekitarnya.
Tidak seperti hewan darat, hewan laut memiliki lensa mata seperti bola yang
sesuai dengan densitas air tempat mereka hidup. Dibandingkan mata hewan darat
yang berbentuk elips lebar, struktur bola lebih sesuai untuk penglihatan di
dalam air; sesuai untuk melihat objek dari jarak dekat. Ketika memfokuskan pada
objek berjarak lebih jauh, seluruh sistem lensa ditarik ke belakang dengan
bantuan mekanisme otot khusus di dalam mata.
Pembiasan cahaya dalam air merupakan alasan lain mengapa mata ikan
berbentuk bola. Mata ikan terisi cairan dengan densitas hampir menyamai air di
sekitarnya, karenanya tidak terjadi pembiasan saat bayangan dari luar
dipantulkan ke mata. Akibatnya, lensa mata dapat sepenuhnya memfokuskan
bayangan ke retina mata. Tidak seperti manusia, penglihatan ikan sangat tajam
di dalam air.
Untuk mengatasi kekurangan cahaya di air yang dalam, beberapa hewan laut
seperti gurita memiliki mata agak besar. Pada kedalaman lebih dari 300 meter,
mata besar diperlukan untuk menangkap kilasan organisme di sekitarnya. Secara
khusus, mata ini sensitif terhadap cahaya biru lemah yang menembus ke dalam
air. Karena alasan inilah, banyak terdapat sel biru yang sensitif di dalam
retina mata mereka.
Seperti dapat dipahami dari contoh-contoh ini, setiap makhluk hidup
memiliki mata berbeda-beda yang dirancang khusus sesuai dengan kebutuhan. Fakta
ini membuktikan bahwa mereka semua diciptakan oleh Sang Pencipta yang memiliki
kebijakan, pengetahuan dan kekuasaan agung.
Sistem Pembekuan Khusus
Katak beku memiliki struktur biologis yang luar biasa. Denyut jantung,
pernapasan, dan sirkulasi darahnya sama sekali berhenti, tidak menunjukkan
tanda-tanda kehidupan. Namun ketika es mencair, katak yang sama akan hidup
kembali seolah-olah baru bangun dari tidur.
Makhluk hidup yang membeku biasanya menghadapi banyak risiko kematian.
Namun katak tidak mengalami itu. Dalam keadaan membeku, katak memiliki
keistimewaan mampu membuat banyak glukosa. Seperti mengidap diabetes, kadar
gula dalam darahnya naik tinggi sekali. Kadang sampai 550 milimol/liter. (Angka
yang normal untuk katak adalah 1-5 mmol/liter sedangkan manusia 4-5
mmol/liter). Dalam kondisi normal, konsentrasi glukosa setinggi ini bisa
menyebabkan masalah serius.
Pada katak beku, konsentrasi glukose yang tinggi mencegah air keluar dari
sel dan mencegah penyusutan. Membran sel katak sangat permeabel bagi glukose
sehingga glukosa mudah memasuki sel. Kadar glukosa yang tinggi menurunkan titik
beku sehingga hanya sedikit cairan tubuh yang berubah menjadi es. Riset
menunjukkan bahwa glukosa juga dapat menyediakan nutrisi pada sel-sel yang
membeku. Selama periode ini, selain berfungsi sebagai bahan bakar, glukosa juga
menghentikan reaksi-reaksi metabolis seperti sintesis urea, sehingga mencegah
habisnya sumber-sumber makanan sel yang lain.
Bagaimana kadar gula
pada katak dapat meningkat secara tiba-tiba? Jawabannya sangat menarik: makhluk
ini dilengkapi suatu sistem khusus yang mengatur tugas-tugas tersebut. Segera
setelah es muncul di permukaan kulit, sebuah pesan disampaikan ke hati dan
menyebabkan hati mengubah glikogen yang disimpannya menjadi glukosa. Bagaimana
pesan ini sampai ke hati masih belum diketahui. Lima menit setelah pesan
diterima, kadar gula dalam darah mulai naik. 9
Hewan ini dilengkapi sistem yang dapat mengubah seluruh metabolismenya
sesuai dengan kebutuhan, pada saat diperlukan. Tidak diragukan, hewan ini hanya
mungkin ada melalui rencana sempurna dari Pencipta Yang Mahakuasa. Tidak ada
kejadian kebetulan yang dapat menciptakan sistem sesempurna dan sekompleks ini.
Burung Albatros
Burung-burung yang bermigrasi mengurangi konsumsi energi dengan
“teknik-teknik terbang” yang berlainan. Burung albatros pun demikian. Burung
yang menghabiskan 92% masa hidupnya di laut ini memiliki bentang sayap hingga 3,5
meter. Karakteristik paling penting pada burung albatros adalah gaya
terbangnya. Mereka dapat terbang berjam-jam tanpa mengepakkan sayap sama
sekali. Untuk melakukan itu, sambil menjaga sayapnya tetap terentang, mereka
meluncur di udara dengan memanfaatkan angin.
Merentangkan sayap terus-menerus memerlukan banyak energi. Namun albatros
dapat melakukannya berjam-jam karena sistem anatomi khusus mereka. Selama
terbang, sayap-sayap albatros terkunci, karenanya tidak memerlukan tenaga
sedikit pun. Sayap-sayap hanya diangkat
oleh lapisan-lapisan otot. Ini sangat membantu burung tersebut sela-ma terbang. Sistem ini juga
mengurangi energi yang dikonsumsi burung selama terbang. Albatros tidak
menggunakan energi karena mereka tidak mengepakkan sayap, mereka juga tidak
membuang energi untuk menjaga agar sayapnya tetap terentang. Angin yang
dimanfaatkan albatros menjadi sumber energi tanpa batas untuk terbang
berjam-jam. Sebagai contoh, burung albatros dengan berat 10 kg hanya kehilangan
1% berat tubuhnya ketika melakukan perjalanan sejauh 1.000 km. Sungguh sedikit
energi yang terbuang. Model dan gaya terbang burung albatros ini ditiru manusia
dalam terbang layang .10
Migrasi yang Sulit
Ikan salem Pasifik mempunyai karakteristik luar biasa. Setelah menghabiskan
sebagian masa hidupnya di laut, hewan ini kembali ke sungai untuk bertelur dan
berkembang biak.
Ketika mereka memulai perjalanannya di awal musim panas, ikan ini berwarna
merah cerah. Namun di akhir perjalanan warnanya menjadi hitam. Di awal migrasi,
mula-mula mereka bergerak mendekati pantai, lalu berusaha menuju sungai. Mereka
berjuang dengan gigih menuju tempat mereka dahulu menetas. Mereka mencapai
tempat bertelur dengan berenang melawan arus sungai ke hulu, melewati air
terjun dan tanggul-tanggul. Pada akhir perjalanan yang berjarak 3.500-4.000 km
ini, salem betina telah siap dengan telurnya dan salem jantan siap dengan
spermanya. Di tempat bertelur, salem betina mengeluarkan 3 hingga 5 ribu telur
dan salem jantan membuahinya. Ikan-ikan ini mengalami banyak kerusakan selama
periode migrasi dan bertelur. Salem betina menjadi letih; sirip-sirip ekornya
rusak dan kulitnya mulai berubah menjadi hitam, begitu pula salem jantan. Tidak lama kemudian
sungai dipenuhi ikan sa-lem yang mati. Namun, generasi selanjutnya siap menetas
dan melakukan perjalanan yang sama.
Bagaimana ikan salem menyelesaikan perjalanan seperti ini, bagaimana mereka
sampai ke laut setelah menetas, dan bagaimana mereka menemukan jalan, merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Meskipun banyak dugaan telah dibuat,
hingga kini belum ditemukan jawaban pasti. Kekuatan apa yang membuat ikan salem
dapat melakukan perjalanan kembali ke tempat yang tidak diketahuinya dengan
jarak ribu-an kilometer? Jelas ada kekuatan agung yang mengatur dan mengendalikan
semua makhluk hidup ini. Dialah Allah, Pemelihara seluruh alam.
Koala
Minyak dari daun kayu putih (eucalyptus) adalah racun bagi kebanyakan
mamalia. Racun ini merupakan mekanisme pertahanan kimiawi yang digunakan pohon
kayu putih terhadap musuh-musuhnya. Namun ada makhluk istimewa yang dapat
mengambil manfaat dari mekanisme ini dan memakan daun-daunnya yang beracun:
hewan berkantung yang di-sebut koala. Koala membuat rumah di pohon kayu putih,
memakan daun-daunnya dan meminum airnya.
Seperti mamalia lainnya, koala tidak dapat mencerna selulosa yang
terkandung dalam pepohonan. Karenanya, hewan ini bergantung pada mikro
organisme pencerna selulosa. Mikro organisme ini banyak berkumpul pada usus
buta (caecum), tempat pertemuan usus kecil dan usus besar. Usus buta merupakan
bagian paling menarik dari sistem pencernaan koala. Bagian ini berfungsi
sebagai ruang fermentasi di mana mikroba-mikroba mencerna selulosa pada saat penyaluran
daun tertahan. Dengan demikian, koala dapat menetralkan efek racun minyak daun
kayu putih.11
Kemampuan Berburu dalam Posisi Diam
Tanaman sundew Afrika Selatan menjebak serangga dengan bulu rekat.
Daun-daun tanaman ini penuh dengan bulu-bulu panjang berwarna merah.
Ujung-ujung bulu diselimuti cairan sangat lengket dengan bau yang menarik
serangga. Serangga yang menghampirinya akan melekat pada bulu-bulu rekat ini.
Tidak lama setelah itu, seluruh daun menutupi serangga yang telah terjerat,
lalu tanaman tersebut menyerap dan mencerna protein yang dibutuhkan dari
mangsanya.12
Kemampuan tanaman untuk berburu tanpa bergerak dari tempatnya, tidak
diragukan lagi merupakan bukti adanya suatu rancangan khusus. Mustahil tanaman
mampu mengembangkan gaya berburu seperti itu dengan kesadaran dan kehendak
sendiri, atau secara kebetulan. Jadi, lebih tidak mungkin lagi mengabaikan
keberadaan dan kekuasaan Sang Pencipta yang telah melengkapinya dengan
kemampuan ini.
Rancangan pada Bulu Burung
Selintas, struktur bulu burung tampak sangat sederhana. Namun jika diteliti
lebih seksama, kita akan menjumpai struktur bulu yang sangat kompleks, ringan
tetapi kuat dan tahan air.
Agar dapat terbang mudah, tubuh burung harus seringan mungkin. Bulu-bulu
burung yang terbuat dari protein-protein keratin memenuhi kebutuhan ini. Pada
kedua sisi tangkai bulunya menempel bendera bulu yang masing-masing memiliki
400 rambut halus yang disebut rami. Pada setiap rami terdapat 2 radii, sehingga
keseluruhan berjumlah 800 radii. Pada bulu burung kecil, dari masing-masing
radii yang terdapat pada bagian depan, ada 20 radioli. Radioli mengikat dua bulu satu
sama lain seperti dua helai kain yang saling terjahit. Pada satu helai bulu
burung terdapat sekitar 300 juta rambut-rambut halus. Jumlah rambut halus pada
seluruh bulu burung sekitar 700 milyar.
Ada alasan yang sangat penting mengapa bulu-bulu burung terikat erat satu
sama lainnya. Bulu-bulu harus menempel kuat pada burung sehingga tidak lepas saat
bergerak. Adanya rambut-rambut halus dan kaitan-kaitan tidak membuat bulu-bulu
terlepas ketika diterpa angin kuat, hujan atau salju.
Bulu-bulu di bagian perut tidak sama dengan bulu sayap dan bulu ekor. Bulu
ekor terbuat dari bulu yang relatif besar dan berfungsi sebagai kemudi dan rem.
Bulu sayap didesain agar dapat memperluas permukaan saat burung mengepak-kan
sayapnya, sehingga meningkatkan daya angkat.
Kadal Basilisk: Ahli Berjalan di Atas Air
Ada beberapa hewan yang dapat berjalan di atas air. Salah satunya adalah
kadal basilisk yang hidup di Amerika Tengah, seperti tampak dalam gambar di
atas. Di sela-sela jari kaki belakangnya terdapat selaput yang membuatnya mampu
menepuk air. Selaput ini menggulung jika hewan ini berjalan di darat. Jika
menghadapi bahaya, kadal basilisk akan berlari sangat cepat di permukaan sungai
atau danau. Selaput pada kaki belakangnya terbuka dan menciptakan permukaan
yang lebih luas untuk berlari di atas air.13
Rancangan unik ini merupakan bukti Penciptaan secara sadar.
Fotosintesis
Tidak diragukan bahwa tumbuhan memegang peran utama dalam menjadikan bumi
sebagai tempat yang dapat dihuni. Tumbuhan membersihkan udara untuk kita,
menjaga suhu bumi tetap konstan, dan menjaga keseimbangan proporsi gas-gas di
atmosfir. Oksigen yang kita hirup di udara dihasilkan oleh tumbuhan. Bagian
penting dari makanan kita juga disediakan oleh tumbuhan. Nilai nutrisi
tumbuhan, seperti juga keistimewan tumbuhan lainnya, dihasilkan oleh sel-sel
yang dirancang khusus.
Berbeda dari sel manusia dan hewan, sel tumbuhan dapat memanfaatkan
langsung energi matahari. Tumbuhan mengubah energi matahari menjadi energi
kimia dan menyimpannya sebagai nutrisi dengan cara yang sangat khusus. Proses
ini disebut “fotosintesis”. Sebenarnya, proses ini bukan dilakukan oleh sel
melainkan oleh kloroplas, organel sel yang memberi warna hijau pada tumbuhan.
Organel kecil berwarna hijau ini hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Ia
merupakan satu-satunya laboratorium di bumi yang mampu menyimpan energi
matahari dalam zat organik.
Setiap tahun, seluruh tumbuhan di muka bumi dapat menghasilkan zat-zat atau
bahan-bahan sebanyak 200 miliar ton. Hasil yang sangat penting bagi semua
makhluk hidup ini terealisasi melalui proses kimia yang sangat rumit. Ribuan
pigmen “klorofil” dalam kloroplas bereaksi terhadap sinar matahari dalam waktu
yang sangat singkat, sekitar 1/1000 detik. Itulah sebabnya mengapa banyak
aktivitas yang terjadi dalam klorofil belum bisa teramati.
Mengubah energi matahari menjadi energi listrik atau energi kimia merupakan
terobosan teknologi terbaru. Untuk melakukannya diperlukan peralatan
berteknologi tinggi. Sebuah sel tumbuhan, yang terlalu kecil untuk dilihat
dengan mata telanjang, telah melakukan tugas ini selama jutaan tahun.
Sistem yang sempurna ini lagi-lagi menunjukkan Penciptaan — untuk dilihat
seluruh manusia. Sistem fotosintesis yang sangat kompleks ini merupakan
mekanisme yang di-rancang dan diciptakan oleh Allah. Inilah sebuah pabrik tanpa
tanding yang disusutkan menjadi bidang sangat kecil di dedaunan. Rancangan tanpa
cacat ini hanyalah salah satu dari tanda-tanda yang mengungkapkan bahwa semua
makhluk hidup diciptakan oleh Allah, Pemelihara seluruh alam.
1)Bilim ve Teknik, Juli
1989, Vol. 22, No. 260, hlm. 59.
2)Grzimeks Tierleben
Vögel 3, Deutscher Taschen Buch Verlag, Oktober 1993, hlm. 92.
3)David Attenborough, Life On Earth: A Natural
History, Collins British Broadcasting Corporation, Juni 1979, hlm. 236.
4)Ibid, hlm. 240.
5)"The Structure and Properties of Spider
Silk", Endeavour, Januari 1986, Vol. 10, hlm. 37-43.
6)Görsel Bilim ve Teknik
Ansiklopedisi, hlm. 185-186.
7)Walter Metzner,
http://cnas.ucr.edu/~bio/faculty/Metzner.html
8)National Geographic, September 1995, hlm. 98
9)Bilim ve Teknik,
Januari 1990, hlm 10-12.
10)David Attenborough, Life of Birds, Princeton
Universitye Press, Princeton-New Jersey, 1998, hlm. 47.
11)James L. Gould, Carol Grant Gould, Life at the
Edge, W. H. Freeman and Company, 1989, hlm. 130-136.
12)David Attenborough, The Private Life of Plants,
Princeton Universitye Press, Princeton-New Jersey, 1995, hlm. 81-83.
13)Encyclopedia of Reptiles and Amphibians, Academic
Press, A Division of Harcourt Brace and Company, AS, hlm. 35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar